Ridwan Monoarfa Optimis Optimalkan BUMDes Gorontalo

Yogyakarta, Suryakanta Institute menggelar serial Sarasehan Kebijakan Daerah untuk mengupas peluang optimalisasi BUMDes, di Pusat Studi Pancasila UGM, Jumat (31/1). Gelaran perdana Sarasehan Kebijakan Daerah tersebut diikuti puluhan peserta. Hadir dari kalangan akademisi dan masyarakat umum.

 

Sarasehan menghadirkan narasumber yang berpengalaman dan kredibel dalam pengelolaan BUMDes, yakni Sugeng Handoko selaku Praktisi Desa Wisata sekaligus Pengelola BUMDes Nglanggeran, dan Arief Rohman dengan latar belakang Direktur BUMDes Panggungharjo. Turut dihadiri pula dari ranah pemangku kebijakan publik, Wakil Ketua I DPRD Provinsi Gorontalo, Drs. Ridwan Monoarfa.

 

Sesi diskusi dibuka oleh Direktur Suryakanta Institute, Ampy Kali, dengan memberikan pengantar bahwasanya agenda sarasehan termasuk dari rangkaian perjalanan dinas atau kunjungan kerja DPRD Provinsi Gorontalo, Ridwan Monoarfa. Melalui forum sarasehan diharapkan kunker anggota dewan menjadi lebih bermakna dan bermanfaat.

 

“Kebanyakan anggota dewan melakukan kunjungan kerja tanpa luaran yang jelas, beberapa bahkan hanya jalan-jalan. Namun, Ridwan Monoarfa ini nanti akan kembali ke Gorontalo membawa oleh-oleh yang berupa policy brief dan catatan-catatan mengenai kebijakan publik yang potensial untuk diterapkan di Gorontalo,” paparnya.

 

“Sarasehan kebijakan daerah akan terus didorong oleh Suryakanta Institute dalam mendampingi kunker anggota dewan. Bagi kami, kunker dilakukan dengan field visit, dilanjutkan dengan mengupas hasilnya bersama para akademisi. Sehingga, saat kembali ke daerahnya, wakil rakyat bisa membawa perubahan baik,” imbuhnya.

 

Ridwan Monoarfa berlatar belakang sebagai aktivis yang pada Pemilu 2024 terpilih sebagai wakil rakyat. Berkecimpung selama 25 tahun dalam kalangan buruh, kini Ridwan Monoarfa tengah mendorong peningkatan ekonomi desa. Sehingga, ekonomi bukan hanya berputar pada pemilik kapital besar, tetapi juga masyarakat secara umum. Kesempatan kunker di DIY sengaja ia manfaatkan untuk mengamati pengelolaan BUMDes Desa Nglanggeran dan Desa Panggungharjo.

 

“Dana desa seringnya hanya buat pengadaan sarana dan prasarana. Mungkin ada satu hal yang terlupakan dari BUMDes. Adalah sisi sosiologisnya. Sebagian pemangku kebijakan masih belum serius mengelola BUMDes. Bahkan, ketika ide optimalisasi BUMDes di Gorontalo ini dimunculkan, justru mendapat respon yang pesimis,” Ridwan memantik diskusi dan membuka masukan.

 

Sugeng Handoko dari Desa Nglanggeran membagikan pengalaman selama dirinya berkecimpung dalam pengelolaan Desa Wisata Nglanggeran, hingga terhubung langsung dengan BUMDes. Laki-laki yang ikonik dengan blangkon itu mengantar dengan menceritakan citra Gunungkidul pada masa lalu. Publik lebih mengenal Gunungkidul dengan cerita mistis, kemiskinan, hingga tingginya kasus bunuh diri.

 

“Di Gunungkidul itu dulu terkenal justru dari sisi keterpurukannya. Desa Nglanggeran penyumbang TKI terbesar dan kasus perceraian tinggi. 80 persen pemilik homestay anggota keluarganya pernah menjadi TKI. Hanya saja itu telah menjadi masa lalu kami. Kini Desa Nglanggeran telah berubah lebih baik,” Sugeng memaparkan.

 

Sugeng juga menjelaskan berdasarkan pengalamannya agar pengembangan model pengelolaan desa selalu memerhatikan kondisi geografisnya dan isu yang dihadapi langsung oleh masyarakat. Setelahnya, dapat melakukan pengembangan budaya melalui tokoh atau pimpinan adat.

 

“Setelah memahami geografis, pengembangan budaya lewat kepala adat untuk menggerakkan masyarakat. Penting dicatat bahwa jangan sampai masyarakat merasakan pihaknya harus menjalankan ide, tetapi cukup dengan menuangkan ide kepada masyarakat agar seolah ide tersebut hadir dari dirinya sendiri,” jelas Sugeng.

 

Desa Nglanggeran digerakkan dengan Community Based Tourism yakni pemilik dan pengelolanya adalah masyarakat. Seluruh warganya diajak terlibat sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Rasa kepemilikan tersebut melahirkan kewirausahaan sosial dan akhirnya dapat berkontribusi dalam optimalisasi BUMDes Nglanggeran.

 

Sementara itu, Arief Rohman yang tengah menjabat sebagai Direktur BUMDes Panggungharjo, lebih banyak mengelaborasi pengelolaan suatu desa tanpa potensi wisata alam. Bahkan, Panggungharjo merupakan desa padat penduduk.

 

“Warga asli Panggungharjo sekitar 28.000 orang, dan warga berdomisili di Panggungharjo sampai 40.000 orang. Hingga, tidak ada tanah lapang untuk membuat jugangan atau lubang untuk memendam sampah organik. Akibatnya, sampah menumpuk di banyak titik. Warga rela membayar denda apabila tertangkap menumpuk sampah di ruang publik,” Arief menceritakan latar belakang terbentuknya Panggung Lestari.

 

BUMDes Panggungharjo dengan jenama Panggung Lestari sejak berdirinya hingga saat ini fokus utamanya pada pengelolaan sampah. Seluruh pengelola Panggung Lestari merupakan warga asli Desa Panggungharjo. Pengurus BUMDes bahkan diutamakan kaum minoritas, seperti warga tanpa pekerjaan, disabilitas, dan bahkan ODGJ.

 

Desa Panggungharjo memaknai BUMDes dalam perspektif ekonomi, sosial, dan politik. BUMDes menjadi perpanjangan tangan sekaligus wajah pemerintah desa, jadi tidak bisa berjalan berseberangan dengan visi-misi pemerintah desa. Namun, BUMDes Panggungharjo mengukur kualitas BUMDes dari kualitas musyawarah desa.

 

Pimpinan BUMDes Panggungharjo wajib memiliki lima kapasitas yang layak dipertimbangkan untuk direplikasi pada daerah lain. Kapasitas tersebut yakni kapasitas memahami regulasi, kapasitas responsif terhadap suatu kondisi, kapasitas ekstraksi untuk memunculkan kesempatan dari peluang yang sangat kecil, kapasitas jaringan untuk pengembangan, dan kapasitas dalam mendelegasikan tugas secara tepat.

 

Akademisi UGM, Dr. Maharani Hapsari memberikan kesimpulannya bahwa BUMDes memiliki keunikan dalam pengelolaannya. BUMDes muncul karena insidental atas isu tertentu.

 

“BUMDes ini menarik karena terbentuknya dari suatu insidental. Misalnya isu krisis air atau isu penumpukan sampah. Perubahan datang dari sense of crisis yang kemudian bisa membawa aksi kolektif sebagai langkah awal perubahan. Walaupun tidak selalu dengan infrastruktur baru, tapi mampu merevitalisasi yang ada, sehingga lebih produktif dan maksimal.”

 

Akademisi yang sekaligus pimpinan Pusat Studi Perdagangan Dunia UGM itu juga menyebutkan tentang inklusi ekonomi dengan memaksimalkan nilai dari rantai pasok lokal. Semua kebutuhan yang diperlukan oleh warga bisa diselesaikan di wilayah tersebut. Suatu komoditas dimaksimalkan dengan memproses semua rantai pasok untuk pemanfaatan desa, agar perputaran ekonomi terjadi di desa tersebut.

 

Andreas Budi Widyanta, S.Sos., M.,A. yang merupakan dosen Sosiologi UGM turut berbagi pandangan dan pengalamannya dalam pendampingan pengelolaan BUMDes. Pihaknya menekankan bahwa BUMDes bukan sekadar kegiatan ekonomi.

 

“Saya ingin mengoreksi soal sesat pikir. BUMDes bukan organisasi ekonomi. BUMDes sebetulnya adalah sebuah lembaga yang memuat suatu kompleksitas dalam tatanan masyarakat desa,” ia menegaskan.

 

Dosen yang kerap disapa AB itu memberi masukan dari kacamata sosiologi, di mana BUMDes dalam pengelolaannya terdapat etika sosial. Mulai dari kompleksitas tatanan ekonomi, sosial, dan politik suatu desa, hingga mencakup keberagaman potensi desa. Biodiversitas harus diserap tanpa monopoli suatu komoditas tertentu. Keseimbangan antara biodiversity, social scape, dan culture scape didukung dengan pengelolaan tata ruang dan tata wilayah yang baik akan memunculkan kebijakan yang tepat.

 

AB juga berpesan untuk memberikan ruang bagi generasi muda dan intelektual organik untuk diperankan secara maksimal dalam pengelolaan BUMDes.

 

“BUMDes membutuhkan pengurus anak-anak muda dan mereka yang merupakan intelektual organik. Maksudnya adalah mereka yang memiliki kemauan untuk tinggal dan mengakar di desa,” pungkasnya.

 

Ridwan Monoarfa selaku wakil rakyat dari Provinsi Gorontalo mengapresiasi penuh atas pekerjaan luar biasa yang dilakukan para penggerak dan pengelola potensi desa, khususnya di Desa Nglanggeran dan Desa Panggungharjo. Berdasarkan pengalaman inspiratif dan masukan yang ada, pihaknya berkomitmen akan lebih serius dan optimis dalam agenda mengoptimalkan BUMDes di Gorontalo.