Plato, seorang filsuf Yunani kuno pernah mengatakan demikian “harga yang harus dibayar oleh orang baik untuk ketidakpeduliannya pada urusan publik adalah dipimpin oleh orang jahat”. Pesan moral tersebut sangat cocok jika dikaitkan dengan momen pemilihan umum (pemilu) yang sebentar lagi akan dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia. Artinya, ketika masyarakat Indonesia salah memilih presiden, kepala daerah, dan anggota legislatif pada pemilu tahun 2024, maka pemerintahan kita tidak akan menjalankan fungsinya dengan baik karena dijalankan oleh politisi yang tidak mumpuni baik dari segi kapasitas maupun moralitas.
Sudah saatnya publik mengambil menanggalkan sikap apatis terhadap politik dan memegang teguh sikap kritis dalam menentukan pilihan politik. Sikap kritis yang harus dimiliki publik yakni dengan menentukan indikator-indikator rasional yang bisa menjadi panduan dalam memilih. Tulisan singkat ini ingin memberikan gambaran mengenai indikator tersebut dari kacamata kebijakan publik. Penulis dengan tegas mengatakana bahwa indikator utama dalam memilih pada saat pemilu nanti yakni politisi yang mempunyai pengetahuan tentang isu strategis. Lalu, apa saja isu strategis yang bisa menjadi indikator dalam pemilu?
Tiga Isu Strategis Nasional
Dalam memetakan isu strategis nasional tahun 2024, penulis melakukan riset dokumen musrembang Daerah pada 33 provinsi. Penulis mengambil tiga isu strategis pada masing-masing provinsi, lalu menguantifikasikan semua isu tersebut. Hasil kuantifikasi menunjukkan ada tiga isu strategis yang paling banyak disebutkan oleh pemerintah propinsi pada musrembang daerah. Terdapat penegasan atas ketiga isu tersebut dengan isu strategis nasional.
Pertama, isu ekonomi. Persentase isu ekonomi nasional yakni 20%. Isu ekonomi paling banyak disebutkan oleh pemerintah daerah provinsi. Jika dilihat secara regional, Papua menjadi wilayah yang paling banyak menyebut isu ekonomi, diikuti Kalimantan, Jawa, dan Bali-Nusra. Masalah utama yang berkaitan dengan isu ekonomi yakni berkaitan dengan lesunya perekonomian daerah yang diakibatkan pendemi Covid-19. Khusus untuk wilayah Kalimantan, masalah yang dikeluhkan berkaitan dengan rentannya ketahanan ekonomi wilayah perbatasan.
Kedua, isu Sumber Daya Manusia (SDM). Persentase isu SDM nasional yakni 14%. Isu ini paling banyak ditemukan di wilayah Bali-Nusra dan diikuti beberapa provinsi di wilayah Kalimantan dan Jawa. Isu SDM berkaitan dengan rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM merupakan indikator untuk mengukur kualitas pembangunan hidup masyarakat pada suatu negara atau wilayah tertentu. Meskipun IPM tahun 2023 memiliki nilai yang cukup baik yakni 72,91 dan mengalami tren peningkatan sejak tahun 2021 dengan rata-rata 0,77%, harus diakui bahwa masih banyak ditemukan daerah yang memiliki nilai IPM yang rendah.
Ketiga, kesehatan. Persentase isu kesehatan nasional yakni 13%. Isu kesehatan ditemukan di beberapa wilayah, seperti Papua, Sumatera, Bali-Nusra, dan Sulawesi. Isu ini secara khusus berkaitan dengan masalah stunting atau gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang yang ditandai dengan panjang atau tinggi badannya di bawah standar. Data ini juga mau menunjukkan bahwa betapa sulitnya pemerintah daerah dan pusat mengeluarkan kebijakan kesehatan yang tepat sasar untuk mengatasi persoalan stunting.
Politisi & Kepentingan Umum
Mengapa isu strategis harus menjadi indikator bagi masyarakat dalam menentukan politisi pada saat pemilu? Politisi Indonesia saat ini masih mengutamakan self-interests (kepentingan pribadi) ketimbang public-interests (kepentingan umum). Jika kita berkaca pada tiga isu strategis di atas, maka muncul pemikiran bahwa bukannya ketiga isu tersebut telah menjadi perhatian pemerintah selama ini, bahkan sejak Indonesia ini merdeka. Tidak sedikit anggaran yang telah dikeluarkan, bahkan sistem pemerintahanpun telah diubah agar kebijakan yang berkaitan dengan ekonomi, SDM, dan kesehatan itu merata ke seluruh daerah di Indonesia.
Reformasi 1998 yang dianggap sebagai bagian dari perbaikan sistem agar pemerintah mampu mengeluarkan kebijakan yang pro-rakyat juga tidak mampu membawa Indonesia keluar dari masalah yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat. Demikianpun kebijakan otonomi daerah dan sistem pemilihan langsung kepala daerah yang justru melahirkan politisi yang sangat kental dengan self-interest. Penulis dalam berbagai kesempatan melakukan pendampingan daerah, khususnya berkaitan dengan politik anggaran banyak menemukan program dan anggaran daerah yang berkedok pembangunan bukan pro pada kebutuhan dan masalah masyarakat. Tidak heran jika kita menemukan banyak sekali program dan anggaran daerah yang mengarah pada proyek pembangunan infrastruktur dan bukan proyek pembangunan kesejahteraan masyarakat.
Sudah saatnya masyarakat Indonesia memilih calon presiden, kepala daerah, dan anggota legislatif yang mengutamakan public-interests. Rekam jejak kapasitas pengetahuan dan moralitas mereka harus diketahui, apalagi teknologi saat ini telah memudahkan kita mengetahui dengan baik latar belakang politisi. Momen kampanye bisa menjadi ajang untuk menguji kemampun mereka dalam mengetahui dan mengidentifikasai isu strategis dan jalan keluar tentu dari kacamata sebagai eksekutif atau legislatif. Saya sangat setuju jika kelompok masyarakat, dalam hal ini kampus mengadakan kegiatan publik untuk menguji kapasitas public-interests para politisi.