Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan dua regulasi terbaru terkait dengan zat adiktif yakni Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 17 Tahun 2023. Dalam undang-undang tentang kesehatan, isu tentang zat adiktif diuraikan pada bagian bagian XXIV dengan tema pengamanan zat adiktif. Pada bagian tersebut, terdapat 4 pasal (149-152) yang mengatur tentang pengertian & jenis zat adiktif, rokok elektrik, peringatan kesehatan, dan kawasan tanpa rokok. Aspek kebaruan dari undang-undang ini yakni pengaturan tentang rokok elektrik (pasal 150) sebagai salah satu jenis zat adiktif.
Pelaksanaan teknis dari undang-undang kesehatan yang mengatur tentang zat adiktif diuraikan dalam PP 28/2024. Terdapat 34 pasal (429-463) yang secara khusus menjelaskan tentang pengamanan zat adiktif. Jika diklasifikasikan dalam beberapa tema spesifik terkait, maka ada enam tema yakni kandungan & jenis zat adiktif, standarisasi & larangan, edukasi bahaya merokok, kawasan tanpa rokok, tanggung jawab pemerintah pusat & daerah, dan peran masyarakat. Dari berbagai tema spesifik tersebut, standarisasi & larangan merupakan tema yang paling banyak dibahas yakni 23 pasal. Tema tentang edukasi bahaya merokok dibahas dalam 2 pasal, sedangkan kandungan & zat adiktif dan peran masyarakat masing-masing 1 pasal.
Pasal Problematis Pada Tema Standarisasi & Larangan
Tema tentang standarisasi dan larangan mencakup beberapa poin yakni izin produksi ekspor & impor, bahan tambahan, izin produksi, kemasan, huruf & warna gambar, iklan, sponsor, dan tanggung jawab sosial perusahaan. Memang, beberapa poin tersebut telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tetapi ada beberapa pasal dan poin tambahan untuk mempertajam daya jangkau regulasi baru tersebut. Ada dua pasal yang perlu mendapat catatan kritis karena dinilai problematis dan merugikan pengecer, pelaku industri, dan petani tembakau.
Pertama, Pasal 431 ayat (1) huruf b “setiap orang yang memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan produk tembakau wajib:…mematuhi batas maksimal kadar nikotin dan tar…” Ketentuan mengenai batas maksimal kadar nikotin dan tar harus dilihat secara utuh pada ayat (6) “penentuan batas maksimal kadar nikotin dan tar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang pembangunan manusia dan kebudayaan dengan mengikutsertakan kementerian dan lembaga terkait.”
Jika dikaitkan dengan PP 109/2012, pasal 431 ayat dinilai sebagai aspek kebaruan dari regulasi ini. PP 109/2012 menjelaskan secara detail kandungan nikotin dan tar. Selain itu, peraturan ini juga memberikan wewenang kepada badan pemerintahan terkait untuk melakukan pengawasan pengujian nikotin dan tar baik sebelum dan sesudah produksi, terutama pada kemasan. Sementara pada PP 28/2024, fokusnya tidak hanya pada ketentuan yang mewajibkan semua pelaku industri, baik itu yang melakukan ekspor dan impor untuk taat pada batas maksimal kandungan nikotin dan tar, tetapi juga kita bisa melihat peran lintas kementerian dan badan terkait untuk menentukan batas maksimal kandungan nikotin dan tar.
Meskipun adanya aspek kebaruan dari sisi koordinasi lintas kementerian dan badan, penekanan pada ketentuan batas maksimal nikotin dan tar berdampak buruk bagi pelaku industri. Sampai saat ini, kementerian dan badan belum mengeluarkan peraturan terbaru mengenai batas maksimal nikotin dan tar. Ketentuan tersebut masih merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 81 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Dalam peraturan tersebut, ditegaskan bahwa batas maksimum kandungan nikotin dan tar pada setiap batang rokok yang beredar di wilayah Indonesia tidak boleh melebihi kadar kandungan nikotin 1,5 mg dan kadar kandungan tar 20 mg.
Ketentuan nikotin dan tar yang diatur dalam peraturan yang disebutkan pada bagian sebelumnya, secara tidak langsung “mematikan” industri rokok dalam negeri, terutama jenis rokok kretek. Dikatakan demikian karena ketentuan maksimal nikotin sebesar 1,5 mg dan tar sebesar 20 mg pada tiap batang rokok akan sulit dipenuhi oleh rokok jenis kretek yang menggunakan tembakau non-virgina dan cengkeh. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Sampoerna Scientific Regulatory Intelligence yang dilansir dari Kementerian Tenaga Kerja (2014), rata-rata kandungan nikotin dan tar pada tiap batang rokok kretek adalah sebagai berikut.
No | Mereka Rokok Kretek | Nikotin (mg/btg) | Tar (mg/btg) |
1 | Dji Sam Soe | 2,37 | 46,6 |
2 | Sampoerna Hijau | 2,22 | 45,0 |
3 | Panamsa Kuning | 2,29 | 46,2 |
4 | Gudang Garang King Size | 2,10 | 53,2 |
5 | Wismilak | 2,10 | 49,4 |
6 | Mister Slom | 1,70 | 23,1 |
7 | Wismilak Slim | 1,68 | 42,2 |
8 | Bentoel Sensasi Sejati | 2,50 | 51,3 |
9 | Djarum 76 | 2,50 | 48,5 |
10 | Djarum Coklat | 2,40 | 48,8 |
11 | Grendel Om | 1,73 | 42,7 |
12 | Grendel MI | 1,67 | 45,0 |
13 | Djagung Prima | 1,70 | 42,0 |
14 | Retjo Pentung SP | 2,33 | 41,6 |
15 | Suket Teki Merah | 2,10 | 45,5 |
16 | Pusaka | 2,24 | 44,8 |
17 | Sejahtera KS Kuning | 1,99 | 40,7 |
18 | Engkol | 1,82 | 39,3 |
19 | Saritoga XQ King | 1,76 | 38,9 |
20 | Bokormas Universal | 2,27 | 39,8 |
21 | Panamas Ijo | 2,15 | 45,6 |
22 | Sukun Merah KS | 2,10 | 52,9 |
23 | Oepet SPS Biru Putih | 1,70 | 36,5 |
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa batas maksimum nikotin dan tar pada dasarnya ingin menghapus industri rokok kretek. Rokok kretek merupakan salah satu jenis rokok khas yang berasal dari Indonesia. Sejak tahun 1998, industri rokok kretek sebenarnya tidak mengalami peningkatan yang berarti dari sisi produksi. Meskipun demikian, cukai rokok yang diberikan oleh industri rokok kretek kepada negara meningkat secara signifikan antara 13% sampai 50%. Kehadiran PP 28/2024 tidak hanya menambah derita bagi para pelaku industri dan petani tembakau, tetapi disisi lain diperas untuk penerimaan negara.
Kedua, Pasal 434 ayat (1) huruf c “setiap orang dilarang menjual produk tembakau dan rokok elektronik secara eceran satuan per batang, kecuali bagi produk tembakau berupa cerutu dan rokok elektronik.” Pasal 434 ayat (1) huruf e “dalam radius 200 (dua ratus) dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.” Dua poin (Pasal 434 ayat (1) huruf c & e) ini harus dibaca secara hermeneutis yakni dengan melihat teks, konteks, dan subjek yang memproduksi teks. Kalau dilihat dari sisi teks (materi) peraturan, regulasi ini tidak hanya menyasar pelaku industri besar, tetapi juga sampai pada tingkat yang paling kecil yakni pengecer.
Namun, jika dilihat dari sisi konteks kita bisa melihat dua poin ini ingin mengatur pengaruh rokok bagi peserta didik mulai dari tingkat SD, SLTP, dan SLTA. Data dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) tentang radius densitas warung eceran dengan sekolah di Jakarta menunjukkan bahwa 61,2% warung rokok eceran yang disurvei berada dekat dengan lingkungan sekolah (PKJS UI, 2021). Artinya, aksesibilitas anak terhadap produk rokok begitu mudah dan murah, apalagi dengan dimungkinkannya pembelian secara ecer. Penekanan pada jarak radius 200 meter antara lembaga pendidikan dan warung eceran tidak mungkin diterapkan, terutama untuk kota besar dengan tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi.
Dari sisi subjek pembuat regulasi dalam hal ini pemerintah, kita bisa melihat bahwa regulasi ini tidak mengakomodasi asas keadilan, terutama bagi para pengecer. Regulasi harus menerapkan asas materi muatan “keadilan” dengan juga memasukkan perspektif perlindungan kepentingan yang lain yakni petani tembakau, penjual/pengecer produk tembakau (Daeng, dkk, 2011). Data dari Kementerian Tenaga Kerja (2014) memperlihatkan bahwa regulasi tentang zat adiktif juga mempengaruhi penyerapan tenaga kerja, baik itu petani dan pengecer.
No | Penyerapan Tenaga Kerja | Jumlah (orang) |
1 | Pekerja industri rokok | 187.451 |
2 | Petani tembakau | 2.300.000 |
3 | Petani cengkeh | 1.900.000 |
4 | Pengecer/pengasong | 1.150.000 |
5 | Percetakan & transportasi | 900.000 |
Jumlah | 6.437.451 |
Angka ini terus bertambah dari tahun ke tahun mengingat meningkatnya produksi rokok. Apabila diasumsikan bahwa setiap tenaga kerja mempunyai tanggungan 1 istri dan 2 anak, maka total penduduk yang sebagian atau seluruh kehidupannya tergantung pada industri rokok mencapai angka sekitar 20 juta orang atau hampir 10% dari total penduduk Indonesia.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa pasal 343 ayat (1) perlu ditinjau kembali mengingat esensi dari pasal ini yakni memperkuat pencegahan bahaya merokok bagi anak. Pencegahan bahaya merokok bagi anak harus dimulai dari aspek kesadaran. Dengan demikian, sarannya yakni pasal yang berkaitan dengan edukasi bahaya merokok harus diperluas cakupannya, terutama berkaitan dengan kurikulum, aktor terkait, lingkungan pendidikan, dll. Dalam PP 28/2024, pasal yang berkaitan dengan edukasi bahaya merokok (pasal 436 & 462) hanya fokus pada tanggung jawab pelaku industri rokok dan peran aktif masyarakat.
Hilangnya Aspek Kebijakan Publik Dalam Penyusunan Regulasi Kesehatan
Logika kebijakan publik itu sendiri berkaitan dengan dua hal yakni tata kelola dan dampak. Dalam regulasi kesehatan terbaru kita bisa melihat bahwa tata kelola hanya berada di dua pihak dengan tugas yang berbeda. Pemerintah pusat dengan tugas melakukan pengawasan terhadap industri rokok, sementara pemerintah daerah fokus pada pengawasan terhadap masyarakat (perokok aktif dan pasif). Tata kelola pengawasan zat adiktif ini dinilai hanya fokus pada pelaku industri. Ketika tata kelola pengawasan terhadap perokok diserahkan ke daerah kita bisa menyimpulkan adanya indikasi “pelimpahan wewenang” dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Padahal, masalah dampak kesehatan terhadap perokok telah menjadi masalah nasional. Idealnya, isu strategis nasional harus dikelola secara holistik dengan mengedepankan kolaborasi antara lembaga, baik secara vertikal maupun horizontal.
Hadirnya undang-undang ini menunjukkan bahwa pemerintah belum melakukan studi komprehensif mengenai dampak kesehatan. Di sisi lain, abai melihat dampak sosial ekonomi dari regulasi kesehatan yang telah berlaku dua dekade sebelumnya. Studi yang dilakukan Daeng, dkk pada tahun 2011 menunjukkan bahwa pengaruh zat adiktif terhadap kesehatan itu hanya 5-10%. Zat adiktif sebagai penyebab negatif kesehatan seseorang bukanlah pemicu tunggal. Di sisi lain, sejak berlakunya PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan sudah banyak penelitian yang menunjukkan dampak negatif regulasi ini bagi aspek sosial ekonomi masyarakat. Dengan demikian, kita bisa menyimpulkan bahwa regulasi kesehatan terbaru tidak memiliki unsur kebijakan publik yang kuat.