Manuver Oknum Tunda Pemilu

Ilmuwan politik Jean Baechler (Democracy an Analytical Survey, 2001) pernah mengeluarkan pernyataan sarkastis, human is conflictual. Bagi Baechler, manusia dari kodratnya sudah bermasalah. Tanpa membuat masalah pun sudah bermasalah.

 

Kata-kata Baechler kelihatannya tidak meleset dari hiruk-pikuk politik Indonesia. Masalah mengalir tanpa henti. Energi bangsa ini tersedot habis untuk mengurus manipulasi politik yang merambat ke berbagai sekat, termasuk lembaga yudikatif yang dipercayai masyarakat sebagai perpanjangan pengadilan ‘Tuhan’.

 

Kali ini kegaduhan dipicu oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN) dan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima). Prima baru saja menggugat Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui perkara 757/Pdt.G/2022 ke PN. Alasan Prima mengajukan gugatan berawal dari keputusan KPU yang menggugurkan Prima pada tahapan verifikasi administrasi calon peserta Pemilu 2024 pada Oktober 2022.

 

Kala itu, Prima langsung mengajukan gugatan ke Bawaslu dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), tetapi tetap berakhir pilu. Merasa dizolimi, Prima kembali melayangkan gugatan terhadap KPU melalui PN dengan tujuan untuk memulihkan hak politiknya dan menjadi peserta Pemilu 2024. Putusan PN yang dipimpin oleh hakim ketua T. Oyong dengan anggota hakim H.Bakri dan Dominggus Silaban lantas mengabulkan gugatan Prima.

 

Tidak hanya itu, PN juga menjatuhkan hukuman terhadap KPU berupa penundaan Pemilu. “Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua ) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari,” petikan putusan tersebut. Majelis hakim juga menghukum KPU untuk membayar ganti rugi materiil sebanyak Rp500 juta. PN menyatakan bahwa penggugat, yakni Prima adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi.

 

Meskipun demikian, Ketua Umum Prima, Agus Jabo Priyono, menyangkal bila gugatan partainya terhadap KPU ke PN adalah sengketa pemilu. Agus mengatakan, dasar perkaranya ialah perbuatan melawan hukum. KPU ditengarai menghambat hak politik warga negara Agus dan kawan-kawan untuk mendirikan partai politik dan mengikuti Pemilu 2024.

 

Ibarat menyiram minyak ke titik api, putusan PN tersebut langsung bikin geger warga Indonesia. Menkopolhukam Mahfud MD pun menyatakan PN membuat sensasi berlebihan. Spekulasi bermekaran di berbagai kalangan. Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, kilat menduga keberadaan sokongan kekuatan besar di balik Putusan PN.

 

Pengamat politik Universitas Paramadina, Umam, juga memiliki penilaian serupa. Ia menduga, Prima hanyalah pion kecil dalam agenda menunda Pemilu 2024. Hasto lantas mendorong penyelidikan terhadap manuver di balik Putusan PN Jakarta tersebut. Di tempat terpisah, politisi Partai Gerindra, Fadli Zon juga ikut mendesak motif putusan penundaan Pemilu 2024 diinvestigasi.

 

Putusan yang Keliru

 

Melalui akun resmi instagramnya (@mohmahfudmd), Mahfud membeberkan beberapa kekeliruan vonis PN Jakarta Pusat. Pertama, yurisdiksi sengketa proses, administrasi, dan hasil pemilu ada pada Bawaslu. Keputusan kepesertaan dalam pemilu paling jauh diatur oleh PTUN, bukan PN. Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari, juga sepemikiran dengan profesor Mahfud.

 

Kedua, penundaan pemilu hanya bisa diberlakukan KPU untuk daerah-daerah dengan alasan tertentu, bukan seluruh Indonesia. PN tidak memiliki wewenang untuk menunda Pemilu. Ketiga, penundaan pemilu bertentangan dengan Konstitusi Pasal 22E ayat (6) yang mengatur pemilu digulirkan sekali dalam lima tahun.

 

Bivitri Susanti, pengajar Sekolah Tinggi Hukum Jentera, juga sependapat. Menurutnya, tidak ada konsep menunda pemilu. Namun ada pemilu susulan, di daerah tertentu, bukan nasional, dan dengan alasan tertentu yang berat seperti bencana alam atau keadaan darurat. Itupun diatur melalui aturan KPU, bukan putusan PN.

 

Pihaknya juga menambahkan, gugatan Prima merupakan ranah administrasi negara, bukan perdata. Dalam ranah perdata, putusan terikat konsep privat. Artinya, yang merasakan dampak ialah pihak penggugat dan tergugat, bukan semua orang.

 

Tidak ingin membiarkan kesesatan PN berlama-lama, Komisi Yudisial (KY) tancap gas mengumbar janji akan memanggil sejumlah hakim di PN yang menangani perkara tersebut. Miko Ginting, juru bicara KY, berujar, “apabila ada dugaan yang kuat telah terjadi pelanggaran perilaku hakim, maka KY akan melakukan pemeriksaan terhadap hakim yang bersangkutan.”

 

Dorongan Banding

 

Profesor Mahfud MD lantas mendorong KPU mengajukan banding. Mahfud yakin, KPU akan menang. Kalaupun tidak menang, putusan penundaan Pemilu tersebut tidak perlu dihiraukan karena salah kamar. Mengekor desakan para pakar hukum, Komisioner KPU Idham Holik menyatakan dengan tegas pihaknya menolak putusan PN.

 

Pengajuan banding patut dilakukan KPU untuk menghindari dampak negatifnya. Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Arya Fernandes, membuka beberapa akibat buruk dari skenario penundaan Pemilu. Pertama, akan terjadi pembangkangan terhadap konstitusi. Konstitusi adalah dasar negara. Jika konstitusi diobrak-abrik sewenang-wenang, akan meninggalkan preseden buruk bagi masa depan. Kesaktian konstitusi sebagai fondasi negara luntur dan rapuh.

 

Kedua, sudah tentu menimbulkan ketidakpastian bagi investor dalam negeri dan luar negeri sehingga dapat mengakibatkan instabilitas ekonomi. Bukan rahasia kalau investasi membutuhkan jaminan keamanan politik dan ekonomi. Ketiga, anggaran Pemilu akan membengkak lantaran masa kerja penyelenggara jadi lebih panjang.

 

Agenda Besar

 

Di dalam karya fenomenalnya Virtue: A Study in Moral Theory (1981), filsuf Eropa Alasdair Macintyre pernah mengatakan kebermaknaan sebuah cerita tidak diperoleh dari fragmen-fragmen, melainkan keseluruhan narasi. Setiap serpihan kisah hampir selalu memiliki kaitan meskipun mungkin hanya berbentuk koinsiden.

 

Bola panas penundaan Pemilu 2024 bukan isu baru. Sudah ada pancingan beberapa kali sebelumnya. Beberapa tokoh nasional di lingkaran Pemerintah sudah melakukan testing water beberapa kali. Muhaimin Iskandar (Ketua umum PKB), Airlangga Hartarto (Ketua umum Golkar), Zulkifli Hasan (Ketua umum PAN), Luhut Binsar Pandjaitan (Menko Marves), Bahlil Lahadalia (Menteri Investasi), hingga Bambang Soesatyo (Ketua MPR).

 

Wacana tarik-ulur Pemilu 2024 sebenarnya dimulai oleh Muhaimin Iskandar. Ia mengusulkan Pemilu ditunda satu hingga dua tahun agar ekonomi masyarakat pasca Pandemi Covid 19 dapat dipulihkan. Ia menyatakan, usulan ini lahir dari penyerapan atas aspirasi masyarakat di berbagai daerah yang sempat ia kunjungi.

 

Menanggapi seruan Muhaimin, Zulkifli Hasan mempertebal alasan. Menurutnya, Pemilu perlu ditunda karena kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Jokowi masih tinggi. Selain itu, ekonomi Indonesia belum pulih akibat pandemi. Perang Rusia-Ukraina juga semakin mengancam stabilitas ekonomi Indonesia. Anggaran Pemilu akan membengkak sehingga lebih baik diarahkan untuk mensejahterakan rakyat.

 

Mengekor kedua petinggi partai tersebut, di dalam Deddy Corbuzier Podcast, Luhut Binsar Panjaitan mendaku memiliki big data berkisar 110 juta warga menginginkan penundaan Pemilu 2024. Berkali-kali ia diminta membuka big data tersebut, Jodi Mahardi, juru bicara Menko Marves enteng menjawab bahwa data tersebut milik internal Luhut.

 

Menteri Bahlil ikut nimbrung. Menggiring isu dari sisi investasi, ia menuturkan aspirasi para investor yang membutuhkan stabilitas politik. Setelah kawan-kawannya menggulirkan ide liar tersebut, giliran Airlangga Hartarto mengaku menerima aspirasi petani Kabupaten Siak, Riau untuk memperpanjang masa jabatan Presiden Joko Widodo. Menjelang akhir tahun, rekan separtai Airlangga, Bambang Soesatyo mengajak masyarakat dan elit partai turut menunda Pemilu. Namun, ia menyangkal tuduhan tersebut dengan dalih hanya mengajak untuk berpikir ulang.

 

Sebelum putusan PN menguak, Plt Ketua PPP Muhammad Mardiono kembali membuka isu penundaan pemilu. Setelah berkeliling 30 provinsi, Utusan Khusus Presiden Bidang Kerja Sama Pengentasan Kemiskinan dan Ketahanan Pangan ini pada 4 Februari 2023, bersuara, “Antusiasme masyarakat menanggapi Pemilu itu saya lihat tidak begitu respons tinggi, tetapi agak dingin.… Jangan sampai tahun politik ini mengganggu pada situasi masyarakat atau rakyat yang masih trauma itu.”

 

Menanggapi isu penundaan Pemilu, Presiden Joko Widodo berkali-kali sudah mengutarakan komitmennya untuk taat pada konstitusi. Ia menolak penundaan pemilu atau usulan tiga periode, “Jangan sampai ada lagi yang menyuarakan mengenai penundaan (pemilu), perpanjangan (masa jabatan presiden), ndak!”

 

Pertanggungjawaban Publik

 

Alam demokrasi membolehkan siapa saja berpendapat. Namun, ada beberapa prasyarat supaya demokrasi tidak membusuk. Ilmuwan politik dan filsuf kenamaan Jurgen Habermas mengatakan demokrasi di era kapitalisme lanjut hanya dapat dibangun melalui konsensus. Ada beberapa norma untuk membangun konsensus yang intersubjektif, yakni setiap warga negara harus setara, bertanggung jawab, rasional, dan otonom, dalam membangun diskursus di ruang publik (Luke Goode, Jurgen Habermas: Democracy and Public Sphere, 2005).

 

Politik memang merupakan pertarungan diskursif. Namun diskursus meniscayakan pembuktian ilmiah. Setiap warga negara boleh berpendapat, asalkan pendapatnya harus dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Apalagi para pejabat publik, tidak hanya wajib membuktikan secara ilmiah setiap lontaran kata-katanya, tetapi juga terikat etika publik.

 

Pejabat publik memiliki tanggung jawab moral karena melekat pada jabatannya kepercayaan publik. Berbeda dengan warga biasa, para pejabat publik harus memiliki penalaran moral (moral reasoning) yang mengalir dari moralitas individual, moralitas publik, dan etika organisasional (J. S. Bowman, et.al., Achieving Competencies in Public Service, 2020).

 

Dengan demikian, setiap pernyataan pejabat publik tidak hanya harus berbasis kajian ilmiah, tetapi juga mempertimbangkan dampak moral. Desakan penundaan pemilu 2024 harus dipertanggungjawabkan secara ilmiah, argumentatif, konstitusional, dan etis.

 

Meskipun presiden sudah berkali-kali menolak penundaan pemilu atau tiga periode, membiarkan para bawahannya bebas bersuara adalah sinyal tidak kompeten dan tidak etisnya pemerintah. Para menteri adalah pelaksana visi-misi presiden. Bagaimana mungkin bawahan dapat mengekspos gagasan yang eksplisit bertentangan dengan atasannya?