Refleksi Konklaf untuk Krisis Kepemimpinan di Indonesia

Tradisi konklaf dalam Gereja Katolik telah berabad-abad membuktikan bahwa pemimpin besar lahir dari proses seleksi yang tidak semata pragmatis, melainkan berakar pada nilai, keteladanan, dan kepekaan terhadap kebutuhan zaman.

 

Konklaf, sebagaimana diulas oleh John L. Allen Jr. dalam Conclave: The Politics, Personalities, and Process of the Next Papal Election (2002), adalah sebuah mekanisme yang menyeimbangkan kebijaksanaan spiritual, ortodoksi teologis, dan kesadaran tajam terhadap tanda-tanda zaman.

 

Sejak Paus Pius X menghapus hak veto kepala negara pada 1903, proses pemilihan Paus dimurnikan dari campur tangan politik eksternal. Pemimpin yang terpilih pun merupakan hasil refleksi kolektif para kardinal atas kebutuhan Gereja dan dunia.

 

Tiga figur tahta suci belakangan yakni, Paus Yohanes Paulus II, Paus Benediktus XVI, dan Paus Fransiskus menunjukkan bagaimana konklaf mampu menghadirkan pemimpin yang selaras zaman. Paus Yohanes Paulus II memperjuangkan martabat manusia dan kebebasan beragama di tengah cengkeraman komunisme.

 

Paus Benediktus XVI berupaya untuk menjaga ortodoksi iman Katolik dalam arus sekularisme global. Sementara Paus Fransiskus, dengan semangat cinta kasih dan keterbukaan diri pada kaum lemah, serta kedekatannya dengan tokoh progresif gereja, mendorong Gereja untuk berpihak pada kaum marginal dan isu-isu ekologi global.

 

Keberhasilan konklaf ini tidak terlepas dari tiga prinsip kunci yang diidentifikasi O’Malley (2010), yakni discernment (discernimento), collegial deliberation, dan moral integrity. Ketiga Paus tadi bukti adanya pemimpin yang menggabungkan ketajaman intelektual, kepekaan sosial, dan keteladanan pribadi yang lahir dari mekanisme seleksi berbasis nilai, bukan pragmatisme kekuasaan.

 

Sebaliknya, dalam konteks Indonesia, proses seleksi pemimpin diwarnai oleh tantangan-tantangan serius. Partai politik Indonesia terjebak dalam sistem patronase oligarki, di mana kelangsungan elektoral lebih bergantung pada kekuatan finansial dan aliansi elit daripada visi ideologis atau kredensial layanan publik.

 

Proses demokrasi di Indonesia dapat didefinisikan sebagai contoh klasik civil oligarchy, di mana kekuasaan politik bersandar pada akumulasi kekayaan dan jaringan elite. Mengakibatkan rekrutmen pemimpin yang lebih berorientasi pada kekuatan logistik dan jejaring kekuasaan ketimbang integritas dan visi.

 

Degradasi partai politik sebagai arena kaderisasi nilai dan ideologi kemudian semakin memperparah kondisi. Partai-partai lebih sibuk dengan kontestasi internal dan kompromi pragmatis ketimbang membangun visi ideologis yang berkesinambungan.

 

Hingga mengakibatkan proses pencalonan sering kali ditentukan oleh kalkulasi elektoral jangka pendek dan negosiasi elit, bukan hasil kaderisasi berbasis meritokrasi. Padahal, pemimpin seharusnya dipilih berdasarkan kemampuan dan prestasi, bukan kekayaan maupun kelas sosial semata.

Problematika demokrasi kita tidak lepas dari langgengnya budaya politik transaksional. Pragmatisme politik yang kental dengan money politic telah merusak pembentukan kepemimpinan yang terprogram dan bertanggung jawab. Dalam kondisi ini, keteladanan moral, kepekaan sosial, dan kapasitas intelektual calon pemimpin tidak menjadi prioritas.

 

Partai politik sebagai rahim pemimpin yang seharusnya mampu melahirkan pemimpin berkarakter, bervisi perubahan, dan berketeladanan nyatanya gagal mewujudkannya. Partai politik di Indonesia harus menjadi schools of democracy, tempat kaderisasi nilai, karakter, dan visi, bukan sekadar alat perebutan kekuasaan.

 

Jika partai politik di Indonesia mampu mereformasi proses kaderisasinya, memperkuat integritas seleksi calon pemimpin, dan membatasi pengaruh oligarkis yang menjerat, demokrasi Indonesia mungkin saja dapat menemukan kembali pemimpin yang tanggap zaman dan membawa arah perubahan sejati.