Korupsi Karena Sistem

LORD ACTON pernah menulis salah satu adagium paling bersejarah dalam kajian ilmu politik demikian, ‘‘Power tends to corrupt; and absolute power corrupts absolutely’’ (Rufus Fears, 1984). Kekuasaan di dalam dirinya sudah selalu berpotensi melakukan pelanggaran karena memiliki kewenangan dan kebebasan. Semakin absolut kekuasaan, semakin besar ruang kesewenangannya. Apalagi bila kekuasaan digenggam semakin lama. Kekuasaan mengandung magnet, memikat sehingga sulit untuk dilepas. Jika seseorang berkuasa, akan ketagihan. Imbasnya tidak hanya korupsi jabatan, tetapi terutama memupuk harta. Nafsu atas harta dan kuasa membuat orang lupa diri, mengejar harta untuk harta.

Dalam pekan terakhir Februari 2023, terdapat beberapa isu paling populer. Di antaranya ialah dikembalikannya tahanan Richard Eliazer ke rutan Bareskrim untuk menghindari bahaya serangan terhadap Eliazer dari pendendam dalam kasus Ferdi Sambo, kasus Mario Dandy dan imbas terhadap harta orangtuanya yang tidak masuk akal, kasus bisnis sabu-sabu mantan Kapolda Sumatera Barat Inspektur Jenderal Teddy Minahasa Putra, dan gosip seputar bakal calon wakil Presiden Anies Baswedan. Borok di dalam Ditjen Pajak buntut gelembung harta pejabat pajak Rafael Alun Trisambodo paling mendidih. Terbawa arus, esai ini berusaha menguliti rentannya korupsi di lembaga negara.

 

Matriks Isu

Global

Nasional

Lokal

 – Menanggapi rekomendasi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terkait potensi dendam Ferdi Sambo, pihak kepolisian membatalkan penahanan Richard Eliazer di rutan Salemba dan mengembalikannya ke rutan Bareskrim.  –
Harian Straights Times turut menghebohkan pemberitaan tentang kasus Mario Dandy, “Indonesian youth’s attack on girlfriend’s ex-lover exposes his public servant dad’s unexplained wealth”. Imbas kasus kekerasan Mario Dandy, harta Rafael Alun Trisambodo yang tidak normal terkuak. Menko Polhukam Mahfud MD telah menghubungi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membuka kembali kasus dugaan harta janggal pejabat pajak tersebut yang sudah dilaporkan sejak 2012. Kasus Mario Dandy membuka tabir pajak, Keluarga Alumni UGM menuntut Kemenkeu melakukan reformasi struktural Ditjen Pajak.

 

 

 – Wakil Sekretaris Jenderal Partai NasDem Hermawi Taslim mengungkapkan alasan Gubernur Jawa Timur dipertimbangkan untuk menjadi wakil Presiden Anies Presiden, “Khofifah salah seorang yang dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh, baik dari sisi gender, track record, maupun latar belakang organisasi dan sifat moderasi yang ia miliki.” Gubernur Nusa Tenggara Barat, H. Zulkieflimansyah, lebih memilih AHY untuk mendampingi Anies daripada Khofifah di Pilpres 2024.
 – Pemerintah memberikan iming-iming bagi PNS yang akan dipindah ke IKN:  akan mendapat berbagai fasilitas, mulai dari rumah dinas hingga tunjangan.  –
 – Tersangka Linda Pujiastuti alias Anita Cepu mendapatkan uang Rp 60 juta hasil penjualan satu kilogram sabu titipan eks Kapolda Sumatera Barat Inspektur Jenderal Teddy Minahasa Putra untuk digunakan sebagai biaya transportasi ke Brunei Darussalam.  –

 

Gayus Tambunan pernah membuat heboh seluruh negeri pada pertengahan tahun 2010. Pegawai Ditjen Pajak golongan III A itu tertangkap basah terlibat dengan sejumlah kasus mafia pajak. Ia memiliki harta puluhan miliar. Padahal, kala itu, usianya baru 31 tahun, juga belum genap 10 tahun bekerja sebagai pegawai Ditjen Pajak. Gayus dijebloskan ke dalam jeruji penjara. Kasusnya lantas ditutup. Tidak ada penggalian lebih lanjut terhadap jaringan mafia pajak di balik kejahatan Gayus.

Gayus memang dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Namun, aneka pemberitaan menunjukkan Gayus bak orang bebas yang menghabiskan waktu santai dengan berleha-leha ke berbagai tempat dalam negeri dan luar negeri. Satu dekade lebih berlalu, borok Ditjen Pajak kembali tercium. Tanpa diduga, kasus Mario Dandy membuka rahasia gelap di balik Ditjen Pajak. Harta ayahanda Mario, Rafael sungguh tidak dapat dinalar jika ditakar dari gaji bulannya sebagai pejabat pajak. Kali ini, masyarakat dan pemerintah menjadi melek. Sepertinya masalah korupsi dan kawan-kawannya di dalam Ditjen Pajak bukan sekadar masalah personal, kasuistik, tetapi sistematis: korupsi atau pencucian uang diciptakan karena celah sistem kelembagaan.

 

Rekomendasi

Untuk membersihkan para penghisap keringat rakyat di dalam lembaga Ditjen Pajak dan mencegah terulangnya kasus serupa, beberapa hal patut dipertimbangkan pemerintah dan masyarakat. Pertama, korupsi atau pencucian uang tidak hanya terjadi di dalam Ditjen Pajak. Semua lembaga tinggi bahkan tidak steril dari kasus korupsi sebagaimana sudah sering terekspos di berbagai media di republik ini. Maka harus digali akarnya: mengapa korupsi merajalela di dalam seluruh denyut nadi negeri ini? Solusi paling ampuh adalah ketika akar dapat dicabut.

Kedua, korupsi embedded di dalam kekuasaan. Maka, kekuasaan harus dibatasi dan dikontrol. Lembaga tinggi negara manapun harus tunduk pada pengawasan publik. Karena itu, prinsip transparansi dan akuntabilitas harus disistemkan atau diinstitusionalisasikan di negara ini. Niat baik, etika publik, atau integritas pribadi tidak mempan bila sistemnya sudah rusak. Di era disrupsi digital ini, seluruh kinerja dan harta pejabat dapat digitalisasi dan dibuka akses kepada masyarakat luas agar terpantau. Pola ini akan memberikan pressure melalui mekanisme panoptikon. Tanpa diawasi pun, para pejabat akan selalu mawas diri. Prinsip moral hanya menjadi operasional, dapat dihidupi, bila diartikulasikan melalui berbagai infrastruktur. Penelitian Anthony Giddens menunjukkan perubahan struktural dimungkinkan oleh modalitas berupa perangkat normatif seperti aturan, kebiasaan, dan sanksi sosial lain (2009).

Ketiga, kajian B. Herry Priyono (2018) menunjukkan salah satu faktor korupsi berurat akar di Indonesia adalah ketidakjelasan terhadap batasan definisi korupsi. Di banyak suku masyarakat Nusantara, masih terdapat budaya memberi yang dianggap lumrah, tetapi dapat menjadi bentuk korupsi atau penyuapan. Karena itu, berbagai kajian multi-inter-disiplin harus digalakan untuk menciptakan definisi legal komprehensif terhadap korupsi.

Keempat, korupsi tidak boleh dibaca sebagai hanya kesalahan atau kejahatan pribadi. Sudut pandang seperti ini terlalu normatif, mereduksi korupsi menjadi sekadar masalah moral pribadi. Padahal korupsi terutama adalah masalah politik karena menggerogoti hak hidup banyak orang. Sistem yang koruptif akan mentransformasi orang yang baik sekalipun menjadi korupsi berkelas. Hampir tidak mungkin seseorang melakukan tindakan KKN atau pencucian uang bila ia terkontrol ketat oleh sistem. Karena itu, jika terjadi korupsi, target bidikan harus diarahkan pada sistem yang melingkupi pelaku. Bukan terutama pelakunya serakah, tetapi sistem kecolongan atau memberi ruang. Karena itu, sistemnya yang harus diperbaiki. Tentu saja pelaku dan jaringan di baliknya harus ditumpas.

Kelima, lemahnya sanksi hukum terhadap pelaku tindak kejahatan korupsi adalah juga salah satu faktor naiknya rasio atau indeks korupsi di Indonesia. Di Indonesia, korupsi sudah dianggap sebagai extraordinary crime (Harman, 2012). Dengan demikian, hukumannya harus berat, minimal hukuman seumur hidup. Namun, lebih efektif koruptor dijatuhi hukuman mati untuk menghindari tambahan beban pada negara untuk membiayai hidup koruptor selama dalam masa penahanan. Belajar dari Cina, hukuman tembak mati terhadap koruptor di hadapan publik efektif memberikan efek jera dan menjadikan Cina sebagai salah satu negara dengan indeks korupsi cukup rendah. Menurut Transparency International, Cina menempati peringkat 65 dari 180 negara pada tahun 2022, bandingkan dengan Indonesia yang mencapai peringkat 110 pada tahun yang sama. Hukuman eksekusi mati ini pun menjadi salah satu faktor penyumbang terhadap kemajuan ekonomi Cina saat ini.

 

Referensi

Giddens, Anthony. 2009. Sociology, 6th Edition (Cambridge: Polity Press).

Harman, Benni K. 2012. Negeri Mafia Republik Koruptor (Yogyakarta: Lamalera).

Herry Priyono, B. 2018. Korupsi: Melacak Arti Menyimak Implikasi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama).

Rufus Fears, J. 1984. Selected Writings of Lord Acton (Cambridge: Liberty Fund).

WhatsApp
Facebook
Twitter