Moralitas bangsa Indonesia bagaikan luka basah, kian melebar dan terinfeksi, tak ada penawarnya. Rentetan peristiwa kelamnya moralitas kembali dipertontonkan secara mencengangkan. Belum lama, beredar tagar #Indonesiagelap, #Kaburajadulu, #Adilijokowi dan sebagainya, yang disuarakan secara serentak oleh semua kalangan lewat aksi demonstrasi.
Mahkamah Konstitusi meregistrasi 309 perkara sengketa Pilkada 2024 (Humas MKRI, 2025), yang artinya 56,69% daerah bermasalah sehingga layak mempertanyakan kredibilitas penyelenggara pemilu. Belum lagi extra ordinary crime, yakni kejahatan struktural mega-korupsi Pertamina dengan kerugian negara mencapai 1 kuadriliun (Tempo, 2025). Terbaru, pelaksanaan Revisi UU TNI oleh DPR dan Pemerintah di sebuah hotel mewah, bermaksud memuaskan hasrat kekuasaan yang tidak pernah cukup.
Jelas sekali supremasi sipil dikooptasi oleh ketidakjelasan urgensi revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 yang mengatur tentang TNI. Memperlebar penempatan prajurit TNI di Kementerian dan Lembaga (K/L). Komisi I DPR RI rela melakukan pembahasan revisi UU TNI pada hari libur demi melegalkan peran sipil para TNI yang telah menjabat, di antaranya Letkol Teddy Indra Wijaya, Mayjen Ariyo Windutomo, Mayjen Novi Helmy Prasetya, LetJen Maryono, dan Mayjen Irham Waroihan (Tempo, 2025), (Harbowo & Purnamasari, 2025).
Memori publik menolak lupa pada ingatan sejarah Rezim Orde Baru, ketika dwifungsi militer mengakuisisi hampir sebagian besar kehidupan ekonomi, politik dan sosial masyarakat sipil. Negara menjadi ancaman yang menakutkan bagi bangsanya sendiri. Pasalnya, penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi akibat dwifungsi. Pendisiplinan identik dengan militerisme. Kanker kekuasaan macam ini kembali bersenyawa dalam tubuh pemerintah, berkeinginan merenggut nyawa suara kritis publik yang nyinyir pada libido kekuasaan.
Kekuasaan Abad Kekinian
Seorang filsuf post-strukturalis yang menekuni arsip-arsip tua tentang orang gila, seksualitas, penjara, terlibat dalam berbagai gerakan; bukan demi kekuasaan, melainkan untuk memahami kekuasaan. Michel Foucault menyingkapkan ragam transformasi kekuasaan abad modern yang lebih bersifat diskursif dan relasional, dan bukan saja represi.
Jika kekuasaan represif adalah relasi antara kekuasaan dan negara, maka kekuasaan diskursif dan relasional adalah relasi antara kekuasaan dan subjek. Artinya, ‘saya sebagai alat kekuasaan, lebih dipahami sebagai hasil dari dominasi daripada sebagai sarana atau alat kebebasan individual’ (Haryatmoko, 2016). Saya menjadi subjek yang tercerabut dari kebebasan individual dan mengalami in-hegemoni dalam hubungan sosial.
Pierre Bourdieu, filsuf sezamannya mengandaikan adanya relasi timbal-balik antara agensi (subjek) dan struktur (objek), yang berlangsung melalui proses internalisasi eksternalitas dan eksternalisasi internalitas (Krisdinanto Nanang, 2016). Di dalam diri individu terjadi kompromi, antara kebebasan individual dan struktur yang membentuknya.
Kebiasaan seseorang untuk berkata jujur, hanya karena seseorang yang dianggap berjasa dalam hidupnya, ia berani mengorbankan kejujurannya demi melindungi kejahatan orang tersebut. Balas budi, bahkan untuk suatu kejahatan, dianggap lumrah; merupakan bentuk kekerasan simbolik, sebab korban menyetujui menjadi korban. Begitu cara kekuasaan beroperasi.
Kekuasaan tidak lagi selalu sama dengan tindakan represif, ia beroperasi dengan cara yang paling sublime bahkan dalam ekspresi intimasi. Kekuasaan itu tidak terlokalisir. Kekuasaan itu produktif, ada di mana-mana (omnipresence of power); bukannya bahwa kekuasaan mencakup semua, tetapi memang kekuasaan bersumber dari mana-mana (Haryatmoko, 2016). Kekuasaan akan membentuk pendisiplinan melalui mekanisme sosial yang menjamin kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan.
Sederhananya, ketika bansos digelontorkan secara masif menjelang pemilu, alih-alih untuk kesejahteraan masyarakat, justru di-instrumentalisasi untuk memobilisasi dukungan elektoral pada calon tertentu. Alhasil, pemimpin yang dipilih karena gagasannya adalah mimpi demokrasi di siang bolong. Ini adalah pilihan kita untuk membiarkan kekuasaan tetap produktif.
Revisi UU TNI: Pendisiplinan ala Panoptikon
Mekanisme panoptik terletak pada arsitektur penjara yang berbentuk lingkaran dengan dua jendela terbuka dan diperkuat jeruji besi, tempat para tahanan. Jendela satunya mengarah keluar untuk mendapat sinar yang menerangi sel, lainnya mengarah ke dalam agar terlihat jelas oleh sipir. Metode ini sangat efektif untuk pendisiplinan, tetapi efeknya kontinu. Ada kesadaran yang secara permanen melekat pada narapidana bahwa sedang diawasi.
Pendisiplinan panoptik mengandung beberapa tujuan. Pertama, lebih murah dari segi ekonomi. Kedua, secara politik merupakan bentuk kontrol yang kelihatan. Ketiga, memaksimalkan manfaat sarana militer, industri, dan pedagogi sehingga meningkatkan kepatuhan (Haryatmoko, 2016).
Sejak awal, proses demokrasi melalui elektoral pilpres telah cacat secara konstitusional. Kekuasaan absolut melahirkan otoritarianisme, meskipun berkedok demokrasi. Bagaimana tidak, memilih pemimpin karena kasihan, dianggap pilihan demokrasi. Memilih karena sosok anak muda yang disejajarkan dengan anak muda zaman pergerakan dan perjuangan kemerdekaan, tetapi akhir-akhir ini sibuk membagi skincare pada siswa-siswi SMA (Riani Asnida, 2025) dan menghadiri kampus yang belum selesai dibangun (Medya, 2025).
Selain itu, preferensi pilihan politik masyarakat karena ingin melanjutkan pembangunan pemerintahan sebelumnya, sedangkan tangis anak bangsa di Merauke seakan diabaikan. Pada forum Konsolidasi Solidaritas Merauke, terdapat 250 korban PSN dan masyarakat sipil menolak PSN warisan Presiden Jokowi. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang tahun 2024 telah terjadi 295 letusan konflik akibat PSN Presiden Joko Widodo, dengan mengorbankan satu juta hektar lahan. Masyarakat adat yang terdampak sebanyak 67.436 korban (Konsorsium Pembaruan Agraria, 2024).
Belum lama, pada perayaan HUT ke-17 Partai Gerindra, Prabowo Subianto mengakui cawe-cawe Presiden Joko Widodo sepanjang proses elektoral berlangsung (CNN Indonesia, 2025). Kecurigaan publik pada putusan Mahkamah Konstitusi karena paman Anwar Usman, peran aparatur negara sebagai ujung tombak pemenangan, dan bansos yang digelontorkan secara masif, seakan mendapat pembenaran sebagai bagian dari orkestrasi cawe-cawe politik Presiden Jokowi.
Seluruh model kekuasaan yang terjadi adalah kombinasi dari jenis kekuasaan represif, diskursif dan relasional, secara panoptik. Bukan tidak mungkin, revisi UU TNI adalah untuk membungkam perlawanan publik dan melegitimasi ekspansi kebijakan seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Proyek Strategis Nasional (PSN), ketahanan pangan, dan segala bentuk perlawanan fisik (penjagaan, kekerasan, diskriminasi, dan pelanggaran HAM lainnya).
Konsekuensi lain adalah transparansi proses peradilan untuk pelanggaran tindak pidana para TNI yang terbatas, misalnya kasus korupsi atau pelanggaran HAM. Hal itu disebabkan oleh adanya dualisme peradilan (peradilan umum vs peradilan militer), keterbatasan akses publik, dan dominasi hirarki militer.
Ketika kekuasaan meluas tanpa batas dan pengawasan, demokrasi hanya akan menjadi ilusi. Kini, bukan lagi tentang siapa yang berkuasa, tetapi seberapa jauh kita membiarkan kekuasaan represif, diskursif, dan relasional oleh pemangku kepentingan itu terus menguasai kita.