Sejak merdeka, Indonesia telah menyepakati untuk menggunakan sistem demokrasi. Pemilu telah digelar pertama kalinya tahun 1955, sepuluh tahun sejak kemerdekaan Indonesia. Pemungutan suara sebagai sarana bagi masyarakat untuk menegaskan hak politiknya dalam menentukan masa depan bangsa serta warga negaranya. Gelaran perdana pemilu, mencerminkan masyarakat yang menjunjung tinggi demokrasi. Proses pemilu diatur dengan baik, berjalan lancar, diikuti oleh beragam ideologi partai politik, serta kandidat yang mengakui dan menerima hasil pemilu (Mulyani, 2024).
Pemilu dari periode ke periode kian berdinamika. Politik transaksional pun menjadi turut eksis di dalamnya. Politik transaksional berarti politik dagang, atau ada yang menjual dan ada yang membeli (Solihah, 2016). Pemilu di Indonesia menjadi khas dengan politik uang atau money politic yang bersifat transaksional. Tidak sekadar jual-beli suara antara pemilih dan peserta pemilu, tetapi juga kerap terjadi di antara kandidat dan partai politik pengusung, misalnya budaya mahar politik.
Politik uang saat pemilu terjadi dalam beragam bentuk dan banyak tahapan. Di antaranya adalah mahar politik di tahap pencalonan, serta jual beli suara di tahap kampanye dan pemungutan suara. Termasuk juga, suap kepada penyelenggara pemilu di tahap penghitungan serta rekapitulasi suara, hingga sogokan dalam penyelesaian sengketa hasil pemilu (Sjafrina, 2019).
Menurut Amir Arief, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, yang dikutip melalui Pusat Edukasi Antikorupsi, politik uang telah menyebabkan politik berbiaya mahal. Selain untuk jual beli suara (vote buying), para kandidat juga harus membayar mahar politik kepada partai dengan nominal fantastis. Keberhasilan pemilu atau pilkada 95,5 persen dipengaruhi kekuatan uang. Kandidat harus mengeluarkan hingga 15 miliar rupiah untuk biaya kontestasi.
Jual-beli suara dilakukan dengan cara pemberian uang, sembako, dan barang lainnya untuk menarik simpati masyarakat agar memberikan suaranya saat pemilu (Solihah, 2016). Perilaku politik transaksional dalam bentuk jual-beli suara atau vote buying memiliki cara yang berbeda-beda di setiap daerah. Sebutan serangan fajar telah populer di kalangan masyarakat saat menjelang pemilihan umum.
Istilah serangan fajar berasal dari sejarah revolusi Indonesia, serangan fajar kadang dilakukan dengan memberikan uang kepada pemilih saat dini hari sebelum hari pencoblosan, atau beberapa hari sebelumnya. Telah dilakukan sejak zaman Orde Baru dan seolah-olah menjadi bagian dari proses demokrasi Indonesia (Mutolib dkk, 2023). Faktor yang melatarbelakangi fenomena serangan fajar yakni kemiskinan, rendahnya pengetahuan, dan budaya berupa larangan menolak rezeki (Erviantono, 2017).
Selain serangan fajar, masyarakat juga memiliki istilah lain di masing-masing daerahnya. Di DIY, vote buying disebut dengan bitingan. Kata biting berasal dari kata lidi. Sebelum ditemukannya alat hitung sempoa dan kalkulator, masyarakat belajar berhitung menggunakan potongan lidi. Penerapannya dalam pemilu, lidi dikonversi menjadi suara. Sehingga, setiap satu lidi memiliki nilai nominal yang berbeda, tergantung situasi di suatu daerah pemilihan.
Di Blora, warga menyebut vote buying dengan istilah sabetan, yang bisa diartikan sebagai pukulan atau serangan. Menjelang pemilu, sebagian pengguna media sosial kerap bergurau dengan menuliskan ‘info sabetan’ pada akunnya. Amplop sabetan sesungguhnya bukan hanya berlaku ketika pemilu. Namun juga dipraktikan dalam agenda penyelesaian masalah lain sebagai uang pelicin.
Masyarakat pengguna Bahasa Jawa juga menciptakan gurauan dari singkatan-singkatan yang cukup dikenali secara nasional. Misalnya NPWP yang seharusnya singkatan dari Nomor Pokok Wajib Pajak diubah menjadi Nomor Piro Wani Piro untuk menanyakan nomor urut dan nominal transaksi vote buying. Mahfud MD juga pernah merespon pengikutnya di Twitter dengan berseloroh menggunakan istilah Polsek, singkatan dari Polke Seketan, yang artinya digenapkan jumlahnya hingga lima puluh (Nugroho, 2018).
Kupang dan Sulawesi Selatan memiliki sebutan yang hampir sama, yakni menggunakan kata siram. Di Kupang, bagi-bagi uang jelang pemilu disebut dengan siram doi atau kasih doi. Keduanya merupakan bahasa daerah di Kupang yang artinya memberi uang. Sedangkan di Sulawesi Selatan disebut dengan menyiram. Pada hari-hari yang dekat dengan pelaksanaan pemilu, warga biasa bersenda gurau tengah menanti siraman.
Gorontalo terdapat cukup banyak sebutan untuk praktik jual beli suara. Di antaranya kuti-kuti, ponggo-ponggo, pukul-pukul, biu-biu, dan mea-mea yang diambil dari bahasa daerah dalam keseharian masyarakat Gorontalo. Konon, komunikasi yang merujuk pada agenda vote buying lebih sering menggunakan sebutan biu-biu dan mea-mea, sebab dirasa sebagai kode paling lugas. Biu berarti biru, merujuk pada lembaran uang lima puluh ribu rupiah, sedangkan mea berarti merah untuk lembaran uang seratus ribu rupiah.
Berkebalikan dengan situasi daerah di Gorontalo, masyarakat Minang menjalin komunikasi vote buying tanpa kode. Manyerak Pitih yang berarti menyebar uang, digunakan untuk menyampaikan pesan mengenai agenda jual-beli suara. Hal serupa terjadi di Medan dan Pekalongan, yang sebagian besar komunikasi terjadi dengan cukup menggunakan sebutan serangan fajar.
Kandidat yang berkontestasi dan berkampanye di depan masyarakat Sunda, cenderung mendapatkan perlakukan yang lebih halus. Calon pemilih tidak membidik suatu nominal, tetapi menyampaikan ekspresinya dengan kata aya mereun yang berarti barangkali ada. Tersirat pesan bahwa calon pemilih bersedia menerima, jika kandidat ada materi yang akan diberikan.
Sementara itu, di Bekasi ketika mendekati pemilu, masyarakat akan ramai memperbincangkan uang cendol. Warga dan kandidat biasa bercakap untuk menentukan pilihan antara uang cendol, kaus, atau janji politik berupa program. Pada menjelang hari pemilu, tuntutan uang cendol terus meningkat (Savirani,2015).
Prabowo pada tahun 2013 ketika mengisi seminar mahasiswa di Jakarta menyebutkan bahwa serangan fajar di berbagai daerah dikenal dengan sejumlah sebutan yang berbeda. Di Jawa Timur namanya uang ngarit (Fjp, 2013). Uang ngarit juga disebutkan Prabowo melalui bukunya yang berjudul Paradoks Indonesia untuk menjelaskan opininya tentang demokrasi Indonesia yang sedang dalam bahaya.
Keberagaman budaya di Indonesia ternyata tidak terbatas pada tampilan pakaian, tari-tarian, pangan, atau karakter alam dan masyarakatnya. Indonesia juga beragam dalam urusan menjalankan praktik politik transaksional. Melalui keberagaman bahasa daerah sebagai kekayaan bangsa, aksi politik uang tersembunyi dalam ruang yang mengancam kehancuran masa depan Indonesia.
Politik uang yang sifatnya transaksional, perlahan tetapi pasti membawa petaka. Politik transaksional menjadi begitu mengerikan, karena transaksi kepentingan di tingkat elite sama sekali menjauh bahkan mengorbankan kepentingan publik (Sudirman L, 2012). Kandidat terpilih akan berfokus pada pengembalian modal politik uang, alih-alih memikirkan kebijakan publik yang berkeadilan.