Pro Kontra Mengirim Siswa ke Barak

Dedi Mulyadi bercakap dengan siswa saat mengikuti program belajar di barak. (Sumber: tangkapan layar IG @dedimulyadi71)

Kebijakan pemerintah provinsi Jawa Barat, Dedi Mulyadi mengirimkan siswa bermasalah ke barak militer TNI dan Polri untuk mengikuti program pendisiplinan menuai pro dan kontra di kalangan publik. Dalam rapat kerja Komisi II di DPR, Dedi menyatakan surat edaran telah disiapkan dan para kepala sekolah menyambut baik rencana ini.

 

Alasan terbentuknya program ini disebabkan oleh ketidaksanggupan orang tua dan guru untuk menghadapi anak-anaknya (CNN, 2025). Program dilaksanakan di dua tempat, yaitu Lapangan Kujang Rindam III/Siliwangi, Bandung, dan Markas Resimen Artileri Medan (Menarmed) 1 Kostrad di Purwakarta. Dedi bekerja sama dengan TNI AD dalam pelaksanaan programnya (Tempo,2025).

 

Dedi Mulyadi mengategorikan enam kriteria anak ‘nakal’ yang layak dikirim ke barak militer. Meliputi anak yang sering terlibat tawuran dalam bentuk apapun, ketahuan mengonsumsi alkohol atau terlibat dalam aktivitas mabuk-mabukan, kecanduan bermain game online, membangkang terhadap orang tua seperti bersikap kasar atau mengancam keluarga, menciptakan kekacauan di sekolah, dan mengganggu proses belajar, serta gemar membolos tanpa alasan jelas (Tempo, 2025).

 

Kriteria yang sudah sering ditemui di tengah masyarakat. Kebijakan bahkan disambut baik dari pemerintah pusat. Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai mendukung kebijakan tersebut karena dianggap tidak melanggar HAM (Kompas, 2025).

 

Pihaknya menilai program tidak melakukan corporal punishment (hukuman fisik). Namun, apakah kebijakan pengiriman anak ‘nakal’ ke barak militer adalah pilihan yang tepat jika hanya didasarkan dari ketiadaan hukuman fisik?

 

Jika dilihat dari aspek psikologi, sebuah penelitian yang menyatakan bahwa program militer bagi anak-anak ‘nakal’ dapat menyebabkan trauma karena culture shock. Sebab, pendekatan militer menggunakan pendekatan behavioristik yaitu reward (pemberian hadiah) dan punishment (pemberian hukuman).

 

“Perilakunya tergantung pada otoritas. Jika otoritasnya tidak ada, maka perilakunya akan hilang. Padahal dalam pendekatan humanistik, kedisiplinan, tanggung jawab harusnya dibangun dengan kesadaran diri. Kesadaran diri itu dibentuk dengan refleksi dan dialog,” ujar Novi Poespita Candra, Dosen Psikologi UGM kepada NU Online, pada Sabtu (3/5).

 

Pendidikan karakter terhadap anak di lingkungan sekolah formal harus diperhatikan secara rigid. Kebijakan ekstrim semacam ini haruslah mempertimbangkan kajian akademis terlebih dahulu sebelum melakukan pendekatan militer.

 

Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Atip Latipulhayat, menilai program tersebut kurang tepat. Pasalnya, Kementerian Pendidikan Dasar telah memiliki mekanisme baku bagi menangani siswa yang nakal.

 

“Dengan guru-guru bimbingan konseling untuk menangani persoalan yang berkaitan dengan siswa, termasuk di dalamnya yang disebut kenakalan siswa, ditangani oleh guru BK,” kata Atip lewat Tempo, Senin (28/4).

 

Melibatkan TNI dalam pendidikan masyarakat sipil dengan tidak adanya urgensi bahwa Indonesia termasuk negara darurat perang adalah kebijakan keliru. Tugas pokok TNI, antara lain menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, serta melindungi segenap bangsa Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara, melalui Operasi Militer untuk Perang dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) sebagaimana yang tercantum pada Pasal 7 UU 34 Tahun 2004.

 

Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, mengatakan bahwa kebijakan mengirim anak nakal ke barak militer perlu dievaluasi. Sebab, edukasi untuk masyarakat sipil bukanlah ranah lembaga militer. Menurut Atnike, tak masalah jika siswa nakal diajak ke barak TNI sebagai kegiatan edukasi pendidikan karier, seperti mengetahui tugas-tugas TNI, tetapi bukan untuk dilatih seperti TNI.