Misteri Transaksi 300 Triliun

Ilmuwan politik Niccolo Machiavelli pernah mengeluarkan adagium sarkastis, yakni ketika tindakan menuduh, hasilnya justru mengijinkan dirinya (Machiavelli, 1979: 132). Kata-kata Machiavelli di kemudian hari ditafsirkan para moralis secara negatif sebagai ‘tujuan menghalalkan segala cara’ (Rees, 2004:4). Meskipun keliru menafsirkan Machiavelli, ada yang benar dari penafsiran para etikawan bahwa di dalam realisme hidup, memang ada orang yang memakai segala cara untuk meraih tujuannya.

 

Pekan terakhir, beberapa isu menjadi sorotan publik. Kunjungan Presiden Joko Widodo ke Singapura untuk meminta investasi di IKN, kenakalan para turis asing di Bali, misteri transaksi 300 triliun di Kementerian Keuangan, penjualan global kendaraan listrik bertenaga baterai, hingga vonis ICC dan perintah penangkapan terhadap Vladimir Putin sebagai pelaku kejahatan perang di Ukraina.

 

Kata-kata Machiavelli di atas menyambung tidak sedikit praktik para pejabat di Indonesia yang selalu merasa tidak cukup dengan gaji dan menghalalkan aneka cara untuk menumpuk kekayaan. Baru saja Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan adanya dugaan transaksi janggal sebesar Rp 300 triliun pada 467 pegawai Kemenkeu selama kurun waktu 2009-2023.

 

Kabar tersebut menjadi buah bibir jagat maya lantaran dibongkar Menkopolhukam, Mahfud MD. Mahfud mengakui kalau transaksi 300 triliun tersebut bukan korupsi, melainkan pencucian uang. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, langsung merespons positif, ingin bekerja sama dengan Mahfud MD untuk ‘bersih-bersih’ kementeriannya.

 

Beberapa hari kemudian, Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Awan Nurmawan Nuh melayangkan pernyataan berbeda. Pihaknya menyampaikan bahwa pada prinsipnya angka Rp300 triliun itu bukan angka korupsi ataupun TPPU pegawai di Kementerian Keuangan. Menanggapi kesimpangsiuran tersebut, Mahfud berencana untuk membuka kasus tersebut di ruang DPR.

 

Di tempat lain, laporan PPATK menimbulkan kecurigaan. Pakar hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah Castro, menilai PPATK terlalu dini membuat kesimpulan terkait Tindak Pidana Pencucian Uang Rp 300 triliun tersebut. PPATK seakan melokalisir pidana asalnya pada kepabeanan dan perpajakan, padahal PPATK bukan bagian dari aparat penegak hukum (APH). Wewenang PPATK hanyalah menyediakan informasi intelijen untuk ditindaklanjuti. Jadi, tindakan PPATK justru menguatkan dugaan kalau ada upaya untuk menghindari proses hukum di APH, terutama di KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).

 

Misteri transaksi 300 triliunan terancam menguap jika tidak diusut. Beberapa hal perlu dipertimbangkan untuk mengurai kekusutan transaksi ganjil tersebut. Pakar tindak pidana pencucian uang dari Universitas Trisakti, Jakarta, Yenti Ganarsih, menilai tanggung jawab untuk mengusut kasus pencucian uang Rp300 triliun saat ini tidak lagi ada pada Kemenkeu, melainkan KPK. Namun KPK kesulitan mengusut transaksi jumbo di tubuh Kemenkeu tersebut jika bukan kasus korupsi.

 

Penting dipertimbangkan untuk menyerahkan kasus kepada Bareskrim agar ditindak sebagai kasus pencucian uang, berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, sebagaimana disarankan MAKI. Juga dengan cara para pimpinan APH, yakni KPK, Kejaksaan, Polri, membuat kesepakatan untuk mengusut tuntas kasus ini sebagaimana disarankan Mahfud MD.

 

KPK kelihatan sangat berhati-hati menindak kasus transaksi 300 triliun di Kemenkeu tersebut karena ketiadaan payung hukum. Jika transaksi tersebut adalah pencucian uang, KPK tidak berwenang. Ganjalan seperti ini bukan ketiadaan kompetensi petugas KPK, melainkan kelemahan hukum. Definisi korupsi di Indonesia berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 hanya menyangkut 7 hal: Kerugian keuangan negara, Suap-menyuap, Penggelapan dalam jabatan, Pemerasan, Perbuatan curang, Benturan kepentingan dalam pengadaan, dan Gratifikasi (Ardisasmita, 2006:4).

 

Pendek kata, UU korupsi mempersempit  tindakan korupsi sebagai ‘the abuse of power’ mengikuti Transparency International. Alhasil, tindakan pencucian uang tidak masuk di dalamnya. Padahal, United Nations Convention against Corruption (UNCAC) article 23 memasukkan money-laundering ke dalam tindakan korupsi. Kesempitan konsepsi korupsi mengamputasi kaki KPK untuk meringkus para penjahat di balik pencucian uang.

 

Definisi hukum korupsi di Indonesia seharusnya mengikuti konteks sosio-kultural masyarakat Indonesia, bukan lembaga internasional seperti World Bank atau Transparency International yang bias Barat. Kajian B. Herry Priyono (2018) menunjukkan konsepsi legal korupsi di Indonesia belum mengakomodir kompleksitas tindak korupsi dalam masyarakat.

 

Langkah program Mahfud MD untuk melibatkan kesepakatan para petinggi aparat penegak hukum (KPK, Kejaksaan, Kepolisian) patut diacungi jempol. Jika harus menunggu pembuatan hukum, yang acapkali berkelok-kelok, dicemaskan misteri transaksi Rp300 triliun tersebut mengalami antiklimaks. Karena itu, atas dasar cita rasa keadilan dan kebermanfaatan, APH harus progresif menjerat pelaku kriminal dengan strategi lain (Jegalus, 2011). Kejahatan tidak dapat dikurung di dalam norma perundang-undangan.