Lemahnya Perspektif Moral dalam Kebijakan Publik Indonesia

Fenomena kebijakan publik kontemporer di Indonesia belum menyentuh perspektif moral dalam diskursus praktiknya. Ngadisah (2023), dalam buku ‘Konflik Pembangunan dan Gerakan Sosial Politik di Papua’ menyinggung bahwa cost sebuah kebijakan ialah pengorbanan faktor kemanusiaan yang kini dianggap wajar. Secara inheren, pengorbanan harus dibayar demi keberhasilan pembangunan. Sebuah refleksi bahwa kebijakan publik memiliki daya untuk memengaruhi, pengaruh baik ataupun buruk bagi objek kebijakannya.

 

Sejalan, pemikiran lawas tentang ‘perang’ dari Clausewitz (2022), seorang tentara dan intelektual Prusia, mengungkapkan bahwa perang sejatinya merupakan cara lain suatu kebijakan dijalankan. Perang yang dapat menimbulkan kerugian jiwa dan material bukan hanya soal adu kekuatan militer dan memperoleh kemenangan. Menurutnya, perang merupakan cara mencapai tujuan politik yang tidak bisa dipisahkan dari konteks tujuan tersebut dirumuskan.

 

Di Indonesia, perumusan kebijakan publik kerap kali berhenti hanya pada analisis dan konsekuensi prosedural/administratif. Ataupun, narasi preambul undang-undang bernuansa idealisme norma-norma yang tak tampak dalam implementasi aturan tersebut. Ujungnya, eksistensi kebijakan publik hanya dilihat sebagai tumpukan kertas yang berisi perintah otoritas negara untuk diikuti dan dijalankan oleh rakyatnya. Imbasnya, perspektif lebih fundamen tidak diperhitungkan. Kebijakan publik di Indonesia sudah seharusnya menjadikan perspektif moral-kemanusiaan sebagai kalkulasi utama yang bukan hanya dalam perumusan, tetapi juga implementasi dan evaluasinya.

 

Dengan arti lain, kebijakan publik bukanlah sesuatu yang value-free karena kebijakan publik yang lahir dari pemikiran politik berkelindan dengan nilai yang melingkupi konteks perumusannya (Branden, 1984). Inilah mengapa kacamata perspektif moral atau filosofi politik/moral penting untuk dilihat dalam studi kebijakan publik. Perspektif moral memberikan beberapa indikator penting bagi rambu-rambu kebijakan publik. Di antaranya, perwujudan secara nyata keadilan sosial,  partisipasi publik dan warga negara, pelayanan umum, solusi terhadap masalah sosial, pertanggungjawaban administrasi, dan analisis etis (Abdal, Hafizh, Maharani & Qori, 2021).

 

Kebijakan Publik dan Keadilan Sosial

 

Nilai tertinggi dari suatu kebijakan publik ialah menghadirkan keadilan sosial. Ranah keadilan sosial yang nyata sebagai wujud hadirnya kebijakan publik yang berkeadilan dapat dikaji dari terpenuhinya hak mendasar warga negara. Hak mendasar terkait pendidikan, kesehatan, pengakuan identitas dan adat, dan hak-hak lainnya yang dijamin dalam konstitusi.

 

Dalam diskusi kontemporer di publik, berlakunya revisi Undang-undang Kesehatan pada 2023 lalu yang menghapus mandatory spending bidang kesehatan memicu perdebatan. Kebijakan ini dinilai sebagai cara pemerintah untuk memperbesar fleksibilitas pengaturan belanja negara sesuai kebutuhan. Namun, di tengah narasi proyek-proyek mercusuar pemerintah yang masif, ketiadaan kewajiban pemerintah menganggarkan belanja untuk kesehatan memicu kekhawatiran (Swasono, 2023).

 

Kekhawatiran ini mendasar karena masih buruknya akses masyarakat ke fasilitas dan layanan kesehatan yang berkualitas nan gratis. Tercatat pula bahwa ratusan faskes seperti puskesmas dan RSUD belum memiliki kecukupan tenaga kesehatan dan dokter, serta rasio jumlah dokter di Indonesia yang masih kurang dari rasio ideal 1/1.000 penduduk (Emilia, 2023).

 

Selain ranah kesehatan, tinjauan ranah pembangunan juga dapat menjadi studi kasus yang krusial dan paling nampak pada pemberitaan media arus utama nasional. Dalam rezim pembangunan ala Proyek Strategis Nasional (PSN), prioritas dalam pembangunan nasional ditujukan untuk memicu pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya melalui kemudahan realisasi proyek.

 

Komnas HAM (2023) menyatakan upaya pemerintah dalam memberikan kemudahan terhadap PSN mengakibatkan berbagai aduan dari masyarakat terkait pelanggaran HAM, berupa pelanggaran hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial, serta budaya, maupun hak kolektif masyarakat dan hak kelompok rentan.

 

Kebijakan Publik dan Analisis Etis

 

Kebijakan publik ialah juga produk politik. Sebagai produk politik, kebijakan publik rawan dengan konflik kepentingan. Konflik kepentingan terjadi ketika kepentingan kolektif masyarakat luas dipertaruhkan dengan kepentingan pribadi atau kelompok kecil penguasa.

 

Implementasi kebijakan publik berada dalam situasi sumber daya negara yang terbatas, sehingga negara perlu mengambil keputusan etis untuk memilih bagaimana kebijakan publik akan dijalankan untuk menghasilkan kebermanfaatan terbaik (Bellinger dalam Klimczuk, 2015). Sayangnya, mengukur konflik kepentingan tidak mudah karena kecenderungan relasinya yang intangible.

 

Meski demikian, laporan dari koalisi masyarakat sipil berjudul ‘Omnibus Law; Kitab Hukum Oligarki’ telah mengilustrasikan bagaimana relasi diskursus UU Cipta Kerja menguntungkan penguasa dan kelompoknya yang bertalian erat dengan bisnis ekstraktif batu bara. Pada laporan tersebut, tampak bahwa para pejabat, keluarganya, serta kongsi bisnis dan politiknya saling bertalian erat dalam relasi saling menguntungkan pada industri ekstraktif dan kepemilikan kapital. Ditambah lagi, potensi penyalahgunaan kekuasaan yang tiada henti, sehingga melanggengkan kekerasan ekonomi bagi masyarakat rentan yang tidak memiliki akses terhadap sumber daya.

 

Pada akhirnya, kebijakan publik perlu dipandang pula secara moral guna menjawab keberpihakannya pada masyarakat luas. Selain harus memiliki output yang terukur dan outcome yang berkelanjutan, kebijakan publik hakikatnya juga menggarisbawahi perannya untuk memanusiakan manusia dan segala aspek identitas hidupnya. Dengan cara pandang demikian, rakyat akan lebih dapat melihat eksistensinya sebagai warga negara, bukan objek kebijakan.