Posisi sebagai pejabat publik memang politis, tetapi tidak asal diisi sembarangan orang. Untuk dapat mengamalkan tugasnya sebagai pelayan masyarakat dan petugas negara dengan capable, seorang pejabat publik harus memiliki kompetensi leadership, kompetensi manajerial, dan kompetensi etis (S. Bowman, et.al. 2010). Karena itu, sosok yang dapat mengemban amanah sebagai pejabat publik harus melewati sensor ketat.
Pekan ketiga bulan ini menyuguhkan beberapa informasi yang populer di media massa. Pertama, viralnya potongan tubuh seorang mahasiswa UMY yang ditemukan kepolisian sebagai korban mutilasi. Kedua, Kereta Api (KA) Brantas jurusan Jakarta-Blitar menabrak satu unit truk trailer di jembatan Jalan Madukoro, Semarang, hingga menyebabkan kemacetan. Ketiga, wacana pembuatan SIM seumur hidup berpotensi menimbulkan kerugian negara sebesar 650 miliar/tahun. Keempat, tiga bacapres elektabilitas teratas tengah marathon menuju Pilpres 2024. Kelima, pelantikan Budi Arie Setiadi sebagai Menkominfo menimbulkan polemik. Kasus terakhir akan menjadi konsentrasi ulasan artikel berikut.
Kontroversi pelantikan Budi Arie sebagai menkominfo dilatari beberapa faktor. Budi Arie tidak memiliki kapabilitas di kementerian terkait (www.cnbcindonesia.com, 18/07/2023). Budi Arie merupakan ketua relawan Projo yang berhasil turut memenangkan Jokowi dalam dua kali pemilu (kompaspedia.kompas.id, 17/07/2023). Dirinya baru saja menyatakan dukungan kepada bacapres Prabowo Subianto (www.cnnindonesia.com, 18/07/2023). Fenomena yang baru terjadi sepanjang sejarah, seorang ketua relawan mendapat kursi menteri (news.detik.com, 17/07/2023). Bahkan, masa jabatan Menkominfo hanya menghitung bulan.
Tidak mudah untuk menalar gelagat politik Presiden Jokowi tersebut. Para pengamat politik pun membeberkan beberapa penafsiran. Pelantikan Budi Arie hanya sebagai simbol kekuasaan Jokowi. Jokowi ingin menunjukkan bahwa ia tetap berkuasa. Jokowi memakai sosok yang total bekerja untuk negara. Langkah ini untuk menghindari menteri dari kalangan parpol yang sibuk berkampanye menjelang pemilu. Jokowi ingin mengamankan posisinya dan karir politik anak-anaknya pasca ia turun dari tahta (www.cnnindonesia.com, 18/07/2023). Pelantikan Budi Arie adalah sinyal kuat, buktinya telunjuk jari Jokowi menunjuk pada Prabowo Subianto sebagai presiden berikutnya.
Apapun kebenarannya, tentu saja Presiden Jokowi paling tahu. Gebrakan politik Jokowi memang susah ditebak, memusingkan kepala para pengamat. Meskipun demikian, ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan untuk menanggapi siasat politik Presiden Jokowi.
Penting untuk membedakan dua hal prinsipil, yakni jabatan publik dan jabatan politis. Sederhananya, jabatan politis berkarakter partisan. Jabatan politis adalah posisi titipan atau balas jasa, tanpa mementingkan kualifikasi ketat dan objektif berdasarkan sistem merit. Maka, orang yang mengisi posisi ini hanya diminta loyalitas untuk mengabdi pada satu orang atau kelompok tertentu. Berbeda dengan itu, jabatan publik harus memasang kriteria yang ketat karena perannya sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk melayani masyarakat luas. Maka, kompetensi meritokrasi sangat menentukan.
Seseorang boleh menggunakan kursi jabatan publik jika ia memiliki kompetensi yang dibutuhkan. Jabatan menteri seharusnya adalah jabatan publik karena peran strategisnya untuk menerjemahkan visi presiden dalam melayani kebutuhan seluruh warga Indonesia. Maka, posisi Menteri seharusnya diisi orang yang memiliki kualifikasi sesuai template kementerian tersebut. Sayangnya, di republik ini, jabatan menteri justru diobral sebagai produk balas jasa atau instrumen politik untuk meringkus lawan. Sebenarnya tidak bermasalah ketika posisi menteri atau jabatan politik tertentu isi oleh politisi atau tokoh dengan kepentingan politik praktis tertentu. Yang penting, ia memiliki kompetensi sebagai pelayan publik, yakni kompetensi kepemimpinan, teknis, dan etis (Haryatmoko, 2015).
Seleksi berdasarkan prinsip meritokrasi memang tidak dapat dipakai di dalam semua ranah, seperti di dunia pendidikan tinggi, karena justru melanggengkan kesenjangan sosial dan ketidakadilan ((J. Sandel, 2020). Meskipun begitu, seleksi meritokrasi sangat krusial di dalam menjaring figur yang berkapabilitas sebagai pejabat publik karena meritokrasi mendorong pencapaian efisiensi manajerial yang lebih besar (Juillet and Rasmussen, 2008). Prinsip meritokrasi memang tidak cocok untuk pengorbitan individu, tetapi efektif untuk mengatur jabatan organisatoris. Meritokrasi tidak berurusan dengan masa depan individu, melainkan rakyat banyak. Maka, jabatan publik semestinya diisi oleh tokoh-tokoh yang memenuhi syarat meritokratik.
Budi Arie memang memiliki segudang pengalaman dalam berorganisasi dan bekerja. Ia memiliki kualifikasi di bidang politik dan manajemen dari segi pendidikan, organisasi, dan pekerjaan. Ia beberapa kali menjabat ketua pergerakan mahasiswa dan alumni. Ia pernah menjadi politikus PDIP. Ia menduduki kursi direktur PT Daya Mandiri. Terakhir ia menjadi ketua Relawan Projo dan Wamendes (kompaspedia.kompas.id, 17/07/2023). Meskipun demikian, menduduki posisi di Kominfo yang memiliki segudang masalah bukan hal mudah (news.detik.com, 17/07/2023). Tanpa kompetensi, alih-alih menyelesaikan mercusuar masalah di Kominfo, Budi Arie malah menambah masalah.
Tentu saja penalaran lebih penting dari kecakapan teknis. Berbeda dengan kecakapan teknis yang hanya dapat dipakai untuk bidang tertentu, penalaran memampukan seseorang untuk berkiprah di bidang manapun. Sebagai contoh, Menteri Kesehatan saat ini, Budi Gunadi Sadikin, memang bukan seorang ahli medis, tetapi ia memiliki kemampuan penalaran dan manajerial untuk mengorkestrasi Kementerian Kesehatan. Alhasil, berbagai prestasi ditorehkan. Yang paling prestisius adalah kemampuannya untuk melobi dan mendatangkan jutaan vaksin Covid-19 ke Indonesia serta meredam kebusukan IDI. Meskipun demikian, tidak semua orang memiliki kemampuan penalaran sekaliber Menkes Budi. Budi Arie patut diragukan karena belum memiliki prestasi apapun selama menjabat sebagai Wamendes.