Tagar Indonesia Gelap menjadi seruan yang viral di media sosial pada Februari 2025 lalu. Aksi demonstrasi pun terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia untuk menyerukan kekecewaan terhadap keputusan pemimpin di negeri ini. Indonesia Gelap bukan semata-mata Indonesia sedang gelap gulita karena pemadaman listrik, sekalipun masih ada rakyat belum bisa menikmati listrik negara.
Gerakan yang dipelopori oleh mahasiswa ini bukan juga gerakan yang muncul karena kelangkaan gas elpiji. Namun, sebuah bentuk amanat rakyat kepada pemerintahan pusat atas kebijakan yang belum pro kepada rakyat. Terlebih dengan adanya kebijakan efisiensi anggaran pada bidang yang menjadi dasar kebutuhan rakyat, sebut saja pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan lainnya hanya demi ingin melanggengkan program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Dilansir dari Tempo pada 17 Februari 2025 lalu, sejumlah tuntutan yang dibawa dalam aksi bertajuk Indonesia Gelap tidaklah sekadar meminta pemerintah melakukan evaluasi terhadap kebijakan MBG. Massa aksi juga menuntut penanganan serius terhadap penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi. Rakyat mendesak pemerintah segera mengesahkan RUU Perampasan Aset, yang hingga saat ini dinilai ‘jalan di tempat’ di gedung para wakil rakyat yang sering dipanggil dewan terhormat.
Indonesia (masih) Gelap? Iya, masih gelap! Belumlah terang benderang dalam memerangi dan menyelesaikan persoalan penegakan hukum bagi para koruptor. Meminjam istilahnya Niccolo Machiavelli, seorang filsuf politik dari Italia, dalam konteks hukum, bahwa kebijakan yang baik berasal dari hukum yang baik. Dalam pemikiran Machiavelli tentu masih sangat relevan dengan kondisi saat ini, karena seharusnya pemimpin menggunakan hukum sebagai senjata utama demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Korupsi yang sebelumnya dianggap sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa), tetapi dengan adanya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru, korupsi tidak lagi dianggap demikian. KUHP terbaru telah mencabut sebagian pasal terkait delik korupsi yang diatur UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 21 Tahun 2001. Implikasi serius dari pemberlakuan KUHP menjadikan delik korupsi bukan lagi kejahatan luar biasa alias dipersamakan dengan delik biasa seperti delik pencurian atau delik penggelapan.
Menagih Janji Presiden dan Komitmen Wakil Rakyat
Mengutip filsuf St. Thomas Aquinas, bahwa pemimpin harus memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan masyarakat, oleh karena itu para pemimpin negeri ini, mulai dari eksekutif, legislatif, hingga yudikatif harus punya visi yang sama untuk memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya.
Prabowo dalam pidato perdananya usai dilantik sebagai Presiden di Gedung DPR-MPR, pada Oktober 2024 lalu, menegaskan bahwa Indonesia harus berani menghadapi dan memberantas korupsi dengan perbaikan sistem, penegakan hukum, dan digitalisasi. Pihaknya juga menekankan siap mengurangi korupsi secara signifikan (Antara, 2024).
Janji pemberantasan korupsi Prabowo-Gibran cukup terlihat dengan pengungkapan kasus korupsi baru-baru ini. Tentu menjadi catatan baik bagi pemerintah dalam menjawab keraguan masyarakat. Pasalnya, RUU Perampasan Aset yang sudah diusulkan sejak tahun 2008, saat ini telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah Tahun 2025-2029.
Pemerintah dan DPR diharapkan duduk bersama untuk membahas dan menguatkan lembaga-lembaga terkait dalam penanganan dan pemberantasan kasus korupsi. Sinergitas antar lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan, dan Polri perlu ditingkatkan dalam pencegahan korupsi. Pendidikan anti korupsi perlu dimasukkan dalam kurikulum pendidikan untuk membentuk karakter para generasi muda sejak usia dini atau sekolah dasar, demi menghasilkan pemimpin negeri yang jauh dari perbuatan korupsi.
Urgensi RUU Perampasan Aset
Belakangan ini terlihat netizen berseliweran membagikan poster ‘Liga Korupsi di Indonesia’. Bentuk kritik kepada pemerintahan atas skandal mega korupsi di Indonesia yang diurutkan berdasarkan besaran kerugian negara. Digambarkan dalam poster, PT Pertamina Patra Niaga menempati urutan pertama dengan kerugian negara mencapai Rp968,5 triliun. Angka yang sangat fantastik mengingat negara sampai kini memiliki utang ribuan triliun. Menyusul di urutan berikutnya, kasus korupsi PT Timah dengan kerugian negara mencapai Rp300 triliun yang diungkap pada tahun 2024 lalu.
Indonesia Gelap akan pelan-pelan menuju terang jika terbit Undang-Undang Perampasan Aset. Disahkannya RUU Perampasan Aset tentu menjadi titik terang bagi pemberantasan korupsi di Indonesia dan angin segar bagi mekanisme penegakan hukum tindak pidana korupsi. Sebab, pertama, memungkinkan negara merampas aset dari pelaku korupsi, termasuk yang melarikan diri, meninggal dunia, atau sakit permanen dan pihak yang didakwakan dalam suatu tindak pidana, tidak hanya subjek hukum yang dikenakan sebagai pelaku kejahatan melainkan juga atas aset yang diperoleh dari kejahatan tersebut.
Kedua, memungkinkan negara merampas aset yang disembunyikan atau disimpan di luar negeri. Ketiga, memungkinkan negara merampas aset tanpa harus mempidanakan pelaku. Keempat, mekanisme peradilan yang digunakan dalam mengadili persoalan perampasan aset atas tindak pidana korupsi melalui mekanisme peradilan perdata.
Tidak kalah pentingnya untuk menganalisis RUU Perampasan Aset menggunakan categorical moral reasoning dari Immanuel Kant, agar prosedural penegakan hukum yang berlaku harus memperhatikan hak-hak individu secara menyeluruh, demi mencapai keadilan bagi negara dalam menangani kerugian akibat korupsi. Maka, guna melengkapi urgensinya RUU Perampasan Aset perlu juga di dalamnya mengatur penjaminan proses yang adil dan objektif, tidak tebang pilih dan berlaku untuk semua pelaku, tanpa melihat latar belakang, kepentingan, maupun pengaruhnya. Kemudian harus berintegritas dengan memastikan bahwa setiap langkah yang diambil sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang universal.