Menjelang kontestasi Pemilu Serentak 2024, aroma persaingan calon presiden lebih terasa. Usai Ganjar Pranowo dideklarasi PDIP, kandidat kuat yang akan meramaikan pesta demokrasi akbar 2024 nanti sepertinya mengerucut ke Ganjar, bersama Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan. Elektabilitas dan popularitas ketiga tokoh ini diperkuat oleh berbagai lembaga survei tanah air, terlepas lembaga-lembaga tersebut kemungkinan sudah ‘kemasukan angin’.
Namun yang luput dari gosip khalayak adalah kans intervensi asing di dalam percaturan politik Pilpres 2024. Campur tangan negara luar sebenarnya sudah beberapa kali dibocorkan kisi-kisinya oleh Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia. Yang terakhir terjadi saat Bahlil turut di dalam rombongan Presiden Jokowi menuju pameran bisnis di Hannover Messe, Jerman, 17-21 April 2023.
Kepada awak media, Bahlil mengungkapkan para investor bertanya, “who is the next president?” Pertanyaan tersebut memiliki dua makna. Pertama, soal deskriptif, siapa presiden Indonesia berikutnya setelah Presiden Joko Widodo? Jawabannya tentu siapapun boleh. Kedua, soal retoris-provokatif, siapa presiden berikutnya? Jawabannya, presiden Indonesia periode 2024-2029 harus memiliki keramahan investasi asing dan komitmen menjaga kerja sama jangka panjang seperti Presiden Jokowi. Lantas, mengapa “who is the next president?” penting bagi para investor asing dan Bahlil sendiri?
Stabilitas Keamanan dan Politik
Investasi ekonomi membutuhkan stabilitas keamanan dan politik. Roda usaha sebuah perusahaan tidak akan berjalan lancar dan terancam gagal bila kondisi sebuah negara atau daerah tujuan investasi tidak memiliki jaminan keamanan. Di negara demokrasi, jaminan stabilitas keamanan adalah transaksi politik yang persis berada di tangan presiden sebagai kepala negara. Ini alasan para investor menuntut jaminan dari komitmen presiden berikutnya.
Selain itu, tidak ada investasi yang menguntungkan dalam jangka waktu pendek. Investasi selalu memakan waktu panjang untuk mendulang banyak keuntungan. Sayangnya, logika bisnis ini justru berada di sisi yang berlawanan dengan logika demokrasi yang menuntut estafet kepemimpinan jangka pendek untuk mencegah otoritarianisme. Kondisi Indonesia, siklus pergantian presiden terjadi setiap lima tahun dengan kemungkinan sepuluh tahun bila petahana mengamankan kursinya di periode kedua.
Masalahnya, Presiden Jokowi sudah berada di ujung periode kepemimpinannya. Kemudi negara ini akan disetir oleh orang lain pada 2024. Maka, bila pengemudi berikutnya tidak memiliki komitmen ramah investasi, jaminan politik dan keamanan, dan kelihaian layaknya Presiden Jokowi, sudah pasti para investor tidak mengambil resiko. Presiden berikut mudah saja mengubah kebijakan yang merugikan para investor asing.
Kita ingat, di dalam sejarah republik ini, Indonesia pernah mengalami kesuraman serupa. Pada zaman Orde Lama, Presiden Soekarno terang-terangan berseberangan dengan Amerika Serikat dan kubu Blok Baratnya. Sebaliknya, pendiri bangsa ini pun secara eksplisit mendekati bahkan bermesraan dengan komunis Cina dan Blok Timur.
Kedekatan politik Soekarno dengan Cina dan Blok Timur berkonsekuensi terhadap kerja sama ekonomi. Indonesia rajin mendapatkan persediaan teknologi dan suntikan dana dari negeri Panda dan kawan-kawannya. Berbagai kerja sama dengan kesepakatan profit-sharing dibuka. Banyak pabrik dibuka di Indonesia menjadi buntut kerja sama tersebut (Gibson, 1966).
Sayang seribu sayang, ketika Soekarno ‘dikudeta’ oleh Soeharto, kemesraan Indonesia dengan Cina dan Blok Timur di atas pun kandas. Di bawah kepemimpinan Soeharto, Indonesia bahkan membekukan hubungan diplomasi resmi dengan Cina selama 23 tahun atas tuduhan intervensi urusan rumah tangga Indonesia (Oktober 1967-1990). Baru pada 1998 hubungan bilateral Indonesia-China sungguh membaik (Rizal Sukma, 2009).
Hal yang paling menyayat hati adalah ketika Soeharto menasionalisasi semua perusahaan yang sebelumnya dibangun di era Soekarno dengan kesepakatan joint ventures and profit-sharing. Akibatnya, Cina dan Blok Timur hanya bisa menggigit jari (Hill, 1989). Soeharto melangkah lebih jauh. Bersamaan dengan menasionalisasi beragam perusahaan asing di Indonesia, Soeharto meliberalisasi pasar Indonesia sehingga Amerika dan sekutunya kembali berdagang dengan leluasa di Indonesia (Hill, 1997).
Strategi Soeharto di atas terbukti ampuh mengeluarkan Indonesia dari jurang krisis ekonomi yang diwariskan Soekarno. Namun tentu saja terdapat siasat politik yang penuh intrik di sana. Berbeda dengan pendahulunya yang mendapat dukungan penuh dari komunisme internasional dan domestik, Soeharto justru disokong penuh oleh Amerika dan Blok Barat (Cribb and Brown, 1995).
Drama belum tamat. Benar William Clay, bahwa tidak ada musuh abadi, dan teman abadi, hanya kepentingan yang abadi. Soeharto terjebak di dalam jurang geopolitik yang serupa dengan Soekarno. Di tahun 1998, Amerika dan sekutunya merasa Soeharto sudah tidak lagi bermain mengikuti skenario mereka. Maka melalui berbagai skema, Soeharto digusur paksa dari tampuk kekuasaannya (Crouch, 2010). Alhasil, berbagai kroni bisnis internasional yang selama ini secara massif mengeksploitasi kekayaan dan masyarakat Indonesia di bawah kendali keluarga Cendana berakhir buntung.
Sejarah di atas tidak dapat dinafikan dapat terulang. Winston Churchill, mantan Perdana Menteri Inggris periode 1951-1955, dalam pidatonya di British House of Commons pada 1948, pernah mengeluarkan pernyataan sarkastis berikut, bahwa orang-orang yang tidak belajar dari sejarah dikutuk untuk mengulanginya.
Investasi bukan sebuah sektor independen yang dapat beroperasi tanpa sokongan sektor lain. Investasi merupakan enzim transformasi industri, yang selalu menyeret berbagai aspek. Transformasi industri adalah perubahan sistemik. Goncangan pada satu aras akan turut menggeser aras lain. Transformasi industri menuntut keterlibatan keseluruhan elemen sosial (pemerintah, masyarakat, pebisnis), memobilisasi dan mengkoordinasikan aksi sosial (Olsthoorn and Wieczorek, 2006). Maka, kebijakan pemerintah (presiden) menentukan metabolisme investasi.
Dengan demikian, kita menjadi paham, mengapa investor asing ngotot menuntut presiden berikut harus sevisi-misi dengan Presiden Jokowi. Minimal, presiden pengganti Jokowi harus berkomitmen melanjutkan iklim investasi dan kerja sama bisnis. Lantas, negara mana saja yang sangat berkepentingan untuk memastikan presiden berikut sejalan dengan kebijakan Presiden Jokowi?
Data Investasi Terbaru
Jawaban sederhananya adalah semua investor dari negara manapun yang sudah atau sedang mempertimbangkan untuk menanam modal di Indonesia berkepentingan. Namun, yang paling pasti adalah negara-negara yang sudah terlanjur tercebur ke dalam lumpur ekosistem ekonomi politik Indonesia dengan gelontoran dana raksasa. Bagaimanapun negara-negara ini tidak akan tinggal diam pada pesta akbar demokrasi 2024. Bukan untuk mendikte atau menjajah Indonesia, melainkan mengamankan aset triliunan rupiahnya di Indonesia.
Sejak triwulan III 2022 atau periode Januari-September 2022, investasi asing menyalip penanaman modal dalam negeri. Di antara negara-negara investor asing, Singapura, Tiongkok, Jepang, Hongkong, dan Malaysia adalah lima negara teratas dengan nilai investasi terbanyak. Trend positif investasi asing di Indonesia semakin melonjak-lonjak pada periode berikut. Realisasi investasi triwulan 1, periode Januari-Maret 2023 bertambah 16,5 persen. Di antara lima negara teratas, hanya Malaysia yang tergusur Amerika Serikat. Adapun Singapura tetap bertengger di posisi puncak. Apakah negara-negara ini hanya membisu-mematung menonton riuh-riah Pilpres 2024? Tentu saja tidak.
Potensi Intervensi Asing
Ada adagium sederhana bahwa pemberian itu selalu mengikat. Negara-negara pemasok dana asing tentu tidak akan membiarkan Indonesia dikuasai oleh sosok yang tidak memihak kepentingan mereka. Bahkan di antara negara-negara asing tersebut, terdapat agenda terselubung dan persaingan implisit di Indonesia. Pak Jokowi pada suatu kesempatan pernah jujur mengakui, hubungan Indonesia dengan negara-negara lain hanya luarnya saja yang kelihatan kompak. Di dalamnya tidak lebih dari kompetisi sengit.
Semakin besar sebuah negara berinvestasi di Indonesia, semakin tinggi pula tanggung jawab untuk mengamankan kepentingannya. Di atas tesis dasar ini kita dapat berargumentasi bahwa Pilpres 2024 akan melibatkan pertarungan geopolitik. Negara-negara yang merasa kepentingannya tergeser selama masa pemerintahan Presiden Jokowi akan berusaha menyisipkan kandidat tertentu yang menjanjikan ‘kue’ untuk mereka pasca terpilih. Sebaliknya, negara-negara yang mendapatkan keuntungan berlimpah ruah selama era Presiden Jokowi melalui investasi besar-besaran akan ikut bertarung mendukung calon presiden yang berkomitmen melanjutkan proyek pembangunan dan investasi Presiden Jokowi.
Bagaimanapun Indonesia tidak bisa menolak investasi asing. Investasi adalah salah satu sumber kemajuan sebuah negara. Indonesia niscaya membutuhkan modal asing. Jika demikian, bagaimana dilema ini dapat diatasi: mendapatkan pemberian (investasi), tetapi tidak terikat dan terdikte?
Prinsip dan Gerakan Non Blok atau kebijakan luar negeri ‘bebas-aktif’ yang sudah dirintis oleh para pendiri bangsa merupakan resep ampuh. Mantan wakil Presiden Mohammad Hatta menjelaskan prinsip ‘bebas-aktif’ dengan menarik dalam pidatonya pada sidang Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) di Yogyakarta, 2 September 1948, “Mendayung diantara dua karang”. Menurut Hatta, supaya Indonesia sebagai bangsa baru tidak didikte atau terjebak di dalam persaingan Amerika dan Uni Soviet, kita sebaiknya mendayung di antara dua karang tersebut. Bergaul seperlunya sejauh sesuai kepentingan kita (Hatta, 1951).
Kita hanya perlu mengimplementasikan amanah ini ke dalam dua hal berikut. Pertama, Pemerintah tidak boleh menjalin kerja sama atau mengundang hanya satu negara untuk berinvestasi di Indonesia. Semua negara harus diberi kesempatan yang sama.
Kedua, Pemerintah tidak membiarkan satu negara mendominasi investasi di Indonesia. Semakin satu negara menanamkan modal lebih besar dan jauh dari jumlah investasi negara lain, semakin negara tersebut merasa memiliki negara. Posesivitas lambat laun akan disusul dengan aneka tuntutan yang dapat menjadi ‘neokolonialisme’. Ingat, tidak ada makan siang gratis di dalam politik. Investasi bukan hanya soal ekonomi, melainkan terutama agenda politik dan kepentingan keamanan geopolitik.
Henry Kissinger, diplomat ulung dan pejabat Gedung putih tiga dekade, pernah menulis: diplomasi internasional tidak pernah semata untuk ketertiban dunia, melainkan kepentingan nasional (Diplomacy, 1994). Investasi asing boleh, tetapi jangan pernah menjual atau menggadaikan Indonesia. Kepentingan Indonesia harus di atas segalanya.