Mahkamah Konstitusi Berpolitik

Sejarah panjang sengketa berdarah ratusan tahun membuka mata banyak orang bahwa kekuasaan politik tidak pernah boleh tunggal. Kekuasaan selalu koruptif, menyimpang, ketika terkonsentrasi pada tangan satu orang atau lembaga. Atas dasar itu, beberapa pemikir seperti Montesquieu, John Locke, dan Jacques Rousseau mengusulkan kekuasaan harus dikontrol atau yang lazim dikenal dengan prinsip check and balance.

 

Prinsip tersebut hanya bisa berjalan kalau terdiri lebih dari dua pihak. Kalau hanya dua, roda pemerintahan tidak dapat berjalan karena sulit menghindari pertengkaran tanpa ujung. Prinsip check and balance dapat dioperasionalkan dengan cara kekuasaan disebar ke seluruh masyarakat atau beberapa pihak sebagai representasi. Dari sinilah lahir konsep kekuasaan eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Diversifikasi kekuasaan mencegah kekuasaan membusuk.

 

Beberapa hari terakhir, isu nasional menguat, bahkan menutupi fragmen-fragmen kisruh internasional dan lokal. Beberapa di antaranya adalah Presiden Jokowi mengatakan ikut ber-cawe-cawe untuk kepentingan nasional; mayoritas fraksi menyatakan menolak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) jika kembali ke sistem pemilu proporsional tertutup; PDIP membantah tudingan suami Puan Maharani terlibat korupsi BTS; ekspor pasir ke luar negeri diprotes oleh aktivis lingkungan; viralnya pernyataan Denny Indrayana terkait kemungkinan MK mengubah sistem pemilu ke pola tertutup.

 

Pernyataan Denny Indrayana bahwa MK akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup, atau kembali memilih tanda gambar partai saja, telah memicu beragam tanggapan. Salah satu yang paling cepat menanggapi adalah Menkopolhukam Mahfud MD melalui cuitan  di akun twitternya, ‘Info dari Denny ini jadi preseden buruk, bisa dikategorikan pembocoran rahasia negara. Polisi harus selidiki info A1 yang katanya menjadi sumber Denny agar tak jadi spekulasi yang mengandung fitnah.’

 

Ibarat puisi berantai, Denny langsung mengklarifikasi pernyataannya. Ia tidak pernah menggunakan frase mendapat bocoran, melainkan mendapat informasi. Juga bukan informasi dari A1, melainkan seseorang yang sangat ia percaya kredibilitasnya. Dengan demikian, Denny tidak memaksudkan mendapatkan informasi dari internal MK.

 

Meskipun terhindar dari jeratan hukum, spekulasi politik sulit dibendung. Beberapa anggota DPR perwakilan fraksi langsung melakukan jumpa pers untuk menyatakan penolakan terhadap sistem proporsional tertutup dan mendesak MK tidak mengabulkan. Kubu Gerindra dan Demokrat mencemaskan terjadinya kekacauan politik jika demikian putusan MK. Sementara itu, pihak MK sendiri masih berdiam. KPU pusing lantas meminta menanti putusan MK.

 

Terlepas apapun keputusan MK, beberapa hal menarik perlu ditilik secara serius. Memang benar, tidak ada yang coincidencia di dalam politik. Segala sesuatu terjadi by design. Rumusan lain, everything happens for a reason. Alasdair MacIntyre pernah menulis, makna sebuah peristiwa tidak terletak pada fragmen-fragmennya. Meaning after meaning hanya bisa ditemukan jika potongan-potongan kejadian dibaca sebagai episode dari satu naskah drama politik yang utuh (1988, 2007).

 

Dalam kerangka tersebut, putusan MK untuk memperpanjang masa kepemimpinan Firli di KPK, kemungkinan memenangkan tuntutan kubu Moeldoko untuk merebut Partai Demokrat agar mencegah Anies Baswedan menjadi calon Presiden, dan potensi mengabulkan gugatan PDIP untuk mengubah sistem proporsional menjadi tertutup logis untuk dibaca sebagai satu rancangan matang dengan tujuan yang sama. Tiga patahan isu ini nirmakna jika dilepas-pisahkan dan sungguh tidak masuk akal. Hanya masuk akal kalau terdapat hidden agenda di belakangnya, terlepas motivasi agenda itu baik atau buruk, konteks politik dan tindakan eksternal sudah cukup untuk menyimpulkan secara etis skenario seperti ini salah.

 

Penting untuk menjadi catatan bersama, bahwa bukan hanya soal kemungkinan benarnya ketiga isu di atas, melainkan denyut nadi demokrasi di Indonesia. Jika benar dugaan banyak orang, bahwa MK memang by design rapi memiliki agenda di balik putusan nasib pimpinan KPK, gugatan Moeldoko, dan sistem proporsional, demokrasi kita berada di ujung tanduk. MK persis sudah berpolitik praktis.

 

Memang benar bahwa seorang hakim MK harus memiliki sense of politics, tetapi sebagai kemampuan untuk menganalisis dan menghindar dari jebakan politik praktis yang moody, bukan malah ikut tercebur ke dalam permainan kotor politik praktis (hukumonline.com, 2023; suaranasional.com, 2023). Esensi demokrasi ditopang oleh kekuasaan yudikatif, legislatif, dan eksekutif adalah untuk check and balance. Prinsip ini hanya terlaksana jika MK bermain sebagai wasit yang netral ketika legislatif dan eksekutif saling mengadu ‘jotos’.  Itu artinya, manuver MK tidak hanya membahayakan pemilu 2024, melainkan masa depan panjang demokrasi di Indonesia.

 

Peringatan ilmuwan politik Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt di dalam buku How Democracies Die patut kita pertimbangkan. Levisky dan Ziblatt tidak sedang hanya mengkritik Donald Trump dan rakyat Amerika yang keliru memilih demagog tersebut. Kedua pemikir politik ini menyingkapkan kamuflase baru otokrasi yang menggunakan topeng demokrasi. Serangan terhadap demokrasi di abad 21 justru berasal dari dalam dirinya sendiri.

 

Demokrasi tidak lagi diancam oleh fasisme dan komunisme. Cara baru membunuh demokrasi justru terjadi melalui pemimpin yang dipilih secara demokratis. Setelah terpilih, ia memanfaatkan organ-organ demokrasi untuk mengamankan kepentingannya dan membungkam lawan politik. Memperpanjang riwayat kuasa pimpinan KPK saat ini, memenangkan Moeldoko cs, dan mengubah sistem proporsional terbuka ke tertutup adalah beberapa indikator demokrasi Indonesia tengah berada dalam situasi kritis.

 

Penghormatan terhadap MK sebenarnya terlalu berlebihan. MK dianggap sebagai lembaga sakral yang bertindak sebagai perpanjangan tangan Tuhan yang mahaadil. Pengkultusan ini keliru karena menyebabkan MK seakan menjadi kebal hukum dan lolos dari sorotan publik. Padahal tindakan korupsi dan kriminalitas lain kerap terjadi justru di lembaga tinggi negara ini.

 

Kekeliruan ini persis terjadi pada awal era reformasi. Ketika lembaga militer, eksekutif, dan yudikatif sungguh dipaksa oleh massa untuk ditransformasi secara menyeluruh, MK justru lolos dari serbuan masa Reformasi (Harold Crouch, 2010). Alhasil, lembaga yudikatif di Indonesia justru berjalan stagnan, tidak ada perubahan dan kemajuan. Kebusukannya jarang tercium. Karena itu, momentum menjelang pemilu 2024 harus dijadikan ajang untuk memaksa MK bertransformasi secara menyeluruh.

 

MK melanggar etika publik dan norma hukum jika ikut bermain politik praktis. Karena itu, MK harus dikontrol penuh oleh publik. Sebaliknya, MK sendiri jangan dirayu untuk ikut bermain politik. Tindakan DPR yang sewenang-wenang memecat hakim Konstitusi Aswanto, apapun prosedur hukumnya, adalah tindakan menyodorkan umpan politik ke lembaga yudikatif (kompas.com, 2020; dpr.go.id, 2022).

 

Kebodohan sejenis kembali dipertontonkan DPR lewat konferensi pers untuk menolak putusan MK terkait sistem proporsional. Tindakan wakil rakyat ini sudah pasti adalah manuver politik untuk menekan MK. Maka, jangan heran jika MK semakin menjadi-jadi menunjukkan legitimasinya dengan menolak tunduk dan seolah bertindak netral dengan mengabulkan perubahan sistem pemilu proporsional tertutup.