Membentuk SDM Berkapabilitas

Indonesia dalam beberapa hari terakhir mendidih. Bukan hanya disebabkan erupsi Gunung Merapi Yogyakarta pada 11 Maret yang mencatatkan rekor sebagai erupsi terbesar dalam setahun terakhir. Namun, kenakalan turis-turis asing di Bali juga membuat warga panas. Selain itu, dugaan manipulasi perkembangan proyek pembangunan menara BTS 4G dan infrastruktur pendukung BAKTI yang menyeret Menkominfo Johnny G Plate belum juga mengendur. Di tengah keresahan itu, potensi duet Prabowo-Jokowi meramaikan jagat maya.

 

Kabar dari Nusa Tenggara Timur juga tak kalah panas. Kebijakan mendadak Gubernur Viktor B. Laiskodat (VBL), untuk mendisiplinkan pelajar SMA/SMK di Kupang dengan bersekolah sejak pukul lima pagi membuat banyak orang mengkerutkan dahi.

 

Alasan mendasar VBL mendesak pemberlakukan aturan masuk sekolah pukul lima pagi, menurutnya agar anak-anak yang lulus nanti tidak menganggur. Kebijakan ini diyakini dapat mengasah kedisiplinan dan etos kerja para peserta didik.  VBL mengklaim, rerata pelajar SMA tidur paling malam pukul sepuluh malam, sehingga sudah cukup waktu untuk memulai sekolah pukul lima pagi.

 

Argumentasi VBL memantik banyak komentar miring. Ada dua kesesatan mendasar dari klaim sepihak VBL, sebab pihaknya tidak memiliki data berbasis riset. VBL bahkan tidak memiliki dasar hukum. Buntut dari kebijakan tanpa data adalah moody, mudah berubah. Awalnya para pelajar diharuskan bersekolah pukul lima pagi, berselang beberapa hari diubah ke pukul setengah enam pagi.

 

VBL tidak menyadari sejak awal atau mungkin menutup mata jika kebijakan tendensiusnya tidak hanya berdampak pada para siswa SMA/SMK, tetapi juga seluruh ritme ekosistem sosial. Orangtua siswa, para guru, jadwal sholat, transportasi umum, PNS, hingga para pedagang di pasar ikut terdisrupsi.

 

Alasan menyiapkan pelajar untuk tidak menganggur usai tamat, siap bekerja atau link and match terlalu menyepelekan hakikat formasi pendidikan sebagai pembangunan manusia. Ilmuwan ternama dunia Amartya Sen mengatakan, tujuan dasar pendidikan adalah pengembangan kapabilitas.

 

Konsep kapabilitas mengandung makna sebagai kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan bernilai (valuable acts) atau meraih kondisi keadaan yang bernilai (valuable states of being) (1930: 30). Kapabilitas adalah soal kesempatan dan kebebasan untuk meraih apa yang dilihat seseorang secara reflektif sebagai sesuatu yang bernilai (Yudi Latif, 2020: 11).

 

Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan di dalam kerangka pengambilan kebijakan publik dan pengembangan SDM melalui institusi sekolah. Kebijakan publik sudah pasti memiliki efek terhadap kehidupan banyak orang. Di dalam berbagai riset, pendekatan top-down selalu otoriter dan tidak efektif. Karena itu, pendekatan bottom-up selalu digemari di dalam berbagai riset mutakhir (Takashi Inoguchi, 2022).

 

Lembaga pendidikan tidak pernah merupakan sebuah entitas fragmentaris yang terlepas dan terpisah dari seluruh ekosistem sosial. Akibatnya, perubahan pada sistem pendidikan akan turut menyeret lembaga dan segmen sosial lain. Karena itu, kebijakan harus selalu dilandasi perspektif multi-sektor dan riset interdisipliner (Michael Moran, dkk., 2006).

 

Penting pula mempertimbangkan latar belakang ekonomi keluarga para pelajar. Lebih mudah bagi pelajar dari keluarga kelas menengah ke atas untuk bangun pagi. Sedangkan, pelajar dari keluarga sederhana seperti pedagang kecil yang harus menjual jajanannya di pasar. Apalagi demografi masyarakat NTT yang didominasi warga kelas bawah. Karena itu, regulasi di lembaga pendidikan tidak boleh memukul rata, one size for all. Michael Sandel menyodorkan kesetaraan situasi sebagai landasan baru untuk membangun keadilan di dalam lembaga pendidikan (2020: 21-34, 209).

 

Pengetahuan lebih penting daripada imajinasi kreatif. Peradaban dan kemajuan lahir dari rahim imajinasi, bukan pengetahuan yang repetitif. Imajinasi yang dapat dilatih dan dipupuk di dalam ruang kebebasan dan ‘zona hiburan’. Karena itu, lembaga pendidikan harus menciptakan lingkungan yang merawat kebebasan pelajar dan sedapatkan mungkin menjadikan sekolah sebagai panggung hiburan.