Aktivitas impor gula di Indonesia kembali menjadi perbincangan publik setelah Kejaksaan Agung menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka kasus korupsi impor gula pada Selasa (29/10) malam. Menteri Perdagangan era Jokowi tersebut sebelumnya telah diperiksa sebagai saksi sebanyak tiga kali sejak tahun 2023 terkait importasi gula di Kementerian Perdagangan periode 2015-2016.
Indonesia pertama kali melakukan impor gula pada tahun 1967, dan ada kecenderungan peningkatan jumlahnya. Hal itu disebabkan oleh laju pertumbuhan penduduk yang cukup besar seiring dengan kenaikan konsumsi per kapita. Bahkan, perkembangan impor gula Indonesia cukup cepat dibandingkan negara-negara lain, sebagai akibat kalah cepatnya pertumbuhan produksi dari pertumbuhan konsumsi gula setiap tahunnya (Darmawan, 2016).
Sepanjang 10 tahun terakhir, selama kepemimpinan Jokowi, Indonesia berganti Menteri Perdagangan sebanyak enam kali, yakni Rachmat Gobel pada Oktober 2014 hingga Agustus 2015; Tom Lembong pada Agustus 2015 hingga Juli 2016; Enggartiasto Lukita pada Juli 2016 hingga Oktober 2019; Agus Suparmanto pada Oktober 2019 hingga Desember 2020; Muhammad Luthfi pada Desember 2020 hingga Juni 2022; dan Zulkifli Hasan pada Juni 2022 hingga Oktober 2024 (Emanuella, 2024). Seluruhnya melakukan kebijakan impor gula.
Impor gula di Indonesia dalam satu dekade terakhir cenderung berfluktuasi, tetapi dari tahun ke tahun, tingkat konsumsi gula selalu lebih tinggi daripada kemampuan produksi. Mengutip dari Outlook Tebu 2023 Kementan, kebutuhan domestik gula Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun disebabkan meningkatnya jumlah penduduk serta berkembangnya industri makanan dan minuman. Pemenuhan kebutuhan domestik gula nasional ditutupi dari impor disebabkan tidak mencukupinya produksi dalam negeri. Realisasi impor gula tahun 2022 mencapai 6 juta ton atau naik 10,13 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) melalui CNBC pada 1 Maret 2023, menyatakan bahwa kebutuhan gula nasional tahun 2023 mencapai 7 juta ton, yakni 3,2 juta ton untuk konsumsi dan 4,1 juta ton untuk industri. Sementara itu, produksi gula nasional hanya sekitar 2 juta ton. Menurut data BPS, tahun 2023 Indonesia mengimpor gula sebanyak 5,07 juta ton, yang sebagian besar dari Thailand, Brasil, dan Australia. Sepanjang Januari hingga September 2024, Indonesia telah melakukan impor gula sebanyak 3,66 juta ton (Anggraeni, 2024).
Menurut Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, estimasi pada tahun 2027, tingkat konsumsi gula akan mencapai 7,74 juta ton, dengan hasil produksi gula sebanyak 2,48 juta ton. Berdasarkan angka-angka tersebut, ada indikasi bahwa gula nasional masih belum dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri. Guna mengatasi permasalahan tersebut pemerintah perlu menciptakan iklim yang kondusif agar industri gula tebu dapat tumbuh dan berkembang dengan memperkuat tiga pilar yang kokoh, berimbang, dan terintegrasi yaitu usaha tani tebu, pabrik gula, serta penelitian dan pengembangan.
Ketergantungan impor gula di Indonesia tidak terjadi dengan begitu saja. Pemerintahan Indonesia telah membentuk berbagai kebijakan tata niaga gula. Kebijakan tata niaga gula Indonesia saat pemerintahan Soeharto (1971-1996) yang memberikan wewenang kepada Bulog untuk menjaga kestabilan harga; pada masa reformasi (1997-2001) terjadinya periode perdagangan bebas memberikan kesempatan pada sektor swasta untuk impor gula; dan sejak 2002 memberlakukan periode kebijakan pengendalian impor, terdiri dari kebijakan memperbaiki irigasi pertanian, penggunaan bibit unggul, dan peningkatan kredit bersubsidi untuk petani (Nasir dkk, 2015).
Pengendalian impor pada praktiknya tidak berjalan dengan mulus. Petani justru banyak dirugikan atas aktivitas impor gula. Petani lokal kesulitan menjual produknya dengan harga yang kompetitif. Pendapatan petani terancam mengalami penurunan secara terus-menerus. Besar kemungkinan akan diikuti penurunan produktivitas sektor dan investasi sektor pertanian. Bahkan, hingga mengancam keberlanjutan pertanian lokal. Padahal, pada era Kolonial, industri gula pernah berjaya.
Indonesia berada pada masa kejayaan gula di tahun 1930-an. Didukung oleh 179 pabrik gula yang beroperasi aktif. Produktivitas gula Indonesia berada di angka 14,8 persen dengan rendemen (kadar gula) dari tebu sebagai bahan baku utama mencapai 11-13,8 persen. Kala itu, Indonesia bisa melakukan ekspor 2,4 juta ton gula (Mardianto, 2005). Beberapa dekade setelahnya, industri gula nusantara mengalami penurunan drastis. Hanya ada 62 pabrik gula berbasis tebu dan 11 pabrik gula berbasis raw sugar import milik BUMN dan swasta (Nasir dkk, 2015).
Produksi gula di Indonesia juga masih memiliki kendala dalam hal ketersediaan lahan tanam tebu. Pelaku industri dalam negeri akhirnya melakukan penanaman di lahan pinggiran yang jauh dari pabrik, sehingga memicu meningkatnya biaya dan waktu operasional. Lambat laun, industri gula di Indonesia bergantung pada bahan baku impor untuk memenuhi permintaan pasar. Pelaku industri telah mengubah pola produksi gula menjadi ketergantungan dengan impor.
Sektor pertanian lokal menjadi terkesan sulit untuk kembali dikelola secara maksimal dalam agenda produksi gula. Namun begitu, masih terdapat optimisme dari Kementerian Pertanian hingga Kementerian BUMN tentang gagasan-gagasan berupa strategi meningkatkan peran pertanian dalam proses produksi gula nasional. Kini, masyarakat menanti pemerintah segera mengambil tindakan nyata untuk memperbaiki sistem produksi gula dalam negeri.
Kebijakan impor gula mendesak untuk dikaji ulang. Strategi pelibatan petani lokal dalam produksi gula nasional harus berjalan beriringan dengan agenda pemerintah dalam mengendalikan impor gula. Bahwasanya impor dilakukan hanya untuk menutup kurangnya kebutuhan dalam negeri. Jangan sampai, para importir justru secara sengaja terus-terusan memasok bahan gula dari luar yang memicu terabaikannya perkembangan produksi gula nasional.
Mengingat kebutuhan gula yang terus meningkat, layaknya pemerintah tergerak pula untuk memastikan apakah sesungguhnya gula dibutuhkan oleh masyarakat, ataukah oleh industri? Pantas menjadi perhatian publik tentang kesungguhan mengatasi kebutuhan gula dengan cara impor. Bagaimanapun juga, mendatangkan gula dari luar negeri untuk dikonsumsi di tanah nusantara yang diyakini sebagai negara agraris merupakan tindakan yang instan.
Saat ini, pabrik gula dan pertanian tebu di Indonesia hanya tersebar di 12 provinsi, yakni Sumatera Utara, Gorontalo, Lampung, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Hanya sekitar 3 persen dari total provinsi di Indonesia. Sedangkan, gula merupakan jenis bahan pangan yang cenderung sulit untuk didorong menuju diversifikasi pangan, atau hampir tidak ada wilayah di Indonesia yang menolak gula.
Memang tidak mungkin pula untuk menjadikan seluruh wilayah di Indonesia memproduksi gula sendiri. Namun, bukan berarti Indonesia hanya akan terbatas bergantung pada pabrik yang masih bertahan. Pemerintah Indonesia telah saatnya untuk berupaya melampaui kondisi terpuruknya pabrik gula dan pertanian tebu. Revitalisasi pabrik gula dan sistem pertanian tebu yang pernah berjaya dapat dijadikan langkah awal untuk mengatasi defisit gula dalam negeri.
Agenda revitalisasi tersebut tentu perlu diiringi dengan berbagai kebijakan pendukung. Misalnya, kebijakan mengenai perdagangan dan fiskal. Sehingga, gerakan simultan antara revitalisasi pabrik dan pertanian dengan kebijakan publik pendukung tersebut, diharapkan bukan hanya menekan angka impor gula, tetapi juga akan kembali membangkitkan industri gula nusantara yang pernah berjaya.