Pada 2 Maret 2023, hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menghukum Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menunda Pemilihan Umum (pemilu) 2024. Hukuman ini merupakan produk dari gugatan Partai Prima terhadap KPU terkait kasus gagalnya verifikasi Partai Prima menjadi peserta pemilu 2024. KPU harus mengulang seluruh tahapan pemilu 2024 sekaligus menunda tahapannya sampai Juli 2025.
Keputusan di atas tentunya menggemparkan seluruh masyarakat Indonesia. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Republik Indonesia, Prof. Dr. Mahfud MD dalam cuitannya di twitter menyampaikan bahwa, Vonis PN Jakarta Pusat tentang penundaan pemilu ke tahun 2025 harus dilawan, karena tidak sesuai dengan kewenangannya. Mahfud MD juga menambahkan bahwa perkara ini di luar yurisdiksi PN oleh karena hukum pemilu bukan hukum perdata. Vonis tersebut bertentangan dengan UUD 1945 bahwa pemilu dilakukan setiap 5 tahun sekali.
Hal yang serupa bahkan datang pula dari Wakil Sekretaris Jenderal Partai Prima itu sendiri, Rudi Hartono. Dalam status Facebook-nya, Rudi secara pribadi tidak setuju dengan ide penundaan pemilu. Penundaan pemilu akan mencederai demokrasi karena anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bisa memperpanjang masa jabatannya tanpa memperbaharui mandat. Rudi menegaskan juga bahwa dalam negara demokrasi, pembaharuan mandat hanya dapat dilakukan melalui pemilu.
Putusan PN Jakarta Pusat memang layak untuk menjadi sorotan publik. Berbagai pengamat hukum dan politik menyebutkan bahwa, keputusan ini mudah dipatahkan, melanggar konstitusi negara, dan menyebabkan dinamika politik nasional menjadi tidak stabil. Lantas, langkah-langkah apa saja yang seharusnya dilakukan pemerintah untuk menghentikan wacana penundaan pemilu, sekaligus menjaga marwah demokrasi dan konstitusi Indonesia dari cedera?
Informasi lebih lengkap silakan unduh di sini