Di Era kepemimpinan Prabowo bayang-bayang kasus korupsi mulai nampak di permukaan. Setelah sekian lama tersimpan rapi di saku para koruptor, apa yang menjadi penyebab kemiskinan dan harapan rakyat, mulai satu per satu mencuat ke ranah publik.
Sebut saja beberapa kasus, misalnya kasus PT Timah (Rp300 triliun), kasus BLBI (Rp138 triliun), kasus penyetoran lahan PT Duta Palma Group (Rp 78 triliun), kasus PT TPPI (Rp37, 8 triliun), kasus PT Asabri (Rp22, 7 triliun), dan kasus Hasto Kristiyanto, menjadi indikator bahwa kasus korupsi begitu marak di tengah kemiskinan rakyat. Mirisnya lagi, seorang Guru Besar IPB Bambang Hero Suharjo dilaporkan ke Polda Bangka Belitung karena kajiannya dalam menghitung kerugian lingkungan saat menjadi saksi kasus tata niaga timah yang melibatkan Harvey Moeis (Mulyana, 2025).
Kondisi di atas selaras dengan gagasan Hannah Arendt, filsuf politik, penulis, dan penyintas holocaust bahwa seseorang yang ditempatkan dalam situasi kejahatan akan kehilangan kemampuan berpikirnya dan kehilangan sensibilitas terhadap realitas kejahatan yang dilakukannya (Hardiman, 2025). Akibatnya korupsi di Indonesia tidak lagi dilihat sebagai tindakan kejahatan melainkan sesuatu yang biasa.
Meminjam pemikiran Arendt, korupsi bagaikan banalitas kejahatan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata Banal diartikan sebagai biasa sekali (KBBI, 1990). Lebih jauh dari itu, banalitas kejahatan yang dimaksudkan oleh Arendt mengarah pada suatu situasi di mana kejahatan dirasakan sebagai sesuatu yang banal atau biasa sekali. Seorang pelaku kejahatan menganggap tindakan jahatnya sebagai sesuatu yang wajar karena keyakinannya bahwa kejahatan yang dilakukannya tersebut sebagai sesuatu yang benar (Utomo, 2012).
Basis analisis pemikiran Arendt didasarkan dengan situasi yang dialami oleh Otto Adolf Eichmann. Publik lebih mengenalnya dengan nama Adolf Eichmann. Eichmann merupakan salah satu kelompok dari Hitler yang berhasil melarikan diri dan akhirnya ditangkap oleh Agen Intelijen Israel (Mossad) di Argentina. Kemudian diadili di Israel dan dijatuhi hukuman gantung pada 31 Mei 1962.
Eichmann seorang yang sangat patuh terhadap atasan dan negara. Bagi Eichmann, sikap patuh adalah suatu keutamaan dan bukan kejahatan. Akibat dari kepatuhan ini, Eichmann mengklaim bahwa ia telah bertindak benar karena taat menjalankan setiap perintah atasannya. Eichmann beranggapan bahwa apa yang telah dilakukannya merupakan sesuatu yang legal secara hukum. Ketidakmampuan Eichmann dalam berpikir inilah yang kemudian diyakini oleh Arendt sebagai banalitas kejahatan.
Konteks Arendt menulis berbeda dengan konteks korupsi yang terjadi di Indonesia. Namun, bila ditelisik lebih jauh, konsep banalitas kejahatan yang digagas oleh Arendt dapat dikaitkan dengan konteks tindakan korupsi yang terjadi di Indonesia. Di Indonesia korupsi bagaikan suatu kejahatan yang dianggap biasa saja, baik oleh pemerintah maupun oleh para koruptor itu sendiri. Kenyataan ini dapat dicermati dari hukuman yang diberikan kepada para koruptor.
Nampak jelas, banalitas kejahatan yang terjadi merupakan akibat dari ketidakmampuan orang untuk berpikir secara jeli. Akibatnya, korupsi di Indonesia bagaikan suatu kejahatan yang dianggap biasa sekali. Korupsi bagaikan suatu banalitas kejahatan yang sulit diberantas.
Eichmann kehilangan kemampuan untuk berpikir karena sebuah ideologi yang mendikte agar ia berbuat kejahatan demikian. Namun, berbeda dengan kasus korupsi di Indonesia. Banalitas kejahatan di Indonesia justru terjadi bukan karena ketidakmampuan orang untuk berpikir, melainkan terletak pada aparat hukum dan mekanisme penegakan hukum yang ada dalam memberantas kasus korupsi.
Sebagai contoh, kasus korupsi Harvey Moeis yang vonis hukumannya menjadi sorotan publik. Pengadilan sempat memvonis hanya enam tahun penjara. Gerakan masyarakat sipil harus turun tangan menyuarakan ketidakadilan tersebut, hingga pengadilan memberi vonis 20 tahun penjara. Hukum di Indonesia bekerja cukup dengan melihat bentuk dan situasi protes publik dalam mengkritisi suatu kasus korupsi.
Berhadapan dengan maraknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, wacana tentang pengesahan Undang-Undang Perampasan Aset hendaknya menjadi diskursus yang serius di ruang publik. DPR sebagai wakil rakyat yang mempunyai wewenang untuk merancang undang-undang, hendaknya berani untuk membahas sekaligus menetapkan regulasi tentang perampasan aset tersebut.
DPR juga berhak memperbarui hukuman terhadap tindak pidana korupsi yang di mana para koruptor wajib dipidana seumur hidup dengan pertimbangan kerugian negara, tanpa membedakan kategorisasi denda seperti yang termuat dalam pasal 603 sampai 606 kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dengan demikian upaya untuk memberantas kasus korupsi di Indonesia dapat diatasi dengan baik dan kemiskinan rakyat akibat korupsi di Indonesia dapat berkurang.