Indonesia Waspada Dampak Ketegangan Selat Taiwan

Pesawat tempur lepas landas dari kapal milik China, di sisi timur Taiwan, 14 Oktober 2024 (Sumber: tangkapan layar rilis video PLA)
Pesawat tempur lepas landas dari kapal milik China, di sisi timur Taiwan, 14 Oktober 2024 (Sumber: tangkapan layar rilis video PLA)

Militer China menggelar latihan perang di sekitar Taiwan sejak Kamis (23/5), terhitung tiga hari setelah presiden Taiwan, Lai Ching-te dilantik. Pelantikan presiden baru Taiwan pada Senin (20/5) kembali mengusik China.

 

Pemerintah China menganggap DPP (Democratic Progressive Party) sebagai provokator gerakan separatis dan menyerukan kepada masyarakat Taiwan agar memisahkan diri dari China. Sejak 2016, pada saat DPP memenangkan pemilu dan memegang kekuasaan pemerintahan, pemerintahan Taiwan cenderung dekat dengan negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat.

 

Hubungan China-Taiwan kembali memanas pasca pidato Lai Ching-te dalam peringatan 113 tahun berdirinya Republik China, pada Kamis (10/10). Lai mengatakan bahwa China tidak berhak mewakili Taiwan.

 

“Di tanah ini, demokrasi dan kebebasan tumbuh dan berkembang pesat. Republik Rakyat China tidak berhak mewakili Taiwan,” Lai menyampaikan dalam pidatonya.

 

Latihan perang China di Selat Taiwan memasuki babak baru. China secara terang-terangan menunjukkan pada dunia mengenai kekuatannya mengepung wilayah Taiwan. Dikutip dari Reuters, Pemerintah Taiwan menyatakan China mengerahkan 153 pesawat militer untuk latihan perang di sekitar Taiwan, tanpa pemberitahuan sebelumnya. Hal itu dinilai menjadi tanda bahaya bagi seluruh wilayah.

 

Masih dikutip dari Reuters, China mengatakan latihan “Joint Sword-2024B” yang berlangsung tanpa pemberitahuan sebelumnya, merupakan peringatan terhadap tindakan separatis, pasca pidato Hari Nasional oleh Presiden Taiwan Lai Ching-te yang dikecam Beijing.

 

Hubungan China-Taiwan yang kian saling memanas, tentu memiliki dampak bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia. Sebagai negara yang menjalin hubungan perdagangan bagus dengan China dan Taiwan, Indonesia akan merasakan dampak ekonomi dari konflik China-Taiwan.

 

Diungkapkan oleh Menteri Perdagangan RI, Tiongkok, Amerika Serikat, dan India pada Juni 2024 berada dalam tiga besar pasar utama ekspor nonmigas Indonesia dengan total mencapai USD 8,46 miliar atau berkontribusi sebesar 43,14 persen terhadap total ekspor nonmigas nasional.

 

Taiwan sekalipun tidak berada dalam posisi teratas, tetapi pada Juni 2024 mengalami kenaikan ekspor nonmigas yakni 34,21 persen. Potensi pasar produk Indonesia di China dan Taiwan layak untuk diperhatikan oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi konflik China-Taiwan.

 

Menurut jurnal yang ditulis Dano tahun 2024, China akan menghambat kegiatan ekonomi Taiwan dengan memblokade Selat Taiwan. Sebaliknya, Amerika Serikat dan sekutunya akan membalas dengan memblokade Selat Malaka untuk menghambat jalur perdagangan China.

 

Agenda tersebut diperkirakan akan merugikan perdagangan di Indonesia dengan menyebabkan kenaikan harga produk dan bahan baku industri manufaktur akibat gangguan pasokan. Juga diperkirakan akan mengganggu kesempatan ekspor Indonesia.

 

China dan Taiwan hingga kini masih menjadi andalan Indonesia dalam kegiatan ekspor-impor. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus cermat membaca kondisi konflik China-Taiwan, dituntut tepat dalam menjalankan prinsip politik luar negeri bebas-aktif untuk mengamankan kepentingan nasional Indonesia.

 

Isu kemanusiaan juga menjadi tantangan besar bagi Indonesia atas konflik China-Taiwan. Pasalnya, pada 2024 ini lebih dari 280.000 WNI bekerja di Taiwan. Jika perang terjadi di Taiwan, maka Indonesia harus menarik seluruh WNI ke Tanah Air.

 

Biaya pemindahan WNI mungkin masih dapat disiasati oleh Pemerintah Indonesia. Namun, setelahnya berada di Indonesia, para WNI tersebut akan dihadapkan dengan kondisi ketiadaan sumber pendapatan. Sementara itu, keputusan mengambil pekerjaan di luar negeri, didasari atas sulitnya mencari pekerjaan di Indonesia.

 

Tak hanya WNI yang bersangkutan, dipulangkannya ke Indonesia artinya ada anggota keluarga yang juga menjadi kehilangan sumber pemenuhan kebutuhan pokok. Di sinilah letak persoalan kemanusiaan yang penting diantisipasi oleh pemerintah Indonesia pada konflik China-Taiwan.