Menimbang Makna Pembatasan Akses Media Sosial bagi Anak

Menteri Komunikasi dan Digital Indonesia (Komdigi), Meutya Hafid, menyampaikan saat ini sedang disusun regulasi terkait pemberlakukan batasan akses terhadap media sosial berdasarkan usia, khususnya terhadap anak-anak. Tujuannya untuk melindungi anak-anak Indonesia dari ekspos berbagai hal negatif di media sosial, seperti diskriminasi, pornografi, kekerasan media sosial, dan ketergantungan media sosial yang akan menghambat tumbuh kembang dari anak baik secara emosional dan juga intelektual.

 

Walaupun masih merupakan bentuk usulan dan wacana dalam diskusi publik, kebijakan pembatasan usia untuk mengakses media sosial menarik untuk dikaji. Sebab wacana pembatasan muncul di tengah perkembangan teknologi yang semakin berkembang pesat dan globalisasi informasi yang tidak kenal batasan teritori negara.

 

Penelitian menemukan bahwa korelasi ketergantungan media sosial oleh anak-anak dapat memengaruhi tumbuh kembang baik secara sosial, mental, dan juga intelektual (Montag et al., 2024). Kebijakan pembatasan akses media sosial bagi anak-anak juga dilakukan oleh pemerintah Australia baru-baru ini dengan mengenakan pembatasan usia di bawah 16 tahun untuk mengakses media sosial seperti Instagram dan Facebook (BBC News, 2024).

 

Mengapa Anak-anak Perlu Batasan dalam Media Sosial?

 

Berbagai perdebatan muncul terkait dengan persoalan pembatasan akses media sosial untuk anak-anak. Pembatasan media sosial dianggap berdampak positif terhadap tumbuh kembang anak dalam aspek mentalitas, fokus, dan kesehatan fisik (Reed, Fowkes and Khela, 2023). Waktu yang dihabiskan untuk menggunakan media sosial seharusnya bisa dimanfaatkan untuk berolahraga atau bermain dengan teman sebaya di sekitar lingkungan rumah.

 

Selain mengurangi ketergantungan terhadap media sosial seperti Instagram, YouTube, ataupun Facebook, anak-anak akan terhindar dari ekspos banyaknya konten negatif, ujaran kebencian, dan berbagai tindakan negatif yang tersedia dalam media sosial dan berdampak negatif terhadap tumbuh kembang anak. Pengawasan orang tua yang masih minim terhadap penggunaan media sosial oleh anak-anak, pembatasan media sosial akan membantu orang tua dalam hal pengawasan.

 

Pembatasan penggunaan media sosial oleh anak-anak juga akan melindungi anak-anak dari kebocoran data pribadi yang seringkali tersebar dan dapat digunakan untuk berbagai hal termasuk kejahatan. Anak-anak di bawah usia juga seringkali belum terlalu memahami informasi apa saja yang boleh atau tidak boleh diunggah ke media sosial.

 

Pembatasan akses media sosial kepada anak-anak akan sangat menjaga mereka dari kebocoran data-data penting yang mungkin saja digunakan untuk kejahatan dan hal-hal buruk yang berdampak pada keamanan anak-anak. Selain itu, juga akan mencegah terjadinya datafikasi anak-anak di mana data anak digunakan untuk kebutuhan komersial dan juga kepentingan lainnya termasuk kejahatan dalam dunia siber (Livingstone, Stoilova and Nandagiri, 2019).

 

Media Sosial untuk Belajar dan Berkarya

 

Namun di sisi lain, pembatasan akses media sosial bagi anak-anak berpotensi menghambat perluasan relasi anak-anak dengan dunia luar, selain yang ada di sekitarnya. Riset terbaru menyebutkan bahwa tidak ditemukannya relasi kausalitas antara pembatasan media sosial dengan kesejahteraan anak-anak (BBC Science Focus Magazine, 2024).

 

Bahkan pada spektrum paling ekstrim, pembatasan akses terhadap media sosial dianggap sebagai pembatasan hak asasi manusia, terutama terhadap akses  informasi dan memperjuangkan hak-hak politiknya (Oden and Porter, 2023). Melalui kemajuan teknologi informasi saat ini, anak-anak dapat memanfaatkan media sosial untuk mengakses berbagai informasi penting seperti pembelajaran, konten-konten kreatif, dan berita-berita interaktif yang mungkin tidak didapatkan dari media mainstream seperti televisi atau koran.

 

Selain itu, anak-anak di zaman majunya teknologi informasi saat ini sudah terbiasa dengan media sosial yang menawarkan berbagai sarana untuk menyalurkan kreativitas dan ide mereka. Berbagai platform di media sosial memungkinkan anak-anak untuk terbiasa dengan interaksi di media sosial yang mendorong adanya kreativitas dalam membuat berbagai konten.

 

Media sosial juga memungkinkan anak-anak untuk menjalin relasi dengan orang lain yang mungkin saja mereka butuhkan untuk mendukung karir atau kreativitas mereka. Misalnya, anak-anak mendapatkan relasi untuk mengembangkan kreativitas mereka dengan berbagai content creator yang sudah memiliki banyak pengalaman. Tanpa media sosial, anak-anak tidak mendapatkan akses yang cukup untuk mengembangkan ide dan mendapatkan ekspos ke dunia yang lebih luas.

 

Di samping itu, kebijakan untuk membatasi akses anak-anak terhadap media sosial akan mendorong anak-anak mencari alternatif aplikasi lain yang akan menyebabkan pemerintah lebih sulit lagi dalam mengawasinya. Aplikasi alternatif yang muncul sebagai implikasi dari kebijakan ini akan membuat pemerintah bekerja lebih untuk mengawasi dan mengatur aplikasi-aplikasi tersebut agar tidak berdampak negatif terhadap anak-anak.

 

Regulasi, bukan Larangan

 

Alih-alih melakukan pembatasan akses media sosial bagi anak-anak, pemerintah Indonesia sebaiknya memformulasikan regulasi untuk mengatur konten-konten yang dikonsumsi anak-anak. Tiongkok misalnya, pemerintah melakukan kampanye positif dan publikasi berbagai keahlian melalui media sosial. Pemerintah Tiongkok mewajibkan anak-anak untuk hanya dapat membuka konten-konten bermanfaat seperti pendidikan dan pengetahuan (Ryan, 2024).

 

Pemerintah Indonesia bisa saja memberdayakan influencer Indonesia yang memiliki pengaruh positif bagi perkembangan anak-anak untuk membanjiri media sosial Indonesia dengan berbagai konten yang berguna dan bermanfaat. Dengan demikian, alih-alih mempersepsikan media sosial sebagai sesuatu hal yang negatif bagi anak-anak, pemerintah dapat memanfaatkan media sosial sebagai sarana untuk membangun sumber daya manusia lebih kreatif dan inovatif.

 

Dalam perumusan kebijakan publik terutama terkait akses anak-anak terhadap media sosial, pemerintah Indonesia harus mengambil langkah hati-hati. Pada satu sisi upaya pemerintah untuk membatasi media sosial untuk anak-anak memiliki kemungkinan berdampak positif bagi tumbuh kembang anak baik dalam kehidupan sosial, mental, pendidikan dan juga pergaulan.

 

Namun, pemerintah juga perlu memperhatikan pembatasan media sosial apa saja yang akan dibatasi, sejauh mana pembatasan tersebut berlaku, bagaimana melakukan verifikasi usia, hingga mengatur sanksi jika kebijakan tersebut dilanggar. Dengan keterbatasan pemerintah Indonesia dalam permasalahan lain seperti judi online, perlindungan data pribadi, dan kejahatan di dunia siber, pemerintah Indonesia perlu segera berbenah, terutama Komdigi sebagai kementerian yang memiliki fokus dalam dunia digital Indonesia.

 

Alih-alih berfokus pada pembatasan usia, pemerintah Indonesia perlu memasukkan aspek digitalisasi dan media sosial ke dalam kurikulum yang memungkinkan anak-anak untuk memanfaatkan media sosial untuk hal-hal yang positif. Hal ini menjadi penting karena di masa depan teknologi informasi jelas akan semakin maju dan Indonesia membutuhkan banyak anak bangsa untuk berkontribusi dalam bidang media sosial.

 

Lebih lanjut, dengan adanya kurikulum mengenai media sosial, anak-anak Indonesia tidak menjadi konsumen saja namun juga memberikan manfaat secara ekonomi dan juga edukasi. Pemerintah juga perlu mempertimbangkan penggunaan media sosial sebagai sarana untuk meningkatkan sumber daya manusia melalui produksi konten-konten pendidikan yang berdampak positif terhadap anak-anak.