Demokrasi “Wani Piro?”

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan perhelatan Pemilu berikutnya pada 14 Februari (Kominfo,2022). Semua partai politik (parpol) kesurupan menanggapi kabar tersebut. Kalangan selebritas ramai gulung tikar dari panggung hiburan untuk hijrah ke panggung politik (tempo, 2023).

 

Meskipun begitu, pesta demokrasi kita sejak fajar Reformasi menyingsing ibarat pedang bermata dua. Selayang pandang kelihatan raut wajahnya bersukaria, tetapi auranya pembunuh. Alhasil, kericuhan yang memakan korban sering tidak terhindarkan pada fase pemungutan suara dan hitungan hasil.

 

Ritual tragis di atas berpotensi terulang pada pemilu 2024. Mengapa? Rupanya ongkos yang harus dikeluarkan untuk merayakan pesta nasional tersebut tidak sedikit. Lantas, adakah cara untuk meminimalisir ongkos politik dan potensi konflik?

 

Demokrasi klientelisme

 

15 April 2019, dua hari sebelum pemilu serentak diadakan pertama kali di Indonesia, Edward Aspinall (ilmuwan politik dari Australian National University) dan Ward Berenschot (ilmuwan politik dari KITLV Leiden) menerbitkan buku “Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia.”

 

Salah satu karya politik paling fenomenal ini kilat menyambar para ilmuwan dan praktisi politik. Mengapa tidak, buku ini membongkar aib pesta demokrasi Indonesia yang selama ini dianggap lumrah: klientelisme.

 

Politik klientelistik terjadi ketika pemilih, juru kampanye, atau aktor lain menyediakan dukungan elektoral untuk politisi tertentu dengan imbalan bantuan pribadi atau keuntungan material. Politisi klientelistik selalu membagikan bantuan berupa barang, uang tunai atau janji pekerjaan, kepada individu atau kelompok kecil pemilih tertentu dengan harapan orang-orang ini akan membalas dengan melabuhkan pilihan pada dirinya.

 

Menurut Aspinall dan Berenschot, permainan kotor di atas mengakar di Indonesia. Kontestasi politik Indonesia kental money politic untuk vote buying dan beragam transaksi lain (Putra, 2017). Cost politics pun begitu tinggi lantaran partai berjamur tanpa kendali (Hakim & Muhyidin, Januari 2022). Maka tidak mengherankan jika pasca pemilu orang saling membunuh, perkelahian internal keluarga meluas, jumlah orang gila di jalanan bertambah.

 

Anehnya lagi, praktik politik informal dengan mendanai tim sukses dianggap biasa. Padahal, eksistensi tim sukses yang beranggota orang-orang non-parpol adalah negasi langsung terhadap fungsi parpol sebagai mesin pemenangan. Tim sukses dibentuk justru karena jualan parpol tidak laris.

 

Klientelisme di Indonesia lebih liar dari negara-negara demokrasi besar seperti India dan Argentina. Kedua peneliti ini tak tanggung-tanggung menjuluki praktik klientelisme khas Indonesia sebagai “freewheeling clientelism” di dalam pusaran “patronage democracy” atau plutokrasi karena hanya bisa mengorbitkan orang-orang berkelimpahan kapital.

 

Akibat demokrasi wani piro iniialah korupsi sistemik yang sulit diputus. Bagaimana mungkin politisi tidak melakukan KKN jika ia mengeluarkan biaya begitu banyak selama proses pencalonannya? Korupsi di masa Orde Baru bahkan lebih terukur dibandingkan era Reformasi. Jika korupsi era Soeharto terjadi ‘di bawah meja’, di era kita justru terang-terangan dilakukan ‘di atas meja’ (Sholikin, Mei 2019).

 

Meretas kebuntuan

 

Aspinall dan Berenschot mengakui tidak ada resep Roro Jonggrang untuk mengatasi permainan uang di dalam politik demokrasi. Juga tidak ada solusi satu paket untuk meretas kebuntuan realisme politik busuk di atas. Tidak sedikit ilmuwan politik yang menganggap klientelisme adalah kewajaran dari sistem demokrasi negara-negara berkembang.

 

Meskipun demikian, tidak ada masalah tanpa solusi. Jika misteri tidak punya jawaban, masalah selalu memiliki jawaban. Pakar hukum tata negara Denny Indrayana berpendapat, mahalnya ongkos politik dapat diberantas dengan pendidikan politik dan penguatan kontrol hukum (Indrayana, 2017).

 

Solusi Denny di atas direkomendasikan juga oleh Nur Syamsudin, Iqra Arbiyani, dan Sulfikar Sallu. Ketiga peneliti ini menambahkan beberapa hal, yakni (1) moratorium “money politic”, (2) sosialisasi, (3) pendidikan politik, (4) reformasi dalam legislasi, (5) gerakan bersama, (6) Khotbah dan konseling religius (Syamsudin, et.al., 2018).

 

Usulan pembenahan hukum serupa pernah diusulkan Senator Amerika Bernard Sanders untuk merehabilitasi demokrasi liberal Amerika yang terjebak di dalam korupsi plutokratis, tetapi terbukti tidak efektif (Hager, 2023).

 

Ilmuwan politik Uni Eropa Lawrence Pratchett dan Vivien Lowndes menawarkan tiga cara berbeda. Pertama, standar etika yang tinggi, selain kontrol hukum, terhadap semua pelayan publik. Kedua, mengembangkan instrumen untuk menangani korupsi di tingkat lokal hingga nasional dan internasional. Ketiga, mendorong dan merawat kebebasan pers dan media sosial sebagai kontrol publik (Pratchett and Lowndes, 2004).

 

Di tempat terpisah, lembaga “People for the American Way” mengusulkan reformasi komprehensif sistemik berupa amandemen Konstitusi, menyediakan pendonoran public funding, transparan terhadap political spending, dan aturan pendanaan kampanye yang kuat (www.pfaw.org). Usulan public funding dipandang paling relevan oleh ilmuwan politik Julia Cage (trans. Patrick Camiller, 2020). Namun public funding tanpa regulasi akan ludes.

 

Lembaga konsultan politik International IDEA mengakui demokrasi itu mahal karena membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk memungkinkan kampanye, representasi, dan partisipasi politik. Namun, jika tidak diregulasi dengan efektif, akan merusak integritas institusi dan proses politik, serta membahayakan kualitas demokrasi.

 

Maka, public funding harus dilegalisasi sebagaimana diusulkan Magnus Öhman Director, pejabat regional Eropa dan penasehat senior keuangan politik. Ia mendorong akses terhadap funding yang legal (www.ifes.org, 2013). Dengan kata lain, public funding harus difasilitasi negara. Itu artinya, ongkos politik pemilu ditanggung seluruhnya oleh negara. Konsekuensi logisnya, pertama, kandidat politik hanya maju dengan gagasan. Kedua, jumlah partai harus dibatasi, bukan jumlah kandidat, untuk mengurangi biaya operasionalisasi.