Libido Kekuasaan, Berlebihan?

Potret politik tanah air menjelang Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 semakin menyenangkan untuk dinikmati. Beragam survei mempertontonkan tokoh-tokoh nasional yang berpeluang menjadi primadona pesta akbar demokrasi Indonesia tersebut.

 

Tidak ingin menjadi pecundang pada kontestasi nasional 2024, beberapa partai mendeklarasikan calon presidennya. Yang menarik adalah terdapat tokoh tertentu yang ingin “memakan pada dua piring sekaligus”. Ingin menjajal posisi kandidat, tetapi juga tetap menjabat posisi strategis pemerintahan.

 

Sayangnya, libido kuasa semacam ini malah dianggap lumrah di Indonesia, etis, dan tidak terhalang aturan. Situasi ini perlu ditanggapi serius karena menyimpan potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

 

Putusan Mahkamah Konstitusi

 

Keleluasaan pejabat sekelas Menteri untuk menjajaki peluang menjadi Presiden sebenarnya dipicu oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 68/PUU-XX/2022. Putusan MK ini lahir sebagai tanggapan terhadap permohonan Partai Garuda untuk menguji pasal 170 ayat 1 Undang-Undang Pemilu (tempo.co, 01/11/2022).

 

Bagi MK, seorang Menteri boleh mengajukan diri sebagai Capres, asalkan mendapatkan izin dari presiden. Izin dari Presiden hanya dianggap sebagai masalah kode etik: sejauh tidak terganggu pekerjaannya sebagai pembantu Presiden.

 

Putusan MK ini memanen kritik. Pakar hukum tata negara Universitas Padjadjaran, Susi Dwi Harijanto misalnya, mengatakan MK hanya mempertimbangkan hak konstitusional, tanpa melirik sistem presidensial yang dianut negara kita.  Meskipun seorang Menteri secara hukum boleh mengambil cuti untuk kampanye, secara politis, ia tetap memiliki kekuasaan sebagai seorang Menteri (m.kbr.id, 03/11/2022).

 

Masalah lainnya, bagaimana bila kondisinya adalah seorang Presiden ingin maju berkompetisi pada periode kedua dan menterinya juga ingin maju bertarung? Bukankah akan terjadi gesekan internal yang turut menimbulkan tersumbatnya nadi pemerintahan?

 

Politik Kekuasaan

 

Hal yang luput dari diagnosis MK dan khalayak ramai dari panorama di atas adalah potensi penyalahgunaan kekuasaan. Untuk menangkap maksud kemungkinan ini, kita perlu memahami mekanisme operasi kekuasaan.

 

Sosiolog Oxford University, Steven Lukes, pernah memetakan skenario untuk meneropong pola kerja kuasa. Ia mengkategorikan manifestasi kuasa ke dalam tiga wajah (faces/forms): visible, hidden, invisible (Lukes, 1974/2005).

 

Pertama, bentuk visible berkonsentrasi pada siapa yang berpartisipasi dan mendominasi decision-making yang dapat diamati. Kuasa visible dilakukan oleh orang atau organisasi tertentu melalui aturan formal, hukum atau institusi. Kekuasaan ini terlihat ketika pemangku kepentingan berbeda bersaing untuk meraih pengaruh dan terdapat pemenang dan yang kalah dengan jelas.

 

Seorang Menteri memang sah secara hukum untuk bertemu warga dalam kerangka menyerap aspirasi atau membuat program tertentu yang bermanfaat bagi masyarakat. Namun sebagai Capres/Cawapres yang berkapasitas sebagai Menteri, ia dapat memanfaatkan momentum itu sebagai karpet merah untuk meraih kursi kekuasaan.

 

Maka, putusan MK hanya memenangkan kelompok yang rakus kuasa dan membiarkan kelompok lain yang berkompetensi membawa perubahan terjerembab ke dalam lumpur kekalahan. Putusan MK melanggengkan circle oligarki di republik ini.

 

Kedua, bentuk kuasa hidden mengeluarkan suara, kepentingan, dan isu tertentu dari decision-making process or off the public agenda. Kekuasaan hidden dilakukan oleh orang atau organisasi tertentu yang dapat menyetel agenda di balik layar.

 

Sudah tentu kelompok dengan sumber daya besar dalam pemerintahan lebih besar peluang memenangkan pertarungan. Wewenang seorang Menteri di dalam memutuskan kebijakan, menata anggaran, mengeksploitasi jaringan dan panggung publik adalah sekian infrastruktur kekuasaan tersembunyi yang memuluskan jalan menuju tampuk pemerintahan.

 

Ketiga, bentuk kuasa invisible mengacu pada kepercayaan dan norma yang sudah terinternalisasi atau kurangnya kesadaran individu. Suara dan isu tertentu dibungkam. Ketidaksetaraan bergulir terus tanpa dipertanyakan. Wajah kekuasaan ini dibalut oleh ideologi atau nilai tertentu yang meresapi cara kita berpikir, merasa, dan bertindak.

 

Eksploitasi terhadap bentuk kekuasaan ini, misalnya, tampak di dalam kandidat tertentu yang hanya untuk bersafari, izinnya dicabut Pemerintah dengan beragam alasan atau dibatasi dengan aneka cara.

Sementara itu, bacapres/bacawapres dari barisan pemerintahan yang malu-malu mengakui ambisinya malah leluasa memanfaatkan jalan tol untuk bersua dengan masyarakat melalui berbagai program. Pemandangan pilu seperti ini sebenarnya ketidaksetaraan yang diakibatkan oleh tidak etisnya politik hukum kita.

 

Manuver kekuasaan invisible lebih efektif lagi tatkala dilakonkan secara implisit. Michel Foucault pernah menulis: semakin implisit permainan kekuasaan, semakin efektif (Haryatmoko, 2016). Rute kekuasaan tidak hanya berkisar di istana negara atau lembaga pemerintahan lain (makro-politik). Kekuasaan beroperasi di mana-mana (Foucault, 1978).

 

Ketika seorang Menteri, yang juga bermimpi menjadi Capres, blusukan atau menghadiri forum tertentu sebagai Menteri, pada saat yang sama strategi kampanyenya berlangsung. Taktik penyalahgunaan kekuasaan ini paling efektif karena masyarakat mengagungkan pejabat yang blusukan, dekat dengan warga. Masyarakat tidak insaf kalau pejabat yang murah menjual senyum tersebut sedang mendulang elektabilitasnya.