Isu Industri Hasil Tembakau (IHT) telah menjadi bola liar pertarungan kepentingan antara kelompok kesehatan dan kelompok industri. Kelompok kesehatan dengan lantang menegaskan bahwa IHT berbahaya bagi kesehatan, sementara kelompok industri melihat IHT sebagai bagian penting dari bisnis yang menguntungkan banyak pihak. Tarik menarik antara dua kelompok tersebut mempengaruhi negara dalam merumuskan kebijakan (regulasi), apakah harus mendengarkan masukan dari kelompok kesehatan atau mengakomodir kepentingan kelompok industri. Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa korban dari pertarungan kepentingan tersebut yakni masyarakat, baik itu petani maupun kelompok masyarakat yang diuntungkan dari pajak atau cukai rokok.
Tulisan ini ingin memperkuat argumen bahwa segala bentuk kebijakan baik itu IHT maupun kesehatan, harus berpengaruh positif terhadap masyarakat. Dengan kata lain, negara harus mampu membuat kebijakan yang memperkuat aspek kebijakan publik. Bagian pertama tulisan akan mengulas secara detail kebijakan IHT setiap presiden mulai dari Presiden Soekarno sampai Joko Widodo. Sebelum masuk pada bagian tersebut, penulis akan memberikan konteks tentang tanaman tembakau yang telah menjadi salah satu komoditi potensial pada masa Pemerintah Hindia Belanda. Bagian selanjutnya akan berisi analisis proyeksi arah kebijakan Presiden Prabowo berkaitan dengan IHT. Terakhir, penulis akan menguraikan pentingnya sikap ideologis dalam merumuskan kebijakan IHT.
Sejarah Kebijakan IHT di Indonesia
Tanaman tembakau telah menjadi komoditas penting sebelum era kemerdekaan. Pemerintah Hindia Belanda tidak melihat tanaman tembakau sebagai komoditas penting dibandingkan dengan tebu, kopi, dan nila. Tetapi, sejak tahun 1815 tembakau telah menjadi salah satu komoditas yang mampu meningkatkan ekonomi masyarakat, bahkan menjadi salah satu produk ekspor. Keseriusan Pemerintah Hindia Belanda terhadap komoditas ini dapat dilihat dari kebijakan dengan mengutus beberapa orang untuk belajar tentang pertembakauan di Kuba. Padmo & Djatmiko (dalam Brata, 2012) menjelaskan bahwa pada tahun 1834, Pemerintah Kolonial Belanda mengutus N.G. de Voogt ke Kuba untuk mempelajari cara budidaya tembakau. Pada tahun 1854 utusan kedua dikirim kembali ke Kuba yakni O.W. Swaving dan H.J. van Swieten. Ketiga orang ini merupakan pelopor perkebunan tembakau di Karesidenan Rembang, Jawa Tengah.
Perkebunan tembakau kemudian meluas sampai ke beberapa daerah di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera (Deli, Sumatera Utara). Perlahan tapi pasti tanaman ini kemudian menjadi komoditas ekspor. Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengeluarkan kebijakan pengaturan cukai untuk komoditas tembakau. Ordonansi (peraturan pemerintah) cukai tembakau diatur dalam Tabaksaccijns Ordonnantie, Stbl. 1932 No. 517 bersama dengan ordonansi penerimaan negara antara lain Ordonansi Cukai Minyak Tanah (Ordonnantie Van 27 Desember 1886, Stbl. 1886 No. 249), Ordonansi Cukai Alkohol Sulingan (Ordonnantie Van 27 Februari 1898, Stbl. 1898 No. 90 en 92), Ordonansi Cukai Bir (Bieraccijns Ordonnantie, Stbl. 1931 No. 488 en 489), dan Ordonansi Cukai Gula (Suikeraccijns Ordonnantie, Stbl. 1933 No. 351). Berbagai ordonansi tersebut kelak menjadi rujukan pemerintah Indonesia untuk merumuskan regulasi tentang cukai (Daeng, dkk 2011).
Pemerintah Soekarno melanjutkan kebijakan tembakau yang telah dimulai sejak Pemerintah Hindia Belanda. Tujuannya yakni menopang ekonomi masyarakat dan negara melalui kebijakan cukai tembakau. Sampai Presiden Jokowi kita bisa melihat bahwa kebijakan pertembakauan di Indonesia tidak hanya menjadi isu ekonomi, tetapi juga beririsan dengan isu politik, kesehatan, dan pendidikan. Tabel di bawah ini akan menunjukkan regulasi dan fokus kebijakan semua presiden di Indonesia.
Era Presiden | Regulasi | Fokus Kebijakan IHT |
Soekarno
(1945-1967) |
|
Penguatan ekonomi melalui penerimaan negara |
Soeharto
(1968-1998) |
|
Investasi dan peningkatan kesejahteraan petani (tembakau & cengkeh) |
B.J. Habibie
(1998-1999) |
|
Pengendalian dan pembatasan industri hasil tembakau |
Abdurrahman Wahid (1999-2001) |
|
Keberpihakan terhadap petani (tembakau & cengkeh) |
Megawati Soekarnoputri (2001-2004) |
|
Mengakomodasi kepentingan kelompok pro kesehatan dan pro industri |
Susilo Bambang Yudhoyono
(2004-2014) |
|
Mengontrol praktik merokok |
Joko Widodo
(2014-2024) |
|
Menaikkan penerimaan negara dan mengontrol IHT sesuai standar kesehatan |
Jika merujuk pada pembagian kepentingan kelompok industri dan kelompok kesehatan, maka ada empat periode kebijakan IHT. Pertama, periode industri. Periode ini dimulai sejak masa pemerintahan Presiden Soekarno dan berakhir pada pemerintahan Presiden Soeharto. Disebut periode industri karena kita bisa melihat adanya kebijakan untuk menjadikan tembakau sebagai komoditi industri demi penerimaan negara. Soekarno dan Soeharto sadar bahwa industri hasil tembakau tidak hanya menjadi komoditi demi penerimaan negara, tetapi juga mampu menaikkan angka tenaga kerja mulai dari proses produksi sampai distribusi. Atas dasar pertimbangan inilah Soekarno mengeluarkan kebijakan nasionalisasi perusahaan asing dan cukai. Kebijakan ini kemudian diteruskan oleh Soeharto dengan mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan investasi, perlindungan tenaga kerja, dan lainnya.
Kedua, periode pembatasan. Era Presiden B.J. Habibie masuk dalam periode pembatasan. Meskipun masa pemerintahannya tergolong singkat (1 tahun, 5 bulan), kebijakannya yang cenderung pro kesehatan dengan melakukan pengendalian dan pembatasan IHT berdampak sangat besar. Kelompok yang terkena dampak kebijakan beliau yakni petani tembakau, petani cengkeh, dan pelaku industri rokok kretek. Pengendalian dan pembatasan ini tentu disambut baik oleh kelompok kesehatan gloal dan nasional yang suaranya tidak didengar pada periode sebelumnya. Kebijakan ini dapat dilihat sebagai kemenangan kelompok pro kesehatan. Menurut Wisnu Brata (2012), agak sulit dihindarkan bahwa dibalik munculnya regulasi ini ada tangan asing yang berkepentingan dengan pasar rokok lokal yang hampir dikuasai sepenuhnya oleh industri rokok kretek dalam negeri.
Ketiga, periode keberpihakan. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah B.J. Habibie membuat petani tembakau dan cengkeh melakukan aksi demo besar-besaran. Melihat gelombang protes para petani, Abdurrahman Wahid yang ditunjuk sebagai presiden menggantikan B.J. Habibie mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Dalam regulasi tersebut, pemerintah hanya mengubah dua pasal (17 ayat 2 dan 39). Perubahan ini mendapat protes dari kelompok kesehatan, tetapi tidak direspon Pemerintah Abdurrahman Wahid. Presiden Megawati Soekarnoputri mendengar masukan kelompok kesehatan dan mengeluarkan kebijakan yang dianggap sebagai win-win solution. Kedua presiden ini mempertimbangkan secara serius kebijakan IHT dengan mengakomodir kepentingan semua kelompok, alih-alih melindungi kepentingan petani.
Keempat, periode kontrol. Masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo dilihat sebagai periode kontrol. Kedua presiden ini mengontrol secara ketat Kebijakan IHT. Ada beberapa bentuk kontrol dari kedua presiden tersebut yakni mengatur larangan merokok di tempat umum, pencantuman peringatan kesehatan bergambar pada kemasan rokok, pembatasan iklan, promosi, dan sponsor terkait produk tembakau, pengawasan produk tembakau yang sesuai dengan standar kesehatan dan juga penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di beberapa tempat, seperti sekolah dan juga kawasan kesehatan. Di sisi lain, pada periode ini kita bisa melihat adanya perdebatan sengit antara kelompok kesehatan dan industri. Perdebatan antara kedua kelompok ini tidak lagi terbatas pada ranah IHT, tetapi juga pada ranah pendidikan dan politik (lokal dan global) yang begitu kompleks karena berkaitan dengan kepentingan dan dampak.
Arah Kebijakan IHT Presiden Prabowo Subianto
Uraian kebijakan IHT yang dipotret dalam empat periode menimbulkan pertanyaan, seperti apa arah kebijakan IHT Presiden Prabowo Subianto? Apakah mendukung kelompok industri, kelompok kesehatan, atau berada di tengah seperti yang pernah dilakukan Megawati Soekarnoputri? Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa merujuk pada pengaruh politik Amerika Serikat (AS) pasca menangnya Donald Trump sebagai presiden yang diusung oleh Partai Republik. Selain itu, kita bisa melihat dinamika politik nasional dengan merujuk pada menteri Kabinet Merah Putih di bawah pimpinan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka yang masih diisi oleh menteri era Presiden Joko Widodo.
Partai Republik AS tidak hanya berhasil memenangkan Donald Trump sebagai Presiden AS yang ke 47, tetapi juga mendominasi perolehan kursi senat (53 dari 100) dan DPR (218 dari 435). Dalam diskursus politik AS, Partai Republik kini berhasil mencapai “trifecta” yakni kondisi dimana satu partai politik berhasil mengendalikan eksekutif dan legislatif sekaligus. Sejarah Partai Republik tidak terlepas dari dukungan dari kelompok industri tembakau, seperti Philip Morris dan Reynolds American. Menurut laporan Center For Responsive Politics, Philip Morris merupakan perusahaan rokok penyumbang kampanye terbesar untuk Partai Republik pada pemilihan federal selama siklus pemilihan 2001-2002, memberikan US$ 2.666.163 (Herjuno, 2012). Dinamika situasi politik AS tersebut membuat kita mampu menarik kesimpulan bahwa IHT bisa saja tumbuh kembali dan mempengaruhi pasar dan negara (kebijakan).
Indonesia dinilai menjadi salah satu negara yang terkena dampak politik kepentingan tersebut. Mengingat Indonesia merupakan salah satu sasaran pasar yang sangat potensial dan didukung oleh komoditi tembakau & cengkeh yang mendukung proses distribusi industri. Di sisi lain, menteri kesehatan saat ini masih dijabat oleh Budi Guna Sadikin. Beliau merupakan salah satu aktor penting dibalik lahirnya Undang-Undang No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan era Presiden Joko Widodo. Fokus Menteri Kesehatan saat ini yakni memastikan implementasi regulasi tersebut. Dengan mempertimbangkan pengaruh politik AS dan arah kebijakan kementerian kesehatan, kita bisa memproyeksikan bahwa Presiden Prabowo akan mengambil kebijakan yang pernah dilakukan Presiden Megawati Soekarnoputri yakni mencari jalan tengah (win-win solution) yang sama-sama menguntungkan kelompok kesehatan dan kelompok industri tembakau.
Sikap Ideologis Kebijakan IHT
Uraian di atas menunjukkan bahwa kebijakan IHT di Indonesia syarat akan pertarungan kepentingan antara tiga kelompok besar yakni negara, kelompok kesehatan, dan kelompok industri. Lalu, bagaimana pengaruhnya terhadap masyarakat? Kesimpulannya bahwa intervensi negara yang selama ini memfasilitasi baik itu kepentingan kelompok kesehatan, maupun kelompok industri pada dasarnya tidak membawa dampak publik (kebaikan bagi masyarakat). Pada titik ini kita memberikan kesimpulan bahwa pemerintahlah yang mendapat keuntungan dari pertarungan relasi kepentingan yang telah berlangsung hampir tiga dekade. Gambar di bawah ini akan menunjukkan pola relasi tersebut.
Dari gambar di atas kita bisa melihat pola relasi antara negara bahwa negara pada dasarnya mempunyai kepentingan terhadap kelompok kesehatan dan kelompok industri. Sejak Indonesia merdeka ketika Soekarno menerbitkan Undang-Undang No. 11 Tahun 1955 tentang Cukai Tembakau, negara pada dasarnya mempunyai kepentingan terhadap IHT yakni berkaitan dengan penerimaan negara. Kita juga bisa melihat bahwa kepentingan tersebut masih tetap dipertahankan sampai era Presiden Joko Widodo. Di sisi lain, negara juga mempunyai kepentingan investasi dan ini menjadi alasan Presiden B.J. Habibie mau mengakomodasi kepentingan kelompok kesehatan yang didukung oleh kelompok industri farmasi internasional.
Meskipun demikian, kita bisa menyimpulkan bahwa baik kelompok kesehatan, maupun kelompok industri mempunyai kepentingan yang sama yakni kepastian hukum dari negara. Kepastian hukum menjadi salah satu isu penting karena berkaitan dengan dasar legal kedua kelompok ini menjalankan kepentingannya. Apalagi, melihat situasi politik Indonesia yang sangat dinamis dan rentan akan kepentingan berbagai kelompok, membuat kedua kelompok ini mengharapkan adanya kebijakan yang baku dan tidak lagi diubah seperti yang sering terjadi sejak era Presiden B.J. Habibie sampai Joko Widodo. Kepastian hukum yang diharapkan oleh kedua kelompok ini dari negara merupakan bagian dari cara untuk memonopoli pasar Indonesia yang dinilai potensial untuk industri kesehatan (farmasi) dan industri tembakau.
Pada titik ini kita membutuhkan adanya sikap ideologis sebagai sebuah paradigma dalam merumuskan kebijakan terkait IHT. Sikap ideologis dalam konteks ini berkaitan dengan bagaimana kebijakan IHT merujuk pada kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat. Peran utama negara tetap diperlukan untuk mendorong adanya konsensus dengan tetap mempertimbangkan kepentingan positif kelompok kesehatan dan kelompok industri. Dalam pandangan Hefner (2000), satu-satunya cara untuk mempromosikan perubahan kebijakan yang efektif adalah melalui campur tangan atas-bawah dan bersifat melindungi (patronal). Negara, kelompok kesehatan, kelompok industri dan masyarakat harus merumuskan kebijakan yang tepat dengan tetap menghormati hak dan kewajiban masing-masing.
Referensi
Brata, Wisnu (2012). Tembakau Atau Mati: Kesaksian, Kegelisahan, dan Harapan Seorang Petani Tembakau. Jakarta: Indonesia Berdikari.
Daeng, dkk (2011). Kriminalisasi Berujung Monopoli: Industri Tembakau Indonesia di Tengah Pusaran Kampanye Regulasi Anti Rokok Internasional. Jakarta: Indonesia Berdikari.
Hefner, Robert W (2000). Budaya Pasar: Masyarakat dan Moralitas Dalam Kapitalisme Asia Baru. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.
Herjuno, dkk (2012). Tembakau, Negara & Keserakahan Modal Asing. Jakarta: Indonesia Berdikari.
https://www.antaranews.com/berita/4469393/hasil-pemilu-as-tunjukkan-partai-republik-semakin-perkasa-memerintah, diakses pada 5 Januari 2025.