Menyelamatkan Demokrasi

Many people with signs protesting. Design template for civil rights, protest events, rally or march. Space for your text. Vector Illustration.

Thomas Hobbes menulis dalam Leviathan (1651, 1991) and De Cive (1640, 1998) dua pola membentuk sebuah negara (Commonwealth). Pertama, melalui institusi, yakni pola demokratis. Kedua, pola akuisisi yang menggunakan kekerasan dan berbagai intrik manipulatif. Bagi Hobbes, pola demokratis tidak efektif sehingga ia hanya membahas pola ini dalam dua paragraf dan mencurahkan seluruh elaborasi pada pola akuisisi.

Menurut Hobbes, di dalam kondisi “state of nature”, pola akuisisi yang akan menghasilkan sistem pemerintahan monarki absolut lebih tepat karena dua alasan (Leviathan, 19). Pertama, kepentingan penguasa (tiran) selalu sama (intersects) dengan kepentingan masyarakat atau bawahannya (subjects). Kedua, monarki lebih efektif dan efisien di dalam mengambil keputusan. Tidak perlu menghabiskan banyak waktu dan uang.

Argumentasi Hobbes sebenarnya hanya imajinasi Hobbes melihat Inggris hancur-hancuran pada abad 15-16. Tesis Hobbes, jika setiap warga memiliki terlalu banyak kebebasan, hanya akan berujung celaka. Maka harus dibentuk Leviathan yang mengambil alih semua kebebasan dengan dua rasionalitas di atas.

 

Imajinasi Hobbes

Di kemudian hari, kajian ekonomi politik dan kalkulasi matematis mengindikasikan anggapan Hobbes justru utopis. Ilmuwan kenamaan Kenneth Arrow (1960) membuktikan tidak mungkin menyuling preferensi kolektif dari preferensi setiap individu, sekalipun preferensi individu bersifat strict preference, tanpa terjebak ke dalam kondisi diktatorial.

Filsuf politik Will Kymlicka (2002) turut membuka aib argumentasi dasarnya: bagaimana mungkin seseorang, sekalipun penguasa, dapat mengagregasi utilitas individu atau setiap warga tanpa memiliki akses langsung ke dalam hati atau pikirannya. Jadi, sulit untuk menjustifikasi asumsi kehendak penguasa adalah kehendak rakyat (Gaus and Thrasher, 2021).

Demokrasi memang mahal, tetapi lebih berharga daripada otokrasi. Kajian Mancur Oslon seharusnya memelekkan kita kalau demokrasi lebih menjamin eksistensi jangka panjang sebuah negara daripada otokrasi yang mati-hidupnya bergantung seorang penguasa (Oslon, 1982, 1993). Memaksakan pemilu satu putaran mungkin bisa menghemat triliunan rupiah, tetapi memasung kebebasan dan kesetaraan setiap warga negara, dua nilai sakral di dalam demokrasi yang tidak dapat dirupiahkan.

Setelah sekian lama imajinasi Hobbes difalsifikasi, patut disayangkan jika pemerintahan era ini masih mengidolakan imajinasi Hobbes. Pemilu didorong satu kali putaran supaya hemat biaya. Karena kelihatan mustahil, penguasa turun tangan langsung mendikte alur kontestasi. Lembaga yudikatif, yang seharusnya menyeimbangkan dan mencegah kekuasaan menjadi koruptif, justru ditundukkan untuk memuluskan agenda ambisius satu putaran dan kelanjutan template kekuasaan.

 

Instrumentalisasi infrastruktur demokrasi

Tatkala kursi kepresidenan Amerika Serikat direbut Donald Trump pada 2017, tidak sedikit warga dan terutama ilmuwan sosial politik Amerika yang gelisah bukan kepalang. Mereka yakin Trump akan menggiring Amerika Serikat ke ujung tanduk. Dua di antaranya ialah Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt.

Kedua ilmuwan politik Harvard University ini kemudian menuangkan isi hati dan pikiran mereka di dalam buku “How Democracies Die” (2018). Di dalamnya, Levitsky dan Ziblatt menunjukkan tren demokrasi berangsur menyusut lantaran dibunuh penguasa yang lahir dari rahim demokrasi. Ada empat indikator utama infrastruktur demokrasi sebuah negara tengah dimanipulasi penguasa.

Pertama, penguasa menolak atau memiliki komitmen yang lemah terhadap aturan main demokrasi. Hal ini misalnya tampak di dalam lemahnya komitmen pemerintah terhadap Konstitusi sehingga mengobrak-abrik kitab suci sekuler ini untuk kepentingan diri dan kroninya, terlepas apapun isi kepentingan tersebut.

Kedua, menyangkal legitimasi lawan politik. Poin ini salah satunya tampak ketika seorang pemimpin menggambarkan saingannya sebagai ancaman eksistensial terhadap laju pembangunan pemerintahannya saat ini. Ketiga, menoleransi kekerasan. Indikator ini kelihatan, misalnya, pada apakah penguasa diam-diam mendukung kekerasan yang dilakukan pendukungnya untuk menyerang lawan politik.

Keempat, membatasi kebebasan sipil lawan politik, termasuk media. Sinyal paling kuat dari komponen ini adalah ketika seorang pemimpin negara mendukung undang-undang atau kebijakan yang membatasi kebebasan sipil, seperti undang-undang pencemaran nama baik yang diperluas, undang-undang yang membatasi protes, kritik terhadap pemerintah, sipil atau politik organisasi tertentu?

Dari sekian indikator di atas, Levitsky dan Ziblatt menyimpulkan bahwa Donald Trump memenuhi syarat sebagai pemimpin demokratis yang menginstrumentalisasi infrastruktur demokrasi untuk melanggengkan kekuasaan dan memberangus lawan politik. Ia mengikuti jejak kaki Hugo Chavez di Venezuela yang kala pra-pemilu memproklamasikan diri sebagai suluh demokrasi, harapan seluruh rakyat, tetapi menjadi tiran depostik saat berkuasa.

Penguasa berwajah demokratis demikian sebenarnya adalah otokrat yang paling berbahaya. Ia menampilkan diri secara publik sebagai figur yang demokratis, dekat, merasakan dan memperjuangkan penderitaan rakyat, padahal sebenarnya ia hanya haus kekuasaan. Mau berkuasa selama mungkin untuk mengamankan kepentingannya.

Potret politik Indonesia hari-hari ini rupanya menjurus ke sana. Ketua MK dan Ketua KPU divonis bersalah secara etis. Ketua KPK yang sering menjadi momok menakutkan bagi oposisi juga terbukti salah. Berbagai media dan lembaga survey masuk angin. Anggaran Bansos membengkak secara tak wajar dan distribusinya masif menjelang pemilu. Lantas, dengan apa kita ingin membantah bahwa rezim saat ini tengah mengamputasi infrastruktur demokrasi untuk kepentingan pragmatisnya?

 

Melawan demokrasi manipulatif

Yang menarik dari karya Levitsky dan Ziblatt adalah tidak hanya mendeskripsikan fakta. Mereka menawarkan resep untuk menanggulangi demokrasi yang sudah terkontaminasi aura jahat otokrasi. Keduanya yakin, berpegang pada Konstitusi saja tidak cukup untuk menyelamatkan demokrasi yang manipulatif. Konstitusi harus ditopang oleh partai politik, kesatuan warga yang terorganisir, dan norma demokratis.

Norma demokratis paling desisif di dalam situasi genting. Konstitusi harus diperkuat norma-norma demokratis yang tidak tertulis. Kebebasan dan kesetaraan hanyalah nilai demokrasi yang “self-justifying“, bukan “self-executing“. Karena itu, dibutuhkan norma lain, yakni toleransi timbal-balik dan kesabaran institusional. Kedua norma ini adalah prinsip prosedural yang menunjukkan “bagaimana politisi dapat berperilaku, mengatasi ikatan hukum, untuk memfungsikan lembaga-lembaga negara.” Norma informal sering lebih efektif daripada norma institusional (Voight, 2019).

Toleransi timbal-balik mengimplikasikan partai-partai yang berkompetisi saling menerima sebagai rival yang sah. Sementara itu, kesabaran institusional mengharuskan para politisi menahan diri di dalam menggunakan hak prerogatif kelembagaannya. Ketika rival politik dipandang sebagai musuh, kompetisi menjadi medan perang berdarah (Smith, 1996).

Ketika pejabat publik ikut berkampanye, secara hukum tidak terganjal, tetapi secara etis sangat bermasalah. Jika ingin berkampanye atau menjadi bagian resmi dari tim pemenangan paslon tertentu, harusnya meninggalkan jabatan publik. Ingat, hukum tanpa moralitas tidak lebih dari senjata haus darah di hutan rimba. Hukum tanpa etika kehilangan dasar keberadaannya (Murphy, 2014).

Seruan etis-politik para guru dari begitu banyak lembaga pendidikan tinggi di Indonesia dan turunya mahasiswa ke jalanan menunjukkan demokrasi Indonesia masih punya asa untuk diselamatkan. Namun itu tidak cukup. Seluruh rakyat Indonesia harus turun gunung untuk menyelamatkan demokrasi Indonesia dengan mengalahkan kalangan elit pengkhianat demokrasi Indonesia pada pemilu 14 Februari nanti.