Penempatan militer di sektor sipil dan proyek strategis nasional menimbulkan banyak pertanyaan mendasar. Mengapa bisa terjadi? Apakah keahlian di masing-masing sektor belum cukup untuk menjalankan kebijakan dan menjaga ketertiban? Atau apakah ini pertanda akan adanya perluasan peran militer di Indonesia dalam sektor sipil dan proyek besar negara?
Sejak reformasi 1998, kebijakan untuk menempatkan militer di luar sektor pertahanan dan keamanan dihapuskan. Hal itu untuk memastikan supremasi sipil dan demokrasi berjalan lebih sehat. Akan tetapi, di era kepemimpinan Presiden Prabowo, anggota aktif militer kembali banyak ditugaskan pada sektor sipil di luar sektor pertahanan dan keamanan. Beberapa di antaranya Mayor Inf Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet, Mayor Jenderal TNI Novi Helmy Prasetya sebagai Direktur Utama Perum Bulog, dan Mayor Jenderal TNI Maryono sebagai Jenderal Kementerian Perhubungan.
Situasi tersebut banyak memicu pertanyaan mengenai pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden Prabowo dengan menugaskan anggota aktif militer dalam jabatan sipil. Pasal 39 UU Nomor 34 Tahun 2004 menegaskan prajurit TNI dilarang untuk berbisnis, berpolitik praktis, dan memegang jabatan di kementerian atau lembaga sipil kecuali dalam bidang pertahanan. Secara jelas telah dituliskan ketidaketisan penempatan anggota aktif militer pada sektor sipil di luar Kementerian Pertahanan.
Adanya upaya militerisasi di berbagai sektor, negara perlu mengantisipasi beberapa hal yang berpotensi menjadi tujuan perluasan kekuasaan. Penting untuk dikawal dalam hal pengamanan stabilitas politik dan kekuasaan pemerintah, pengontrolan sumber daya ekonomi strategis, pengamanan proyek yang berisiko konflik dengan masyarakat, dan persiapan untuk sistem pemerintahan yang lebih sentralistik.
Pemangku kebijakan harus menentukan antara melanjutkan upaya perluasan tugas militer di jabatan sipil dengan revisi UU TNI, atau dengan tegas membatasi keterlibatan militer dalam jabatan sipil dan proyek besar negara, di luar kewenangannya untuk menjaga pertahanan negara. Pengambilan keputusan tidak seharusnya secara terang-terangan melanggar regulasi yang masih berlaku dan justru mempercontohkan sikap politik amoral.