Tahun 2023 akan menjadi tahun yang menarik untuk kontestasi politik di Indonesia. Pasalnya tahun ini menjadi momentum politik bagi pertaruhan konsolidasi demokrasi. Para politisi dan partai politik berebut untuk mendapatkan “jatah” kekuasaan melalui Pemilu Legislatif (Pileg), Pemilu Presiden (Pilpres), dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang dilaksanakan secara serentak pada 2024.
Isu ini juga mendominasi pemberitaan pada kurun akhir Januari, setidaknya pada konteks politik terdapat beberapa isu substansial seperti pembentukan koalisi partai; teka-teki politik dinasti keluarga Jokowi; reshuffle kabinet; penyalahgunaan anggaran kemiskinan; dan politik pragmatis NU.
Isu terkait teka-teki politik dinasti keluarga Jokowi merupakan isu populer yang mendapatkan respons secara internasional, nasional, dan daerah. Sejalan dengan tulisan Ben Bland, seorang pengamat politik dari Studi Asia Tenggara di Lowy Institute yang juga penulis buku Man of Contradictions: Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia. Tulisannya menjelaskan bahwa citra baik Jokowi selama masa kepemimpinannya memperkuat kepercayaan publik pada kinerjanya.
Citra tersebut berdampak pada naiknya elektabilitas dan popularitas putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka yang saat ini menjabat sebagai Walikota Solo periode (2021-2026) dan menantunya, Bobby Nasution yang menjabat sebagai Walikota Medan periode (2021-2004). Tak ayal publik menerka apakah benar keluarga Jokowi akan membangun politik dinastinya sendiri?
Dinasti politik diartikan sebagai upaya penguasa untuk menempatkan keluarga, saudara, dan kerabatnya pada jabatan strategis dengan tujuan untuk membangun suatu kerajaan politik dalam pemerintahan. Fenomena dinasti politik bukan merupakan satu hal yang baru di Indonesia. Dari keenam presiden yang pernah menjabat di Indonesia, hanya Habibie saja yang tidak memiliki kerabatnya tidak memiliki afiliasi politik.
Tudingan dinasti politik Jokowi disebabkan oleh kedekatan hubungan keluarga Jokowi, Gibran, dan Bobby. Di sisi lain keduanya minim rekam jejak politik sehingga dinilai menambah citra buruk iklim perpolitikan di Indonesia karena seseorang dapat menjadi pejabat publik secara prematur akibat dari kedekatan dengan penguasa. Isu ini akan menjadi bola panas setelah Kaesang Pangarep mengutarakan keinginannya terjun dalam dunia politik mengikuti kedua kakak dan ayahnya.
Berdasarkan payung hukum yang ada pada UU No.8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Pasal 7 huruf r diatur bahwa warga negara Indonesia yang mencalonkan sebagai Gubernur, Bupati, dan Walikota tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Namun Pasal 7 huruf (r) UU 8/2015 telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Selain itu, juga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015, dan menjadikan ketentuan pasal tersebut dibatalkan. Dengan dibatalkannya pasal tersebut, tidak ada lagi ketentuan larangan politik dinasti di Indonesia. Pasal ini dinilai membatasi hak politik keluarga petahana dalam kontestasi pilkada. Demikian, MK sudah mewajarkan adanya dinasti politik di Indonesia.
Fenomena politik dinasti tanpa pengkaderan yang mumpuni akan menghasilkan pejabat politik yang premature. Individu yang terpilih pada dinasti politik karena karisma dari anggota keluarganya yang menjabat atau kekuatan politiknya tidak dibarengi dengan keahlian dalam manajemen, pembuatan dan pengambilan keputusan akan melemahkan kinerja pemerintah dan ekonomi lokal.
Idealnya Indonesia menyadari dirinya sebagai negara demokrasi modern harus menjamin terselenggaranya demokrasi sesuai fitrahnya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Penting bagi Stakeholder untuk memperhatikan kebijakan publik yang mampu menciptakan iklim politik yang lebih demokratis.
Indonesia perlu memperbaiki rekrutmen calon pemimpin oleh partai politik dengan beberapa skema model. Model partisan, yakni pendukung yang kuat, loyalitas tinggi terhadap partai sehingga bisa direkrut untuk menduduki jabatan strategis. Model compartmentalization, berdasar pada latar belakang pendidikan dan pengalaman organisasi atau kegiatan sosial politik seseorang, misalnya aktivis LSM. Model immediate survival, dilakukan oleh otoritas pemimpin partai tanpa memperhatikan kemampuan orang-orang yang akan direkrut. Serta model civil service reform, berdasarkan kemampuan seorang calon di masyarakat.
Pembentukan regulasi yang mengatur tentang politik dinasti dengan menerapkan syarat sebagai kader selama minimal tiga tahun untuk calon yang diusung partai, jalur perseorangan harus sepenuhnya diisi orang non-parpol, dan ambang batas pencalonan pilkada dihapuskan dengan syarat dukungan calon perseorangan diseragamkan dari 3% total jumlah DPT pemilu.