Ironi Demokrasi dalam Kotak Kosong

Ketika ambang batas menjadi cukup proporsional, koalisi gemuk yang melawan kotak kosong masih bertengger di ambang nafas demokrasi yang hampir putus. Nampaknya euforia demokrasi kita masih menyembunyikan kesemuannya.

 

Wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, Sufmi Dasco Ahmad, memastikan pembatalan pengesahan RUU Pilkada dan akan menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 60 dan nomor 70 tahun 2024 terkait syarat pencalonan kepala daerah.

 

Aktivis hak sipil dan punggawa akun X @BudiBukanIntel, meriuhkan jiwa aktivis sejagat yang sontak ‘membirukan’ postingan akun media sosial dengan taglinenya #peringatandarurat. Sekonyong-konyong, gemuruh massa bergerilya menyisir jalanan sembari mengumandangkan, “Selamatkan Demokrasi”.

 

Di bawah deru suara dan tetesan peluh, tersirat kepedihan yang dalam, lantaran wajah demokrasi yang kian samar di bawah kendali sebuah rezim otoriter. Kepura-puraan yang menyelimuti, perlahan memunculkan otoritarianisme terselubung yang kian meresahkan.

 

Pasca putusan dan penetapan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 8 Tahun 2024, KPU pada 23 September 2024 menyatakan terdapat 37 daerah dengan calon tunggal. Artinya, akan ada peperangan melawan kotak kosong; boleh jadi akan dimenangkan, atau malah sebaliknya.

 

Wajah Demokrasi yang Sama

 

Sejumlah kondisi yang cukup beralasan untuk menerawang potret demokrasi tanah air. Pertama, pilihan realistis untuk tidak berkompetisi karena kekalahan mutlak di depan mata. Koalisi gemuk yang telah terbentuk menjadi salah satu alasan pilihan realistis partai-partai politik lain untuk ber-suam kuku di dalamnya.

 

Jajak pendapat yang dilakukan oleh Kompas pada 19-21 Agustus 2024 menunjukkan 36,7 persen menilai koalisi gemuk dan fenomena kotak kosong diinginkan oleh elit politik. Kotak kosong membunyikan alarm tanda bahaya demokrasi.

 

Calon tunggal merupakan indikasi politik bercorak otoriter-despotik yang menafikan check and balances, atau pemerintahan tanpa oposisi. Muhammad Bahrul berpendapat bahwa periode reformasi saat ini dengan munculnya partai politik dominan baru yang dipimpin oleh mantan elit Orde Baru, bersekutu dengan pemerintah, tampaknya berniat membangun kembali pemerintahan neo-otoriter (Bahrul, 2020).

 

Kedua, produksi elektoral membutuhkan kapital ekonomi. Selain karena transaksi ambang batas, kapital ekonomi mampu menunjang elektoral. Artinya, politik uang mengharuskan nominal yang tidak sedikit. Belum lagi, menunggu sembako atau bantuan langsung tunai (BLT) telah terhabituskan di dalam kultur sosiologis bangsa Indonesia.

 

Endapan hasrat akan kekuasaan mulai menyeruak secara brutal. Opsinya adalah menghalalkan segala cara. Politik uang dinormalkan melalui tawar menawar kursi antar partai. Sogokan amplop berpundi-pundi pada rakyat, bagaikan pengemis berdasi. Biaya politik tidak pernah murah. Fenomena kotak kosong menjadi alarm bahwa demokrasi yang substantif berhenti secara definitif, nyaris tidak terdengar isi kepala calon pemimpin tunggal.

 

Politik uang melanggengkan pemerintahan yang korup. Salah satu calon gubernur di Nigeria, Kayode Fayemi mengatakan bahwa yang mencuri kotak suara akan mencuri uang publik (Hasan et al, 2023). Tidak heran, jabatan publik diisi oleh kroni, kriminal, tokoh tidak kompeten, yang menghalangi calon berkualitas untuk berkompetisi, merusak kompetisi sehat, dan menyebabkan hilangnya demokrasi perwakilan (Hasan et al, 2023).

 

Ketiga, kegamangan partai politik akibat krisis kaderisasi secara figuritas yang berkualitas dan otentik. Ketika demokrasi menjadi pilihan politik untuk negara dengan tingkat pendidikan rendah, kualifikasi elektoral akan sangat pragmatis. Otentisitas dan kapasitas diri, yang seharusnya bisa ditumbuhkan di dalam demokrasi substantif, tidak cukup bernyali sebagai rival atas elektoral pragmatis.

 

Keempat, politik patron-klien terlegitimasi oleh kultur balas jasa bagi masyarakat Asia Tenggara secara umum. Peneliti politik patron-klien di Asia Tenggara, Allen Hicken mendefinisikan klientelisme pada tiga hal. Pertama, kontingensi atau timbal balik: dukungan dipertukarkan dengan sumber-sumber material. Kedua, hierarkis: relasi kekuasaan yang tidak seimbang. Ketiga, pengulangan: berlangsung terus menerus (Hicken, 2011).

 

Pembenaran terhadap politik balas jasa melalui kue-kue kekuasaan terus terdistribusi secara masif di kalangan elitis dan oligarkis. Praktik patron-klien tersublimasi ke dalam kultur sosio-antropologis yang “menerima tanpa memverifikasi kebenarannya” atau taken for granted. Pierre Bourdieu menyebutnya dengan kekerasan simbolik, yakni ketika “korban menyetujui menjadi korban” (Haryatmoko, 2016). Justru di dalam ketidaksadaran itu, kekerasan simbolik beroperasi secara paling sempurna.

 

Sepanjang problematika demokrasi ini masih bercumbu di dalam hasrat kekuasaan, kita akan selalu tersandera oleh kekuasaan otoriter berwajah demokrasi. Alih-alih pilkada sebagai instrumen demokrasi yang sah, pilkada menjadi ladang yang skemanya dikemas oleh motif oligarki. Karena itu, demokrasi ideal yang dikonstruksikan lewat perlawanan di jalan tidak boleh berhenti. Tidak hanya itu, butuh keberanian untuk mengimajinasikan demokrasi secara konseptual, kontekstual dan implementatif.

 

Suara Kotak Kosong

 

Peristiwa politik akhir-akhir ini disinyalir sebagai bentuk kegamangan demokrasi, ketika kekuasaan terlegitim diapropriasi sebagai kekuasaan mutlak dan despotik. Gema otoritarian pun terdengar nyaring saat dominasi kekuasaan dilanggengkan melalui koalisi gemuk.

 

Absurdnya demokrasi tanpa oposisi telah diambil-alih oleh keberanian masyarakat sipil yang merongrong kemunafikan politik kaum elitis-oligarkis. Masyarakat sipil berkepentingan pada keadilan, kebenaran, dan kebebasan di dalam berdemokrasi. Dukungan regulasi yang benar dan tepat memainkan peran penting, sehingga merepresentasikan keberpihakannya pada subjek demokrasi, yakni rakyat Indonesia.

 

Keadaban berdemokrasi masih tertatih, namun titisan harapan selalu menggema bagi segelintir orang untuk menyelamatkan demokrasi dari cengkeraman otoritarianisme berkedok demokrasi prosedural. Kotak kosong adalah teriakan minta tolong demokrasi. Jika kotak kosong tidak segera diisi, kita mungkin akan menguburkan demokrasi untuk selamanya.