Bola Liar Skripsi Sebagai Syarat Kelulusan

Polemik tentang penghapusan skripsi masih menjadi topik yang hangat diperdebatkan oleh publik. Nadiem Makarim, menteri pendidikan, kebudayaan, riset, dan teknologi, telah meluruskan bahwa kebijakan skripsi itu tidak dihilangkan, tetapi diserahkan pada masing-masing perguruan tinggi dan tidak lagi menjadi syarat utama kelulusan. Plt. direktur jenderal pendidikan tinggi, riset dan teknologi, Nizam menegaskan bahwa aturan tersebut menuntut agar sarjana memiliki kompetensi yang sesuai dengan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) level 6. Dari kompetensi tersebut, Nizam berharap para sarjana bisa menggunakan internet dan tekhnologi untuk menyelesaikan masalah secara prosedural.

 

Ada tiga hal yang perlu dikritisi dari kebijakan tersebut. Pertama, kementerian pendidikan, kebudayaan, riset, dan teknologi (Kemendikbudristek) terkesan ragu dalam dalam mengeluarkan kebijakan tersebut. Keraguan tersebut dikarenakan Kemendikbudristek belum mempunyai paradigma pendidikan yang jelas sebagai basis dalam mengeluarkan kebijakan skripsi sebagai bagian dari proses akademik. Akibatnya, kebijakan tersebut dilempar ke perguruan tinggi dan membiarkan para rektor, dosen, dan tenaga kependidikan memutuskan masalah tersebut dengan dalil otonomi kampus.

 

Kedua, Kebijakan yang sangat kental dengan logika pasar. Kemendikbudristek menegaskan bahwa fokus pendidikan sarjana yakni mengembangkan kompetensi yang sesuai dengan bidang ilmu yang digeluti. Kompetensi yang dimiliki oleh mahasiswa akan menjadi bekal untuk bisa bersaing dalam dunia kerja yang sangat menuntut profesionalisme individu yang sudah mahir atau kompeten dalam bidang tertentu. Jika mengikuti logika ini, maka skripsi yang sangat menuntut kedalaman literasi dan kemampuan berpikir logis-sistematis tidak lagi menjadi hal utama yang perlu diperhitungkan untuk memasuki dunia kerja.

 

Ketiga, Kebijakan yang bias teknologi. Dalam opini yang ditulis oleh Prof. Rahma Sugihartati pada media harian Kompas (Selasa, 8 Agustus 2023), dijelaskan bahwa anak muda sekarang ini terbawa hasrat Kesenangan yang dipengaruhi ruang digital. Akibatnya, muncul resistensi atau penolakan untuk masuk ke dalam dunia akademik yang menuntut cara berpikir abstrak dan metodis. Tuntutan Kemendikbudristek agar mahasiswa menyelesaikan tugas dengan menggunakan teknologi akan berakibat merosotnya daya juang mahasiswa untuk mengasah cara berpikir teoretis sekaligus praktis.

 

Mengabaikan Semangat Literasi

 

Kebijakan mengenai skripsi bisa kita sebut sebagai bola liar yang menggelinding diantara kementerian selaku pemangku kebijakan dan lembaga pendidikan tinggi yang diberi kewenangan untuk memutuskan kebijakan tersebut dilaksanakan atau tidak. Di sisi lain, kebijakan ini mengabaikan semangat literasi yang selama ini mulai diperbaiki oleh pemerintah, lembaga pendidikan tinggi, dan kelompok masyarakat yang sangat konsen dalam isu literasi.

 

Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) Indonesia pada tahun 2022 sebesar 64,48. Angka ini naik 0,08% dari tahun sebelumnya yakni sebesar 64,4%. Meskipun demikian, angka tersebut masih dalam kategori sedang. Artinya, kemampuan masyarakat Indonesia untuk membaca, menulis, berbicara, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam keluarga, pekerjaan, dan masyarakat masih sangat rendah.

 

Jika kita masuk ke akar persoalan yang lebih dalam, harus diakui bahwa keinginan dan kesempatan membaca masyarakat Indonesia itu sangat rendah. Pada tahun 2019, Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) merilis bahwa total jumlah bacaan dengan total jumlah penduduk Indonesia memiliki rasio nasional 0,09. Artinya, satu buku ditunggu oleh 90 orang setiap tahunnya, sehingga Indonesia memiliki tingkat terendah dalam indeks kegemaran membaca.

 

Skripsi itu produk literasi dalam dunia akademik. Cara untuk mengukur kedalaman literasi yakni dengan melihat seberapa jauh kemampuan mahasiswa dalam merumuskan penelitian ilmiah. Literasi harus dipupuk dalam dunia akademik. Saya berasumsi bahwa jika semangat literasi terus dijaga oleh semua pihak dan mempunyai dampak positif, maka kita tentu tidak akan berdebat mengenai penting atau tidaknya skripsi sebagai bagian dari proses akademik.

 

Evolusi Pendidikan Indonesia

 

Jϋrgen Habermas, salah satu pemikir asal Jerman mengatakan demikian. Evolusi sosial dimungkinkan dengan adanya proses belajar. Secara tekhnis proses belajar itu sendiri bisa dilakukan dengan cara individu mampu membedakan persoalan teoretis dan praktis. Selain itu, harus mampu berpikir reflektif. Artinya, seorang individu tidak lagi menerima pengetahuan tanpa harus menggugat kesahihan pengetahuan.

 

Proses belajar itu sendiri merupakan bagian utama dari kehidupan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan mempunyai tanggungjawab yang sangat mulia untuk melakukan evolusi sosial. Ketika skripsi itu sendiri yang sekarang dianggap sebagai bola liar dan tidak dinilai sebagai bagian penting dari proses akademik, maka bisa saja terjadi kapasitas anak bangsa untuk bisa survive dengan perkembangan sosiokultur dan teknologi tidak akan berjalan dengan baik.

 

Evolusi sosial dengan basis pendidikan menjadi sangat penting. Mahasiswa yang nantinya akan hidup di tengah masyarakat yang dinamis dan kompleks tentu tidak hanya membutuhkan keterampilan praktis, tetapi juga bekal pengetahuan untuk bisa bersosialisasi. Skripsi yang merupakan bagian kecil dari proses akademik menjadi salah satu cara agar mahasiswa itu mampu berpikir sistematis dan divergen. Dua cara berpikir tersebut sangat penting untuk dimiliki oleh setiap individu sebagai makhluk sosial.