Harga BBM Naik Terus, Siapa Untung?

Kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) selalu problematis, karena itu selalu menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat. Jika ditilik lebih dekat kebijakan kenaikan BBM ini tidak hanya terjadi dalam satu periode kepemimpinan saja, melainkan dilakukan secara berulang dalam sejarah pemerintahan Indonesia.

 

BBM jenis premium pernah dibanderol dengan harga Rp0,3dan solar Rp0,2pada tahun 1965 sebelum premium dihapuskan, dan diganti pertalite seharga Rp10.000dan solar seharga Rp6.800 pada tahun 2022. Pada kurun waktu setahun terakhir harga BBM subsidi terus mengalami fluktuasi harga yang signifikan dengan pertalite yang menjadi Rp10.000 per liter dari sebelumnya Rp7.650 per liter, dan BBM nonsubsidi pertamax dari Rp12.500 per liter menjadi Rp14.500.

 

Jika dibadingkan kenaikan harga BBM pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi), terdapat perbedaan reaksi publik. Riki Noviantoro, peneliti Institute of Policy and Local Partnership (IDP-LP), menjelaskan bahwa perbedaan reaksi publik tersebut terjadi karena desain regulasi penentuan harga BBM berbeda satu sama lain.

 

Penentuan harga BBM di era Jokowi mengedepankan dominasi lembaga eksekutif pada pengambilan keputusan peningkatan harga BBM dengan meminimalisasi keterlibatan DPR, tetapi menggunakan mekanisme pasar sebagai dasar penentuan keputusan. Sementara pada era SBY kenaikan BBM diatur oleh DPR sehingga penentuan kenaikan BBM tidak bisa sembarangan dan pemerintah tidak bisa asal menaikan harga.

 

Peran DPR yang besar di era SBY tersebut sempat dikapitalisasi oleh kelompok oposisi kala itu. Kelompok oposisi bisa melakukan demonstrasi penolakan jangka panjang hingga BBM diketok. Namun saat ini, kenaikan BBM tidak akan bisa dikapitalisasi karena terdapat upaya pemerintah dalam mengelola reaksi publik dengan menggunakan peran media sosial untuk meredam situasi.

 

Rasionalisasi Kenaikan Harga BBM

 

Kenaikan BBM, menurut pemerintah, tidak dilakukan tanpa sebab. Terdapat faktor-faktor kunci yang melatarbelakangi pemerintah untuk menaikan harga BBM. Pertama, Kenaikan Harga Minyak Mentah Dunia. Kenaikan harga minyak dunia dipengaruhi oleh kebijakan OPEC untuk memperketat pasokan global dengan memangkas target produksi sebesar dua juta barel per hari sejak November.

 

Kesepakatan OPEC menguat menjelang terlaksananya embargo Uni Eropa terhadap minyak Rusia yang imbasnya akan menekan pasokan di pasar. Keputusan OPEC membuat Goldman Sachs, sebuah firma keuangan global memprediksi harga Brent 2022 menjadi US$104 dari sebelumnya US$99. Harga minyak diperkirakan bisa menembus US$110 dari proyeksi US$108 pada 2023.

 

Realitanya per 22 November 2022 harga minyak mentah dunia mengalami kenaikan setelah OPEC bertahan untuk tidak menaikkan produksinya. Hal ini ditandai dengan menguatnya harga minyak mentah Brent sebesar 1,2 persen menjadi US$88, 53 per barel sementara harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS menguat 1,4 persen menjadi US$81, 18 per barel. Arab Saudi menilai langkah ini dilakukan untuk menyeimbangkan pasar.

 

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan impor hasil minyak mentah Indonesia sepanjang Januari-Juli mencapai angka US$14, 37 miliar atau naik 97,71 persen dari periode yang sama tahun lalu. Nilai impor yang tinggi itu dipengaruhi oleh harga komoditas minyak mentah dunia yang masih bertengger tinggi sedangkan permintaan domestik mengalami permintaan yang signifikan.

 

Impor minyak mentah yang tinggi terjadi akibat ketidakseimbangan antara produksi dan permintaan minyak mentah di Indonesia sehingga pemerintah harus mengimpor 500.000 barel minyak. Sebagai ilustrasi saat ini produksi minyak mentah di Indonesia hanya mampu mencapai 700.000 barel per hari dan konsumsinya mencapai 1,4 juta hingga 1,5 juta barel per hari. Sehingga masih terdapat gap yang besar. Untuk mengisi kekosongan stok minyak tersebut pemerintah harus melakukan impor.

 

Kedua, Pembebanan Terhadap APBN. Kenaikan harga minyak mentah dunia yang terus naik akan memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN terbebani karena harus memberikan kompensasi ketika Pertamina menjual BBM di bawah harga pasar. Subsidi pun akan semakin membengkak jika harga jual BBM tidak mengikuti fluktuasi minyak dunia. Ini terjadi karena dalam penyusunan RAPBN, ada beberapa indikator ekonomi makro yang digunakan sebagai dasar penghitungan yaitu pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, suku bunga, SBI tiga bulan, nilai tukar rupiah, harga minyak mentah Indonesia, dan lifting minyak.

 

Apabila realisasi indikator ekonomi makro berbeda dengan yang telah ditetapkan maka besaran-besaran dalam APBN akan ikut berubah. Pada sisi pendapatan negara, perubahan harga minyak mentah memengaruhi penerimaan SDA migas dan PPh migas maupun lainnya yang berasal dari penjualan minyak mentah DMO (Domestic Market Obligation).

 

Pada sisi belanja negara perubahan minyak mentah memengaruhi besaran subsidi BBM, subsidi listrik, dan dana bagi hasil. Perubahan harga minyak mentah memengaruhi perubahan beban subsidi listrik karena sebagian pembangkit listrik milik PLN masih menggunakan BBM dimana harga beli minyak oleh PLN adalah harga nonsubsidi. Perubahan harga minyak mentah sangat sensitif terhadap perubahan Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik.

 

Apabila Tarif Dasar Listrik (TDL) ditetapkan tidak berubah maka beban subsidi listrik yang merupakan selisih TDL dengan BPP akan mengalami perubahan searah dengan harga minyak mentah. Setiap kenaikan US$1 per barel beban kompensasi BBM meningkat lebih dari Rp2,65 triliun. Pada tahun 2022, subsidi BBM mencapai Rp502,4 triliun dengan jumlah tiga kali lipat dibandingkan 2021, sebesar Rp152,5 triliun. Kenaikan minyak mentah jelas berdampak terhadap subsidi dan kompensasi listrik dengan tambahan subsidi dan kompensasi sebesar Rp295 miliar.

 

Penyesuaian harga BBM merupakan upaya pemerintah untuk mengoptimalkan manfaat APBN bagi masyarakat yang lebih membutuhkan serta melindungi masyarakat miskin dan rentan miskin dari dampak harga kenaikan harga pangan dan energi. Dalam realita subsidi dan kompensasi BBM lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat yang lebih mampu.

 

Pengalihan subsidi BBM dilakukan untuk melindungi daya beli masyarakat miskin dan rentan melalui penyaluran Bantuan Sosial (Bansos), antara lain dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bantuan Subsidi upah (BSU), serta 2 persen Dana Transfer Umum (DTU) untuk subsidi transportasi umum. Ini ditujukan untuk menjaga daya beli kapasitas masyarakat lapisan bawah.

 

Pemerintah menjamin penyaluran dana subsidi dilakukan dengan transparan berprinsipkan verifikasi dan validasi yang diawasi langsung oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dilanjutkan dengan proses audit anggaran oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Audit dilakukan untuk memastikan bahwa perolehan dana dilakukan tepat sasaran. Pemberian sejumlah bantuan sosial diprediksi akan mengurangi angka kemiskinan dari 9,3 persen turun menjadi 9 persen.

 

Dampak Konkret: Masyarakat Menjerit!

 

Struktur masyarakat di Indonesia didominasi oleh individu yang berpenghasilan menengah ke bawah, sesuai laporan World Bank pada tahun 2021 setelah dua tahun sebelumnya Indonesia naik status menjadi negara berpenghasilan menengah ke atas. Penurunan status terjadi karena menurunnya Pendapatan Nasional Bruto dari US$4.050 menjadi US$3.870 sebagai akibat adanya pandemi corona yang menyebabkan ekonomi Indonesia terkontraksi -2,07 persen pada tahun 2020.

 

Semenjak dua tahun Indonesia dihadapkan pada realita pengangguran yang tinggi dan kemunduran ekonomi, tetapi masyarakat sepertinya tidak bisa menarik nafas lega karena kebijakan kenaikan harga BBM subsidi dan BBM nonsubsidi. Kenaikan BBM sebagai rantai utama yang memengaruhi berbagai sektor membawa beberapa realitas yang ada di tengah masyarakat yakni sektor ekonomi yang kian rentan.

 

Pihak produsen, penjual, dan pedagang merupakan pihak yang sangat sensitif terhadap kenaikan BBM. Adanya isu terkait kenaikan BBM tidak jarang mendapatkan respon yang signifikan pada pasar. Kenaikan harga BBM akan dirasakan berat oleh masyarakat menimbang kenaikan harga kebutuhan pokok dan biaya transportasi terutama dialami oleh masyarakat miskin dan rentan miskin.

 

Pada September 2022 terpantau beberapa kebutuhan pokok harganya mulai merangkak naik, di pasar tradisional  harga beras naik hingga Rp1.000 per kilogram dan bawang naik Rp5.000 per kg. Kenaikan harga BBM berimplikasi langsung secara eksponensial terhadap kenaikan berbagai jenis produk dan komoditi. Jika kenaikan ini berlangsung secara menyeluruh dan terus menerus maka bisa memicu peningkatan implikasi perekonomian negara.

 

Selain kenaikan bahan pokok pada masyarakat sebagai konsumen, kenaikan BBM juga berimplikasi pada peningkatan biaya produksi yang tinggi. Untuk sektor UMKM yang mendominasi Indonesia, pengusaha masih memiliki keterbatasan modal sedangkan biaya produksi semakin meningkat tajam. Kenaikan BBM dapat memicu industri untuk gulung tikar dan memungkinkan PHK massal. Ini tidak menutup kemungkinan akan terjadi penambahan jumlah pengangguran dan penduduk miskin. Pertambahan jumlah masyarakat yang tidak mampu lagi beradaptasi terhadap lonjakan kebutuhan hidup.

 

Kondisi ini diperparah dengan perekonomian Indonesia yang sedang mengalami pemulihan pasca pandemi sehingga masih dalam status rentan. Salah satu yang berpotensi terdampak merupakan industri manufaktur. Pengurangan jumlah tenaga kerja merupakan langkah yang sangat mungkin dilakukan demi efisiensi perusahaan.

 

Dengan demikian kenaikan harga BBM akan memicu bertambahnya angka kemiskinan riil di Indonesia. Bahwa dengan adanya lonjakan harga minyak akan secara signifikan berdampak pada krisis makro ekonomi salah satunya terindikasi dari meningkatnya angka pengangguran dan jumlah penduduk yang bekerja tidak penuh serta bertambahnya jumlah asyarakat yang berdaya beli rendah atau miskin dan rentan miskin.

 

Kebijakan Strategis

 

Keputusan menaikkan harga BBM menciptakan penderitaan berlapis terhadap masyarakat hingga ke akar rumput. Kenaikan BBM memperburuk kondisi masyarakat di mana harga komoditas pasar meningkat, sedangkan pendapatan ekonomi warga negara tidak banyak meningkat selama tiga tahun terakhir. Masyarakat akan semakin kesulitan untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari. Pengalihan subsidi BLT adalah sebuah solusi imajinatif belaka karena pemenuhan hak ekonomi rakyat tidak sama dengan bantuan sosial yang dianggap sebagai uluran tangan negara.

 

Terdapat beberapa kebijakan strategis yang bisa dilakukan pemerintah untuk meminimalisir dampak kenaikan harga BBM. Pertama, optimalisasi sektor-sektor selain migas seperti minyak sawit, karet, dan komoditas pertambangan yang harganya meningkat. Dari ekspor sawit saja potensi penerimaan APBN bisa mencapai lebih dari US1 miliar.

 

Jika pemerintah mampu merealokasikan tambahan pendapatan ini untuk proyek padat karya di sektor pertanian dan pedesaan, daya beli masyarakat mayoritas bisa meningkat atau setidaknya mengkompensasikan kenaikan harga umum. Pilihan ini lebih bijak dibandingkan menggelontorkan subsidi dan bantuan untuk komoditas yang mengalami kenaikan tajam seperti kebutuhan pokok.

 

Kedua, untuk menggenjot produksi minyak dalam negeri pemerintah dapat mengamandemen UU Minyak dan Gas Nomor 22 Tahun 2001. Tiga poin penting yang dapat diamandemen adalah penyederhanaan proses investigasi migas agar menjadi satu pintu, serta penghapusan pajak dan pungutan sebelum produksi dimulai oleh kontraktor migas. Revisi UU Migas diperlukan sebagai payung hukum penguatan kelembagaan dan kepastian investasi hulu migas di Indonesia.

 

Ketiga, kebijakan pengamanan ketersediaan energi masa depan dengan pola penghematan BBM serta pengembangan sumber energi alternatif. Upaya penghematan BBM dilakukan melalui pembenahan sistem transportasi. Penyediaan sumber energi alternatif dapat dilakukan dengan keseriusan pemerintah untuk menyiapkan dan menyelesaikan infrastruktur transisi dari energi fosil ke energi bersih dengan sumber pada energi bersih, seperti angin, arus samudera, matahari, air, dan bioenergi.