Hukuman mati di Indonesia masih menjadi isu kontroversial. Tidak sedikit kelompok yang mendukung hukuman mati. Argumentasinya, hukuman mati menghalangi kejahatan, lebih hemat daripada hukuman seumur hidup, menghibur keluarga korban, dan menjamin pelaku tidak mengulang di masa depan.
Meskipun begitu, ada juga kelompok yang menolak dengan dalil, hidup manusia berasal dari sang pencipta sehingga negara tidak berhak mencabut nyawa seseorang. Secara filosofis, kelompok ini juga mendorong pembedaan atas tindakan dan pribadi. Tindakan seseorang melakukan kejahatan tidak lantas menjadikan pribadinya jahat. Secara teologis, karena manusia berasal dari Sang Pencipta, negara tidak berhak mencabut nyawa seseorang. Amnesty international mencatat hukuman mati sebagai the ultimate cruel, inhuman and degrading punishment.
Pada pekan ketiga Februari, ada tiga isu populer adalah vonis hukuman mati terhadap mantan Kepala Divisi Propam Polri Ferdi Sambo, penahanan 67 WNI yang tinggal secara ilegal di Malaysia, dan hujan deras di Makassar. Hukuman mati Ferdi Sambo paling banyak diperbincangkan. Media asing seperti AFP, Channel News Asia, dan Straits Times ikut meramaikan pemberitaannya.
Vonis hukuman mati terhadap tersangka Ferdi Sambo dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Josua Hutabarat dikritik Kontras, Amnesty International Indonesia, dan Komnas HAM. Lembaga-lembaga menilai hukuman mati tidak sesuai nafas zaman dan trend dunia untuk menghapus hukuman mati (tempo.co, 2023).
Secara global, penolakan terhadap hukuman mati dinyatakan pada Deklarasi Universal HAM 1948. Salah instrumen pelaksananya ialah ‘The Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights’. Di Indonesia, Pasal 28I UUD RI 1945 mengamanatkan hak untuk hidup. Ketentuan ini ditegaskan kembali dalam Pasal 4 UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Meskipun demikian, terdapat beberapa pasal dalam KUHP yang mengatur delik hukuman mati. Pasal 104 KUHP, Pasal 111 ayat 2 KUHP, Pasal 124 ayat 3 KUHP, Pasal 140 ayat 4 KUHP, Pasal 340 KUHP, Pasal 365 ayat 4 KUHP. Keberadaan pasal-pasal ini menimbulkan kontradiksi dalam tubuh bangunan hukum Indonesia. Karena itu, Edith Yunita Sianturi dan kawan-kawan pernah mengajukan judicial review terhadap UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang memberlakukan hukuman mati ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK lantas memutuskan hukuman mati di Indonesia tidak bertentangan dengan hak hidup yang dijamin UUD 1945 karena hak asasi dalam Konstitusi harus dipakai untuk menghormati hak asasi orang lain (Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007).
Argumentasi filosofis tentang pembedaan tindakan dan pribadi harus dikritisi karena berasal dari paham liberalisme Barat yang tidak sesuai dengan kolektivitas masyarakat Indonesia. Lagi pula, mudah untuk membedakan tindakan dari pribadi, tetapi sulit untuk membayangkan sebuah tindakan lahir dari ruang hampa, tanpa ditopang oleh fondasi kepribadian.
Argumentasi teologis bahwa kehidupan manusia berasal dari Sang Pencipta, bukan negara sehingga negara tidak berhak menjatuhkan hukuman yang mengakhiri hidup seseorang juga tidak realistis. Gagasan demikian tendensius menyerang kedaulatan negara untuk mengatur warganya, tanpa memikirkan apakah pelaku kejahatan juga memikirkan dirinya dan korban sebagai ciptaan Yang Ilahi.
Meskipun demikian, hukuman mati perlu dikaji lebih lanjut: apakah menjamin penurunan angka kejahatan berat yang dilarang dengan sanksi hukuman mati? Di dalam kasus Ferdi Sambo, masalah mendasarnya bukan soal kemanusiaan individual, melainkan asas-asas hukum. Asas keadilan mengharuskan hakim harus berpihak pada korban. Asas kepastian hukum mewajibkan hakim untuk menegakan hukum sebagai panglima tertinggi negara hukum.
Hukum tidak boleh tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Kesetaraan di hadapan hukum dipertaruhkan dalam kasus ini. Adapun asas kebermanfaatan menuntut hakim harus menegakan hukum untuk seluruh warga negara Indonesia. Generasi masa depan Indonesia dipertaruhkan di dalam kasus Ferdi Sambo. Jika Sambo tidak dijatuhi hukuman mati, hakim akan dipandang lemah, disogok, dan meninggalkan preseden buruk. Di masa depan, banyak orang akan memilih untuk bungkam, berbohong daripada jujur, atau membiarkan para pejabat bertindak sewenang-wenang.