Batalkan Ekspor Pasir Laut Demi Kepentingan Nasional

Ilustrasi masyarakat pesisir meratapi penambangan pasir laut. (Sumber: Suryakanta Institute)

Kebijakan pemerintah Indonesia untuk membuka kembali aktivitas ekspor pasir/sedimen laut harus dibatalkan karena akan menambah kerusakan ekosistem laut, merugikan masyarakat pesisir, dan mengancam kedaulatan nasional Indonesia sebagai negara maritim. Kebijakan ini akan mengancam kepentingan nasional mulai dari kepentingan lingkungan hingga kedaulatan nasional.

 

Pada tahun lalu, Presiden Joko Widodo mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 yang mengizinkan pengambilan pasir laut serta sedimennya di luar area pertambangan. Kegiatan penambangan pasir diperkirakan akan meningkat setelah Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, mengeluarkan dua peraturan.

 

Peraturan tersebut meliputi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Nomor 22 Tahun 2023 mengenai Barang yang Dilarang untuk Diekspor, dan Peraturan Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Permendag Nomor 23 Tahun 2023 mengenai Kebijakan dan Pengaturan Ekspor. Setidaknya sudah ada 66 perusahaan swasta yang mengajukan izin untuk melakukan kegiatan ekspor pasir laut Indonesia. 

 

Kerusakan Lingkungan 

 

Akses yang diberikan kepada para pengusaha untuk mengekspor pasir laut akan merusak ekosistem bahari dan perairan Indonesia yang dikenal dengan kekayaan maritim. Penambangan pasir/sedimentasi di perairan Indonesia akan mengubah struktur dasar laut dan sangat potensial untuk merusak biota laut yang terkandung didalamnya. Rusaknya terumbu karang, anemon laut, dan hilangnya tempat tinggal ikan juga turut mengurangi pasokan dan ketersediaan ikan di sekitar tempat dilakukannya penambangan pasir/sedimentasi. 

 

Laut Indonesia sudah semestinya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat Indonesia. Dalam konteks perdagangan internasional, pasir/sedimen laut paling banyak diimpor oleh Singapura, untuk menambah luas wilayah negaranya. Pertambahan wilayah dengan pasir/sedimentasi yang diambil dari Indonesia memungkinkan untuk perkembangan kegiatan ekonomi yang seharusnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia. Alih-alih melakukan ekspor pasir/sedimen laut ke negara lain, pemerintah Indonesia sudah seharusnya menggunakan pasir/sedimen tersebut untuk memperbaiki daerah-daerah yang diprediksi akan tenggelam di garis pantai Indonesia. 

 

Kerugian Ekonomi

 

Ekspor pasir laut juga akan mengubah lanskap maritim Indonesia yang berpengaruh terhadap masyarakat pesisir terutama nelayan Indonesia. Perubahan akibat ditambangnya pasir Indonesia akan mengurangi ketersediaan sumber daya laut, mengakibatkan abrasi pantai, dan akan mengurangi kesejahteraan masyarakat pesisir Indonesia, yang bahkan sampai saat ini belum dapat dimaksimalkan oleh pemerintah Indonesia. Alih-alih mengimplementasikan kebijakan ekonomi biru yang berkeadilan bagi masyarakat dan lingkungan, kebijakan ekspor pasir/sedimentasi pasir laut menghambat atau bahkan memperparah kondisi laut Indonesia saat ini yang sudah tercemar dengan polusi.   

 

Berdasarkan studi terbaru yang dilakukan oleh CELIOS (Center of Economic and Laws Studies), kegiatan ekspor pasir/sedimentasi laut menunjukkan adanya dampak negatif pada Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp1,22 triliun, sementara pendapatan masyarakat diperkirakan akan menurun hingga Rp1,21 triliun (CELIOS, 2024). Hasil studi juga menjelaskan bahwa setiap peningkatan ekspor pasir laut berpotensi mengurangi tangkapan ikan. Dengan ekspor pasir laut sebesar 2,7 juta meter kubik, diperkirakan terjadi penurunan nilai tambah bruto sektor perikanan mencapai Rp1,59 triliun. Selain itu, diperkirakan pendapatan nelayan yang hilang mencapai Rp990 miliar. Sektor perikanan mengalami pengurangan lapangan pekerjaan sebesar 36.400 orang.

 

Berdasarkan catatan dari Kompas (2024), pengalaman penambangan pasir laut telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan. Sejak tahun 1976, pasir dari perairan Batam dan Karimun, Kepulauan Riau, telah diambil untuk keperluan reklamasi di Singapura. Volume pasir yang diekspor ke Singapura diperkirakan sekitar 250 juta meter kubik per tahun. Volume ekspor pasir laut dari Karimun pada tahun 2002 mencapai 36 juta meter kubik per tahun. Namun, pendapatan daerah dari kegiatan penambangan tersebut hanya sebesar Rp50 miliar pada tahun yang sama. Pada waktu itu, pemerintah mencurigai adanya kebocoran ekspor pasir laut secara ilegal yang mencapai 300 juta meter kubik per tahun, yang menyebabkan Indonesia mengalami kerugian sebesar Rp2,7 triliun per tahun.

 

Menjaga Kedaulatan Indonesia 

 

Ekspor pasir laut juga memberikan ancaman terhadap kedaulatan nasional Indonesia. Sederhananya, pemerintah melakukan praktik “jual tanah” ke negara lain yang mengurangi kekayaan tanah Indonesia. Padahal, berbagai sumber daya laut dapat berkembang di atas dan terkandung di dalamnya. Walaupun pemerintah akan mendapatkan royalti/pajak dari ekspor pasir/sedimentasi laut, potensi nilai kerugian dari kerusakan alamnya tidak sebanding.

 

Selain itu, kebijakan ekspor pasir/sedimentasi Indonesia terutama ke Singapura berpotensi akan menambah luas dari ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) Singapura. Menurut Achmad Nur Hidayat, analis kebijakan publik yang juga pengajar di UPN Veteran Jakarta, dengan ekspansi reklamasi yang dilakukan, ZEE Singapura berpotensi akan meluas yang kemudian dapat memengaruhi batas laut Indonesia dengan Singapura.

 

Kebijakan ini juga berbanding terbalik dengan visi Presiden Joko Widodo pada 2014 terkait dengan kedaulatan maritim. Slogan “Global Maritime Fulcrum” sebagai cita-cita untuk memajukan Indonesia sebagai negara maritim ternyata hanya menjadi slogan kampanye pada pemilihan Presiden dan tidak pernah menjadi fokus pada masa pemerintah Presiden Jokowi (Laksmana, 2019). Kebijakan untuk membuka keran ekspor pasir/sedimentasi laut Indonesia malah mengancam kedaulatan maritim Indonesia. Menjaga kedaulatan Indonesia artinya tidak menjual tanah Indonesia kepada negara lain dan malah mendatangkan kerugian kepada Indonesia di masa yang akan datang.

 

Kebijakan ekspor pasir laut sudah seharusnya dipertimbangkan kembali oleh pemerintahan Presiden Prabowo, yang memiliki perhatian khusus terhadap kedaulatan negara. Membatalkan kebijakan ekspor pasir laut tidak hanya akan menyelamatkan garis-garis pantai Indonesia dan masyarakat pesisir dari kerusakan lingkungan dan kerugian ekonomi, namun juga menjaga dan mempertegas kedaulatan Indonesia sebagai negara maritim. Keberlanjutan dan implementasi dari ekspor pasir/sedimentasi laut Indonesia hanya akan mendatangkan kerusakan lingkungan alih-alih keuntungan yang dapat dinikmati oleh masyarakat, secara khusus masyarakat pesisir Indonesia.