Mengukur Jarak antara Koperasi Merah Putih dengan BumDes

Presiden Prabowo menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, pada 27 Maret 2025. Prabowo menginstruksikan agar jajaran pemerintahannya mengambil langkah-langkah komprehensif guna percepatan pembentukan melalui pendirian, pengembangan, dan revitalisasi 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih.

 

Dikutip dari Tempo, Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, mengklaim telah ada 5.200 Koperasi Desa (KopDes) per 2 Mei lalu. Ditargetkan seluruh KopDes Merah Putih akan diresmikan pada 12 Juli 2025 mendatang. Pemerintah pun menebar harapan tentang peran KopDes Merah Putih yang mampu memutus rantai distribusi produk, tanpa melewati tengkulak.

 

Selain mengatasi tengkulak, program prioritas Prabowo itu juga digadang-gadang menyelesaikan kemiskinan melalui penyediaan lapangan kerja bagi pengangguran di desa. Beban yang cukup berat untuk dimainkan oleh sebuah koperasi. Apalagi, pembentukannya bukan berdasarkan kesadaran kolektif masyarakat, melainkan instruksi dari pemerintah pusat.

 

Sekalipun banyak dicurigai sebagai politik balas budi Prabowo kepada para kepala desa dalam pemenangan di Pilpres 2024, nyatanya KopDes Merah Putih menyingkap kerisauan di desa. Mengutip Kompas, kepala desa masih merisaukan kopdes menjadi gudang permasalahan bagi masyarakat dan pemerintah di desa. Tidak dapat dipungkiri, sistem pembentukan top-down akan berujung intervensi pemerintah pusat terhadap koperasi di desa.

 

Adanya KopDes Merah Putih juga akan menambah beban pekerjaan pemerintah desa. Nantinya, pemerintah desa akan bertanggung jawab dengan dua unit penggerak ekonomi dalam satu waktu. Bumdes dan kopdes, bagaimanapun juga akan bekerja di bawah pendampingan pemerintah desa.

 

Badan usaha dan koperasi, secara teori memang tampak jelas garis pembatasnya. Namun, apabila melihat perbandingan antara komposisi staf pemerintah desa dengan daftar pekerjaan di desa, patut diragukan bahwa bumdes dan kopdes dapat bergerak sesuai perannya. Alih-alih saling mendukung satu sama lain, keduanya berpotensi rebutan sumber daya.

 

Sumber modal keduanya masuk melalui pemerintahan desa, rawan korupsi dan penyalahgunaan. Pada saat pengelolaan potensi desa, bumdes dan kopdes dituntut mengerjakan hal yang sama persis, di bawah naungan instansi yang sama, sehingga layak dipertanyakan letak perubahan baiknya.

 

Ketiadaan jarak dan pembeda yang signifikan antara KopDes Merah Putih dengan bumdes pantas menoreh catatan kritis dari publik. Butuh pengawasan yang tegas terhadap pengelolaan KopDes Merah Putih, agar tetap berjalan sebagai koperasi. Gotong-royong dari warga untuk warga jangan sampai ditumpangi oleh kepentingan para pejabat desa, daerah, dan pusat.