Aksi demonstrasi dilakukan oleh pengemudi ojek online, pada Selasa (20/5) lalu. Terdapat lebih dari 10 kota yang menjadi lokasi aksi, di antaranya Jakarta, Yogyakarta, Samarinda, Jember, Balikpapan, Purwokerto, Banyumas, dan kota-kota lainnya.
Dilansir dari Tirto, pengemudi ojek online juga menonaktifkan layanan sebagai bentuk protes kepada perusahaan. Massa aksi menyuarakan lima tuntutan. Satu di antaranya meminta presiden dan menteri perhubungan memberikan sanksi kepada perusahaan aplikasi karena telah melanggar regulasi.
Permenhub PM Nomor 12 Tahun 2019, mengatur bahwa Menteri, Gubernur, dan/atau Bupati/Walikota dengan kewenangannya mempertimbangkan dan menindaklanjuti masukan dan pendapat yang disampaikan oleh masyarakat.
Kepmenhub KP Nomor 1001 Tahun 2022, mengatur bahwa perusahaan aplikasi menerapkan biaya tidak langsung berupa biaya sewa penggunaan aplikasi paling tinggi 15 persen dan/atau perusahaan aplikasi dapat menerapkan biaya penunjang berupa biaya dukungan kesejahteraan mitra pengemudi paling tinggi 5 persen.
Januari 2025, sempat terjadi protes akibat biaya potongan yang diberikan pada pengemudi sebesar 20 persen. Namun, tidak ada tindak lanjut dari pemerintah untuk memberikan sanksi pada perusahaan penyedia aplikasi.
Aksi yang terjadi saat ini tidak hanya dilakukan untuk menindaklanjuti protes sebelumnya. Dikutip dari Tempo, aksi demonstrasi juga dipicu adanya besaran potongan yang diduga hingga mencapai 50 persen.
Massa aksi pun menyerukan penurunan potongan menjadi 10 persen dan mendesak Komisi V DPR RI untuk mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RPD) untuk memfasilitasi dialog antara pemerintah, pengemudi, dan perusahaan.
Pemerintah sebagai pemangku kebijakan memiliki kewajiban untuk mendengarkan dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Namun, saat ini seolah pemerintah tengah tidak sejalan dengan perannya.
Protes yang sudah dilakukan tidak segera direspon dengan baik. Tidak ada sanksi yang diberikan kepada perusahaan. Ditambah lagi penerapan pajak yang tinggi memicu perusahaan untuk menambah potongan biaya yang berdampak pada kesejahteraan pengemudi.
Kondisi seperti ini seharusnya menjadi perhatian khusus pemerintah. Mengingat pengemudi ojek online juga salah satu akibat dari pemerintah yang tidak bisa menyediakan transportasi umum yang memadai di sebagian besar kota dan kabupaten di Indonesia.
Ketika pihak swasta memanfaatkan kebutuhan masyarakat menjadi peluang, pemerintah seharusnya bisa memfasilitasi masyarakat dengan penerapan peraturan perundang-undangan yang tegas sehingga mengakomodir hak-hak masyarakat.