Gugatan Etis Menghantui Kemenkeu

Kasus penganiayaan Mario Dandy terhadap David bak blessing in disguise. Bukan hanya harta haram ayahnya, Rafael Alun Trisambodo, yang terkuak. Pejabat lain yang hedonis dan eksibisionis ikut dipreteli. Transaksi tak masuk akal di berbagai lembaga tinggi negara pun terdeteksi.

 

Di antara sekian kasus yang terkuak, misteri transaksi jumbo di tubuh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) paling menarik sorotan dan semprotan publik. Temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tentang adanya dugaan transaksi janggal sebesar Rp 300 triliun pada 467 pegawai Kemenkeu selama kurun waktu 2009-2023 sontak menjadi buah bibir nasional.

 

Keganjilan transaksi raksasa di lembaga sekaliber Kemenkeu langsung menjadi bola panas. Namun, kasus ini berpotensi antiklimaks. Mengapa? Mari kita telisik alasannya.

 

Bola Panas

 

Kontroversi berlanjut tatkala Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan belum mendapat data jelas mengenai angka 300 triliun tersebut dari surat terakhir yang dikirim PPATK (news.republika.co.id, 11/03/2023). Ia lantas meminta PPATK membuka datanya secara lengkap.

 

Di tempat terpisah, PPATK dan Menkopolhukam Mahfud MD menangkis gosip miring perihal korupsi 300 triliun di Kemenkeu. Yang benar adalah kasus pencucian uang, bukan korupsi (cnbcindonesia.com, 11/03/2023).

 

Berselang beberapa hari, Inspektorat Jenderal Kemenkeu Awan Nurmawan Nuh melayangkan pernyataan berbeda, “Jadi prinsipnya angka Rp. 300 triliun itu bukan angka korupsi ataupun TPPU pegawai di Kementerian Keuangan,” (www.kemenkeu.go.id, 14/03/2023). Menanggapi kesimpangsiuran tersebut, Mahfud berencana untuk membuka kasus tersebut di ruang DPR (news.republika.co.id, 18/03/2023).

 

Meskipun PPATK, Menkopolhukam dan Kemenkeu tampak berduet untuk membuka tabir transaksi raksasa tersebut, isu ini sempat menjadi bola panas. Masyarakat terlanjur dibuat gerah.

 

Keruwetan pengusutan

 

Transaksi aneh di atas berpotensi menguap karena beberapa alasan. Pertama, jangka waktu transaksi sudah begitu lama, sejak 2009. Menurut mantan kepala PPATK, Yunus Husein, investigasi terhadap dugaan transaksi triliunan tersebut harus berhati-hati karena pergerakan uangnya sudah berlangsung lama, dengan nilai yang begitu besar, dan melibatkan banyak orang (www.bbc.com, 14/03/2023).

 

Alasan kedua, KPK kesulitan mengusut transaksi 300an triliun tersebut jika bukan kasus korupsi. Mahfud dan PPATK bersikukuh kasus tersebut bukan tindak pidana korupsi, melainkan pencucian uang. Jika benar demikian, KPK tidak berwenang.

 

Definisi korupsi di Indonesia menurut UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 hanya menyangkut 7 hal: Kerugian keuangan negara, Suap-menyuap, Penggelapan dalam jabatan, Pemerasan, Perbuatan curang, Benturan kepentingan dalam pengadaan, dan Gratifikasi (Ardisasmita, 2006:4).

 

Pendek kata, UU korupsi mempersempit tindakan korupsi sebagai “the abuse of power”, mengikuti definisi Transparency International (www.transparency.org/en/what-is-corruption). Alhasil, tindakan pencucian uang tidak termasuk. Tindak pidana pencucian uang diatur sendiri di dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

 

Definisi korupsi di atas selain mengabaikan kompleksitas praktek korupsi, juga tidak mempertimbangkan United Nations Convention against Corruption (UNCAC) article 23 yang memasukkan money-laundering ke dalam tindakan korupsi. Bagaimanapun pencucian uang merugikan negara. Dengan demikian, walaupun bukan kekosongan hukum, kesempitan definisi legal korupsi (Herry Priyono, 2018) ini jelas mengamputasi kaki KPK untuk meringkus para penjahat pencucian uang.

 

Ketiga, keruwetan di atas berpotensi menggulirkan skenario pengusutan yang antiklimaks. Dalam konferensi kemarin (20/03), Sri Mulyani melaporkan data terbaru. Ternyata, dari 300 surat yang dikirim PPATK, transaksi ganjil mencapai 347 triliun. Dari sekian surat, hanya 135 surat yang menyebut pegawai Kemenkeu dengan nilai transaksi hanya 22 triliun (cnnindonesia.com, 29 Maret 2023).

 

Jumlah ini terbilang kecil jika dibandingkan sisa surat tersebut yang menyentil pihak di luar Kemenkeu. 65 surat berisi transaksi keuangan dari perusahaan, badan atau perseorangan di luar Kemenkeu dengan nilai 253 triliun. 99 surat lainnya merupakan surat PPATK kepada aparat penegak hukum dengan nilai 74 triliun.

 

Nilai kecil seolah membebaskan Kemenkeu dari beban pertanggungjawaban. 22 triliun bukan angka kecil bagi mayoritas warga Indonesia yang terdiri dari kelas menengah ke bawah. 22 triliun memiliki nama, keringat, dan air mata warga kecil yang mengharapkan bantuan negara. Patut disayangkan, lembaga yang menjadi dapur negara tersusupi maling di siang bolong.

 

Steril tindak pidana korupsi tidak berarti bebas ganjalan etis. Kemenkeu akan semakin mengalami defisit kepercayaan dan surplus kehinaan di mata masyarakat. Ingatan kolektif publik akan terus menagih (Hannah Arendt, 1973: 465; Irene McMullin, 2011). Kemenkeu akan terus dihantui gugatan etis.

 

Patut diingat, pejabat publik selalu membawa tanggung jawab etis yang melekat pada jabatan publiknya. Sedikit manuver sudah berdaya ledak tinggi dan menimbulkan letupan-letupan di berbagai sudut negeri.