Diplomasi politik internasional tidak hanya isu kemiliteran atau investasi teknologi. Semua bentuk produk dalam negara yang berhasil menembus pasar global adalah kapital untuk bargaining politik internasional. Sebagai alat untuk diplomasi antarnegara, produk-produk yang diekspor tidak hanya mengokohkan posisi negara di kancah dunia internasional, tetapi juga dapat dimanipulasi oleh lawan politik dari negara tertentu sebagai senjata untuk menyerang negara pengekspor. Kekuatan dapat dibalik menjadi kelemahan.
Pekan awal Mei, beberapa isu melejit dan bertengger di puncak incaran republik maya dari luar dan dalam negeri, hingga masyarakat lokal. Berikut adalah lima di antaranya. Pertama, Partai NasDem mengkonfirmasi telah mendapatkan lima kandidat cawapres untuk mendampingi Anies Baswedan pada Pilpres 2024. Kedua, Ajun Komisaris Besar Achiruddin Hasibuan ditetapkan sebagai tersangka dan dipecat karena membiarkan anaknya, Aditya Hasibuan, menganiaya mahasiswa bernama Ken Admiral.
Ketiga, sejumlah jalan rusak di Provinsi Lampung sontak digas perbaikannya gegara Presiden Jokowi dijadwalkan melakukan kunjungan ke sana dalam waktu dekat. Keempat, sebanyak 11 orang meninggal dunia akibat tenggelamnya Kapal Speed Boat (SB) Evelyn Calisca di perairan Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Riau. Kelima, otoritas Taiwan dan Malaysia menarik Indomie Rasa Ayam Spesial dari wilayahnya karena ditengarai mengandung etilen oksida. Isu terakhir ini akan menjadi pembahasan di dalam esai ini.
Otoritas Taiwan dan Malaysia baru saja merintis kabar menggegerkan. Indomie rasa Rasa Ayam Spesial dikatakan mengandung zat karsinogenik di paket bumbu sehingga harus ditarik dari pasar. Menanggapi informasi tersebut, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menegaskan di Indonesia, produk tersebut aman dikonsumsi. BPOM lantas melakukan audit dan menemukan letak masalahnya pada perbedaan standar residu pestisida Etilen Oksida (EtO) dalam produk makanan antara Taiwan dan Indonesia.
Meskipun masalahnya hanya pada soal teknis dan standar kesehatan, BPOM mendorong Indofood untuk melakukan beberapa hal guna mencegah berulangnya hal serupa. Pertama, pelaku usaha diwajibkan memastikan produk sudah memenuhi persyaratan negara tujuan ekspor. Kedua, pelaku usaha harus memastikan keamanan bahan baku yang digunakan untuk seluruh produk baik lokal maupun ekspor agar tidak tercemar residu pestisida EtO. Ketiga, pelaku usaha harus melakukan pengujian residu EtO di laboratorium terakreditasi untuk persyaratan rilis produk ekspor dan melaporkan kepada BPOM.
Indomie merupakan merek mi instan yang diproduksi oleh Indofood CBP, anak perusahaan Indofood Indonesia. Produk mie instan ini tidak hanya merajai pasar domestik, tetapi juga merambah pasar global. Sekitar 15 hingga 20 miliar bungkus Indomie diproduksi setiap tahunnya dan dipasarkan di lebih dari 80 negara (kompas.com, 2022). Indomie sudah diluncurkan sejak 1969. Pada 1992, Indomie bahkan sudah malang melintang dalam pasar global (bbs.binus.ac.id, 2019).
Produk Indofood tersebut bukan hanya menjadi produk ekspor kebanggaan Indonesia, tetapi juga hegemoni global Indonesia di sektor pangan. Maka, penarikan produk Indomie Rasa Ayam Spesial bukan semata kepentingan bisnis Indofood atau Group Salim yang mengakuisisi PT Indofood Sukses Makmur Tbk pada 1990, tetapi kepentingan ekonomi dan diplomasi politik Indonesia. Produk ekspor adalah alat diplomasi. Negara harus campur tangan untuk mengurus secara hukum dan politik untuk memperbaiki komunikasi politik dan citra Indonesia dan produk. Ini bukan hanya tuntutan etis (Kung, 1998), tetapi juga standar pasar global (Bowden and Seabrook, 2006).
Indomie adalah hasil transformasi Industri. Keberhasilan dan manfaat produk ini untuk masyarakat Indonesia dari hulu hingga hilir tidak semata bergantung pada produsen, tetapi juga distributor, konsumen, dan terutama Pemerintah (Long and Holmén, 2022). Kebijakan pemerintah sangat desisif (Olsthoorn and Wieczorek, 2006). Atas dasar itu, Pemerintah sebaiknya tidak memangku tangan saja, membiarkan BPOM dan Indofood yang berkeringat untuk menangani masalah Indomie dengan otoritas Taiwan dan Malaysia.
Konfliknya tidak sebatas soal kesehatan kandungan produk, tetapi juga citra negara dan kepentingan ekonomi nasional. Negara harus bertanggung jawab secara etis dan hukum untuk menyelesaikan kekisruhan ini dengan otoritas kedua negara. Intervensi negara sangat krusial untuk memastikan keberlanjutan produk dan nilai rantai pasok global (Li, dkk., 2022).
Selain pemerintah, strategi Indofood sendiri dalam memulihkan kualitas dan brand image mempengaruhi kembalinya produk Indomie ke kondisi normal atau mempertahankan loyalitas konsumen, bahkan menaikan nilai pemasarannya. Maka, Indofood perlu penerapan inovasi berkelanjutan, menjaga laju supply chain (Wahdini, 2022), strategi produk, pemeliharaan kualitas, strategi penetapan harga, strategi distribusi, strategi promosi termasuk melalui media massa mainstream seperti TV yang belum kadaluarsa pengaruhnya (Okorie, 2022), dan hubungan dengan pelanggan harus disetel ulang bila kedua kasus di atas mengakibatkan disrupsi (Suhairi, dkk., 2023).
Berita penarikan produk Indomie tersebut dapat mempengaruhi nilai pasar. Tidak hanya konsumen Malaysia dan Taiwan, negara lain, termasuk Indonesia akan terganggu dengan brand image hingga meragukan kualitas Indomie. Beberapa kajian mengindikasikan terdapat faktor psikologi (pengaruh iklan di drama atau media sosial, percaya kualitas produk, cita rasa dan tekstur mie), budaya (trend budaya), dan sosial (informasi dan arahan teman/keluarga yang menyukai produk tersebut, ketersediaan) yang secara simultan menjadi penentu utama keinginan dan keputusan pembeli (Rahman, 2022; Asmas dan Tarmizi, 2021).
Kualitas produk dan citra merek Indomie sendiri pernah dibuktikan secara signifikan mempengaruhi pasar Indomie (Safitri, dkk., 2022; Rizki dan Prabowo, 2022). Jika kasus di atas memang terbukti mempengaruhi pemasaran produk Indomie, sebaiknya dipertimbangkan untuk mengganti kemasan. Selain cita rasa, kemasan sangat mempengaruhi konsumen untuk melabuhkan pilihan (Fasya dan Rahwana, 2020).