Fajar Demokrasi: Politik Tanpa Ambang Batas Parlemen

Hak konstitusional yang ‘diinkuisisi’ sepanjang dua dekade terakhir sukses mengangkangi hak politik dan konstitusi rakyat, juga potensial mengamankan proses elektoral incumbent pada setiap periode keduanya. Proses politik di dalam tubuh Mahkamah Konstitusi tidak menyisihkan ruang bagi demokrasi yang sehat. Justru mengebiri hak konstitusional rakyat. Pasalnya, setelah tiga puluh enam kali gugatan para ahli, akademisi, pengamat politik, politisi, civil society, dan aktivis, tentang presidential threshold, baru kali ini permohonan judicial review diterima Mahkamah Konstitusi (Muliawati, 2025).

 

Amanat undang-undang Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 tentang Pemilihan Umum menyatakan, bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Artinya, ambang batas parlemen dalam undang-undang yang mengatur pemilihan umum, yakni UU 23/2003 pasal 101, UU 42/2008 pasal 9, dan UU 7/2017 pasal 222 tidak konstitusional dan mengkooptasi hak politik rakyat.

 

Lebih tegas, alasan dasar Mahkamah Konstitusi pada putusan Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 menyatakan, bahwa tidak hanya dinilai bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, namun juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable, serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 (MKRI, 2025).

 

Merasionalkan jaminan stabilitas pemerintahan dan demi menghindari polarisasi melalui koalisi partai politik tidak cukup beralasan untuk mempertahankan ambang batas parlemen 20 persen. Faktanya, tukar tambah politik dan suam kuku kekuasaan baru akan membentuk koalisi pasca pemilu. Lebih lagi, hak sejumlah partai politik peserta pemilu dikooptasi oleh partai politik dominan yang cenderung menghegemoni partai kecil, demokrasi, dan sistem pemilu.

 

Libido kekuasaan dihasrati oleh superioritas partai dominan melalui kue-kue kekuasaan sebagai kontrak politik untuk menundukkan partai koalisi pemerintah. Fenomena ini menciptakan monopoli struktural yang menggerus esensi kompetisi politik, menjadikan demokrasi tak lebih dari arena barter kepentingan tanpa visi strategis yang inklusif.

 

Tidak heran, sejak penetapan ambang batas parlemen, pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berkontestasi berangsur menyusut hingga dua pasangan calon, dan berasal dari partai politik dominan. Pilihan yang terbatas ini mempersempit ruang aspirasi publik, memaksa warga negara memilih di antara opsi yang minim representasi ideologis dan keberagaman politik.

 

Akibatnya, polarisasi politik kian tajam, diperburuk oleh politisasi identitas yang merambah hingga ranah sosial. Polarisasi tidak hanya memecah masyarakat, tetapi juga melahirkan konflik laten yang mengancam integrasi sosial, menciptakan dinamika politik yang jauh dari nilai-nilai demokrasi substantif. 

 

Ambang batas parlemen yang tinggi akhirnya justru menjadi alat penghambat regenerasi politik dan inovasi kebijakan, menyuburkan oligarki dan melemahkan daya saing demokrasi itu sendiri. Bukan tidak mungkin, calon tunggal melawan kotak kosong cenderung menjadi ekses yang terjadi apabila tidak disiasati.

 

Agaknya naif untuk mengklaim problem demokrasi kita menjadi tuntas dengan penghapusan ambang batas parlemen. Gerbang oligarki tetap terbuka lebar dalam mengintervensi dan mengendorse calon tertentu. Peran logistik dan money politics akan masif terjadi. Ketika kandidat boneka menjadi instrumen politik untuk memecah belah elektoral tokoh tertentu, maka polarisasi mungkin terjadi.

 

Belum lagi budget pendanaan pemilu akan membengkak dengan kemungkinan putaran kedua dan kebutuhan logistik politiknya. Semua konsekuensi ini harus disiasati melalui regulasi yang tepat. Sehingga, titik terang prosedur demokrasi dan kebebasan politik tanpa ambang batas parlemen dalam pencalonan, berdampak positif bagi fajar demokrasi Indonesia.