Kegagalan Diplomasi Sepak Bola

Sejak banyak negara memperoleh kemerdekaan pada pertengahan abad 20, relasi antara negara menjadi cair. Jika sebelumnya tidak pilihan selain harus bergabung pada Blok Barat (Amerika dan sekutunya) atau Blok Timur (Uni Soviet), kehadiran negara-negara baru ini menciptakan new emerging forces sebagai kekuatan nonblok. Dengan kejeniusannya, Soekarno dipandang sebagai pemimpin Gerakan Non Blok (GNB). Akibatnya, kekuasaan unipolar semakin memudar. Di dalam kondisi serupa, diplomasi memainkan peran begitu vital.

 

Menjelang akhir Maret, beberapa isu domestik menjadi sorotan publik dari luar negeri hingga daerah. Di antaranya ialah aliansi AUKUS yang semakin mengusik stabilitas kawasan Asia Pasifik, gaya hidup royal pejabat publik yang menari di atas derita warga, modus korupsi, banjir demonstrasi penolakan terhadap UU Ciptaker, dan pembatalan status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 oleh FIFA. Hingga pembatalan tersebut menimbulkan kontroversi yang sangat merugikan Indonesia.

 

FIFA resmi mengumumkan pembatalan status tuan rumah Piala Dunia U-20 Indonesia. Keputusan berani FIFA akibat dari penolakan beberapa pihak bersumbu pendek yang selalu berteriak menentang kehadiran Israel di Indonesia. Mereka adalah politisi-politisi PKS, PDIP, dan beberapa kelompok irasional. Kelompok-kelompok tersebut seakan menutup mata terhadap jutaan pecinta sepak bola tanah air yang begitu mendambakan anak-anak bangsa bermain di pentas elit dunia ini.

 

Kegagalan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 menambah derita panjang. Sudah berada di ujung mimpi menjadi nyata, bangsa ini terpaksa harus kembali tidur panjang untuk mendapatkan kesempatan langka tersebut di masa depan. Selain impian menjadi sirna, tidak sedikit keringat, energi, dan anggaran yang sudah digelontorkan untuk menyiapkan arena atau lokasi.

 

Tidak hanya kehilangan status tuan rumah, pasalnya FIFA akan menjatuhkan beberapa sanksi. Pemerintah tengah ketar-ketir memutar otak untuk tidak mendapatkan sanksi. Kalaupun ada, tidak berat. Peluang keuntungan triliunan rupiah pun raib dari tangan. Aneka kerugian ini menunjukkan satu kelemahan besar Indonesia di mata dunia internasional, yakni kegagalan diplomasi.

 

Batal menjadi tuan rumah piala dunia U-20 jelas bukan sekadar kegagalan diplomasi sepak bola Indonesia. Melainkan indikator ketidakberdayaan dan ketumpulan berpikir Indonesia berhadapan dengan sengketa Israel dan Palestina. Dunia internasional dan Israel sudah pasti tertawa terbahak-bahak.

 

Ironinya, kegagalan diplomasi Indonesia justru karena keluguan dalam membela kemerdekaan rakyat Palestina dari Israel. Padahal, Duta Besar Palestina untuk Indonesia Zuhair Al-Shun sendiri tidak mempersoalkan keikutsertaan Timnas Israel. Bahkan tetap meyakini atas dukungan Indonesia terhadap perjuangan Palestina.

 

Beberapa hal perlu dianalisis dan dipertimbangkan untuk menanggapi tragedi nasional tersebut agar tidak terjebak dalam aliran kronologis, juga demi memperbaiki sepak bola Indonesia. Henry Kissinger pernah menegaskan bahwa tujuan utama diplomasi internasional tidak pernah semata untuk ketertiban dunia, melainkan untuk kepentingan nasional (Diplomacy, 1994). Rujukan Kissinger ialah Cardinal de Richelieu (1624) yang menjadi perdana menteri Perancis di bawah Raja Louis XIII.

 

Kehebatan sosok yang mendapat sebutan ‘the father of the modern form of the state’ terletak pada keberaniannya menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan agama. Kala itu, ia menolak tunduk pada Tahta Kepausan Roma untuk mengamankan kepentingan nasional Perancis dari ancaman Spanyol, Jerman, dan Italia. Ketiga negara ini konon mendapatkan dukungan penuh dari kepausan.

 

Bagi Cardinal de Richelieu, kebaktiannya kepada negara adalah kebaktian kepada Allah (Kung, 1998). Kegagalan sepak bola Indonesia terjadi persis karena memprioritaskan kepentingan bangsa lain daripada bangsa sendiri. Apapun bentuknya, diplomasi harus menjadi kepentingan nasional di atas kepentingan apapun.

 

Sulit untuk memisahkan sepak bola dari domain politik (Wyn Grant, 2007). Bagaimanapun sepak bola tidak dapat menghindari politik di dalam artian yang mendasar (the political) ataupun yang praktis (the politics). Harus diakui, sepak bola sudah lebih dari sebatas olahraga. Sebagai gelanggang yang mencari kekuasaan, politik beroperasi di dalam semua level (Foucault, 1978). Cabang olahraga sudah menjadi instrumen politik negara-negara tertentu untuk menindas negara lain.

 

Oleh karenanya, cara memandang Indonesia yang innocent memisahkan politik dari profesionalitas sepak bola harus ditinggalkan. Sebaliknya, fanatisme politik sepak bola berlebihan juga harus dihindari. Indonesia seharusnya bermain cantik untuk tidak mendapatkan sanksi, tetapi sekaligus mendapatkan kembali peluang untuk menggelar piala dunia di tanah air. Ingat, politik adalah the art of possible (E. Gooding, 1993).

 

Teriak para kader PDIP bahwa penolakannya terhadap kedatangan Israel ke Indonesia berdasarkan sejarah perjuangan adalah penyesatan. Memang benar di masa lalu Soekarno pernah menyelenggarakan GANEFO (Games of the New Emerging Forces) bersama beberapa pemimpin negara baru merdeka bekas jajahan imperialisme Barat di Asia dan Afrika dengan tujuan menyaingi Olimpiade. Namun, GANEFO berumur pendek. Hanya diselenggarakan dua kali: Jakarta (1963), dan Phnom Penh, Kamboja (1966). Sepak bola Indonesia hingga hari ini masih terseok-seok akibat sayatan politik yang dimulai oleh Soekarno.

 

Untuk mencegah politisasi berlebihan dunia sepak bola di Indonesia, cabang olahraga ini harus dikelola secara profesional, independen, dan dijauhkan dari intervensi politik praktis. Strategi sederhananya, PSSI harus dibersihkan dari birokrat atau pengurus partai atau siapapun yang terindikasi berafiliasi dengan partai politik.

 

Hanya dengan begitu, di masa depan PSSI dapat memiliki legitimasi untuk menolak tunduk pada tekanan politik eksternal sekaligus memiliki kredibilitas di hadapan FIFA. Sepak bola Indonesia sudah lama mendapatkan cap ‘penuh kekerasan, korupsi, dan berbahaya’ (Fuller, 2018), sayang jika mendapat cambukan tambahan.