Politik Sepak Bola Indonesia

Kasus Kanjuruhan adalah sebuah tragedi kemanusiaan. Tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun perbuatan para pelaku yang berujung pada beringsutnya ratusan nyawa dari raga. Namun, tragedi Kanjuruhan boleh jadi sebentuk blessing in disguise yang membuka mata kita untuk melihat betapa bobroknya sepak bola tanah air.

 

Selain fakta-fakta penonton yang melampaui kapasitas stadion, ketidakdisiplinan dalam mematuhi regulasi, ketiadaan tanggung jawab manajerial liga dan klub, agresivitas aparat keamanan, dan begitu banyak bintik-bintik noda yang dapat dideteksi. Kanjuruhan mengingatkan kita atas kesimpulan pedas Andy Fuller (2018), bahwa sepak bola Indonesia penuh kekerasan, korupsi, dan berbahaya.

 

Mengapa sepak bola Indonesia masih saja tertatih-tatih bahkan menelan korban, padahal usianya senapas perjuangan nasional? Pertanyaan ini tentu saja menggelitik nurani pecinta sepak bola. Kita perlu mencari tahu alasannya.

 

Liku-liku Sepak Bola Indonesia

 

Sejak sekitar abad 2-3 M, awal kelahirannya di Cina, sepak bola adalah hiburan masyarakat akar rumput. Hingga terbentuknya kompetisi modern pada abad 19 di Britania Raya, olahraga tua ini bukan komoditas politik dan ekonomi. Baru beberapa dekade terakhir, intervensi politik begitu massif lantaran si kulit bundar menjadi lumbung pertumbuhan dahsyat ekonomi (Moran, 2003).

 

Berbeda dengan rute sejarah Inggris, sepak bola di Indonesia justru lahir sebagai resistensi nasional melawan kolonialisme Belanda. Jenis permainan ini diperkenalkan oleh Belanda pada tahun 1914. Nederland Indische Voetbal Bond (NIVB) adalah organisasi resmi sepak bola pertama yang didirikan Belanda kala itu dan diakui FIFA. Dari tahun 1920-1930, warga pribumi membentuk Vorstenlandsche Voetbal Bond (VVB) sebagai tandingan. Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (PSSI) kemudian didirikan pada 19 April 1930 di Yogyakarta.

 

Tidak butuh waktu lama, pada 1937, Jong Batavia, Bogor, Sukabumi, dan Surabaya melancarkan serangan terhadap NIVB dengan membentuk NIVU (Nederlandsch Indisch Voetbal Unie). Di waktu hampir bersamaan, PSIM bergabung dengan sepak bola Jawa Tengah dan memberontak terhadap federasi sepak bola pimpinan Ir. Soeratin dengan membentuk PSSI baru. Tidak tinggal diam, PSSI Soeratin membalas dengan membentuk PSIM baru, sebutannya PERSIM Mataram.

 

Perseteruan federasi sepak bola ini lantas mengundang campur tangan Ir. Soekarno untuk mendamaikan. Namun guliran bola menjadi macet karena Indonesia di dalam peperangan dahsyat melawan Belanda dan Jepang menuju deklarasi kemerdekaan Republik Indonesia. PSSI baru kembali menggelar liga resmi pada 1951.

 

Saling senggol berlanjut pasca kemerdekaan Indonesia. Menjelang penyelenggaraan GANEFO (Games of the New Emerging Forces), kompetisi internasional yang dibentuk Soekarno dan beberapa pemimpin negara baru merdeka bekas jajahan imperialisme Barat di Asia dan Afrika dengan tujuan menyaingi Olimpiade, KOGOR (Komando Gerakan Olahraga), dan PSSI bertengkar. Isu perkelahiannya seputar siapa yang berhak mengatur tim nasional yang berlaga pada GANEFO. Alhasil, GANEFO berumur pendek, hanya diselenggarakan dua kali: Jakarta (1963), dan Phnom Penh, Kamboja (1966).

 

Badai seolah tak berlalu. Masih di tahun 1961, terkuak perjudian di dalam tubuh federasi sepak bola Indonesia. 10 pemain timnas yang akan berlaga di Asian Games 1962 langsung dipecat. Masalah demi masalah berdatangan. Selama Orde Baru, kiprah sepak bola Indonesia semakin redup. Hingga, fajar reformasi mendatangkan asa baru. Iklim demokrasi diharapkan berefek pada perkembangan sepak bola tanah air. Namun, rupanya harapan itu hanya isapan jempol.

 

Seolah sejarah terulang kembali, dualisme liga Indonesia kembali membuat gerah pada era kepimpinan PSSI di tangan Djohar Arifin. Liga Primer Indonesia (IPL) sebagai liga sepak bola tertinggi yang diakui PSSI ditantang oleh Liga Super Indonesia (ISL) yang dipimpin oleh La Nyalla Mattalitti. Kisruh kedua liga raksasa ini baru reda pada 2014.

 

Tanda-tanda harapan kembali muncul, tetapi secepat kilat diredupkan ribut-ribut yang masih berceceran di sana-sini. Pamor sepakbola Indonesia perlahan mengkerek. Bibit-bibit pemain bertalenta bertunas. Begitupun roda manajerial klub-klub semakin tertata. Pemain-pemain asing berbondong-bondong merumput di Indonesia. Beberapa prestasi ditorehkan di level liga persahabatan dan kompetisi serius.

 

Sayangnya, sinyal positif di atas kembali terancam obsesi kekuasaan para politisi. Fuller lagi-lagi mencatat, para politisi memanfaatkan suporter-suporter secara massif untuk memperoleh keuntungan posisi politik, berbeda dengan usaha politisi-politisi dulu yang menggunakan sepak bola untuk soliditas imajinasi nasional dengan membangun klub-klub dan liga.

 

Intrik Politik

 

Intervensi politik beberapa tahun terakhir berbeda orientasi dengan Soekarno dan kawan-kawan. Politik sepak bola terbaru adalah kekuatan eksternal yang menyerobot batas kebijakan suatu komunitas yang seharusnya dapat mengorganisir dirinya sendiri (Wyn Grant, 2007).

 

Di Liga Spanyol, Barcelona diam-diam menjadi mesin politik separatisme Catalonia (Hunter Shobe, 2008). Mantan Perdana Menteri Italia pada tahun 90an menggunakan sepak bola untuk mengamankan kursi kekuasaan (Nicola Porro and Pippo Russo, 2012). Meskipun simpatisan politiknya menyambut riuh, kedua bentuk intervensi ini hanya memperalat dan menjadikan sepak bola ‘sapi perah’. Potret sepak bola Indonesia persis berada pada situasi kritis serupa.

 

Kita ingat Aburizal Bakrie yang sudah jadi ketua umum Partai Golkar membawa para pemain timnas Piala AFF 2010 ke kediamannya. Kalau Soekarno di eranya memberi instruksi melalui Kepres, di era reformasi Nurdin Halid menurunkan harga tiket Piala AFF 2010 hanya karena mengikuti seruan Aburizal Bakrie.

 

Empat tahun berselang, 2014 beredar foto di media ketika salah satu pendukung tim sepak bola dari Jawa Timur berbaris dan menyalakan flare untuk menyambut bakal calon presiden, Aburizal Bakrie, di Bandara Abdurrahman Saleh, Malang.

 

Pilkada DKI 2017, pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno menjanjikan stadion sekelas Old Trafford untuk Persija Jakarta dengan imbalan mengambil hati JakMania. Calon Wakil Gubernur Jawa Timur, Puti Guntur, menggunakan seribu jurus untuk meluluhkan benteng Bonek, pendukung tim Persebaya Surabaya.

 

Pada Pilkada Sulawesi 2018, calon gubernur Nurdin Halid, mantan ketua PSSI tak tanggung-tanggung menjanjikan proyek fantastis membangun lapangan sepak bola internasional di setiap kecamatan. Strategi serupa dimainkan Edy Rahmayadi, calon gubernur pada Pilgub Sumut 2018, mantan ketua PSSI. Ia berjanji membangun stadion bertaraf internasional khusus untuk PSMS Medan.

 

Pada Pilpres 2019, tatkala laga Persib kontra Arema FC di Stadion Si Jalak Harupat, teriakan ganti presiden menggema. Sebelum piala AFF 2020 berlangsung, tidak sedikit politisi ramai mem-branding diri dengan atlet Indonesia untuk Olimpiade 2020.

 

Baru saja PSSI menolak Jakarta International Student (JIS) sebagai tempat laga Timnas Indonesia vs Curacao di FIFA Matchday. Rasionalisasi PSSI bila JIS tidak memenuhi standar FIFA mengundang gelak tawa, justru membuka kedok politiknya.

 

Hati-hati dengan intrik politik jika tidak ingin termakan hati. Ia ayu kala menggoda, tapi beracun saat bercumbu. Jangan menjual kecantikan bola kaki pada mak comblang kekuasaan bila tidak ingin kehilangan auranya.

 

Ada slogan klasik, sejarah akan terulang bila kita tidak belajar darinya. Selama masa perjuangan dan pasca kemerdekaan, sepak bola Indonesia menjadi simbol identitas nasional. Soekarno berkali-kali mengintervensi pagelaran turnamen sepak bola nasional sebagai alat diplomasi politik untuk melawan penjajah dan memperkenalkan Indonesia ke dunia. Untungnya ganda. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlewati.

 

Meskipun begitu, dampak positifnya tidak bernapas panjang. Dampak destruktifnya malah lebih lama. Hingga hari ini masih terasa boroknya federasi sepakbola tanah air akibat sayatan politik. Kita tidak patut mengkambinghitamkan, apalagi menyalahkan sejarah. Kita tidak bisa lari dari kenyataan historis bahwa sepak bola Indonesia lahir dari rahim penjajahan dan peperangan. Tidak ada komando lain saat itu selain kekuasaan politik. Yang menjadi soal adalah apakah kelindan politik dan hiburan paling populer ini terus diperpanjang.

 

Lebih dari Olahraga

 

Sudah bukan rahasia kalau sepak bola melebihi olahraga fisik, mental, atau intelektual. Masyarakat Brazil memandang cabang olahraga ini sebagai agama baru. Mereka lebih memilih menonton kompetisi bola kaki daripada menghadiri ritual-ritual keagamaan.

 

Bagi sebagian orang, sepak bola adalah aktivitas di waktu senggang dan pola hidup sehat. Fans-fans fanatik justru memandang ajang ini sebagai sumber identitas. Ada lagi yang lebih dalam menilik kompetisi ini sebagai inklusi sosial, ranah di mana semua orang mengupas kulit SARA-nya dan bersatu.

 

Hal yang paling menjanjikan dari sepak bola yakni ada cuan berlimpah di balik si kulit bundar.  Menurut Guilianotti (2005), asosiasi sepak bola merupakan jenis olahraga paling populer di dunia. Estimasi nilai bisnisnya mencapai 250 triliun per tahun 2003.

 

Sepak bola lantas menjadi harta karun yang diperebutkan banyak petualang. Bukan para pemain, wasit, penonton, atau pelatih saja. Bak gula dan semut, di mana ada harta, di situ pebisnis berlomba-lomba. Guna mengamankan harta, dibutuhkan kekuasaan. Di sinilah politisi ikut bermain. Para oligarki politik dan bisnis adalah master mind federasi sepak bola.

 

Jadi, yang ikut berlaga dalam sepak bola tidak hanya para pemain, pelatih, wasit, dan penonton. Politisi dan pebisnis turut merumput. Skuad bayangan ini sebenarnya sumber malapetaka demokrasi sepak bola. Biang keladi kegagalan liga-liga sepak bola adalah campur tangan berlebihan politik dan obsesi kapitalisme untuk menumpuk modal sebanyak mungkin di dalam keranjang bola.

 

Jika berpolitik adalah seni mengelola kepentingan dan kekuasaan, tidak ada masalah dengan politisasi bola kaki. Yang penting adalah output-nya, apakah memajukan atau justru merusak sepak bola sebagai event perayaan kemanusiaan paling populis.

 

Bagaimanapun sepak bola tidak dapat menghindari politik, di dalam artian yang mendasar (the political) ataupun yang praktis (the politics). Michel Foucault berceloteh, sebagai gelanggang yang mencari kekuasaan, politik beroperasi di dalam semua level (Foucault, 1978). Keputusan untuk tidak menyerobot pagar stadion adalah pertimbangan politis. Meskipun begitu, kita bukan tidak memiliki pilihan.

 

Intervensi politik di dalam sepak bola sebenarnya tidak buruk di dalam dirinya sendiri. Campur tangan negara justru mengamankan inklusi sosial dalam sepak bola, di mana panggung hiburan untuk semua kalangan, area ramah perbedaan, dan spot rekreasi keluarga bahagia.

 

Walaupun demikian, jangan kebablasan. Kita tidak boleh naif, kecantikan sepak bola dipoles dengan hiasan bernilai triliunan rupiah. Belajar dari keberhasilan liga-liga Eropa, cuan tetap menjadi primadona. Sepak bola adalah juga bisnis.

 

Intervensi politik secara terbatas penting untuk menghalangi agenda kapitalisme mengejar surplus di dalam stadion. Namun, kita harus akui, para kapitalis adalah manajer yang handal. Rasa-rasanya Indonesia tetap membutuhkan keduanya untuk membuat sepak bola kita lebih hidup, politisi yang mawas diri dan pemodal yang paham batas.