Bukan Indonesia kalau suhu politik tidak mendidih menjelang pemilu. Label ini kelihatan begitu sarkastis, tetapi memang demikian potret politik Indonesia pasca reformasi. Angin demokrasi berhembus begitu kencang hingga sebagian orang menilai demokrasi kita tersusupi liberalisme. Kabar baiknya adalah kebebasan berdemokrasi semakin menguat. Kabar buruknya, kebebasan dipakai tanpa tanggung jawab etis dan rasional. Alhasil, tensi berpolitik menanjak. Polarisasi dan perpecahan kerap terjadi.
Di pekan pertama bulan ini, beberapa isu berikut menjadi incaran warga media. Pertama, PDIP sudah membuka clue sosok yang layak mendampingi Ganjar Pranowo dan memanaskan bursa cawapres. Kedua, Amerika Serikat dan China kompak mengirimkan armada lautnya untuk berpartisipasi dalam latihan bersama di lautan Indonesia. Ketiga, proposal perdamaian Rusia-Ukraina tawaran Prabowo Subianto ditolak mentah pihak Ukraina. Keempat, warga PSHT (Persaudaraan Setia Hati Terate) yang bertawuran dengan suporter Brajamusti meminta maaf kepada warga Yogyakarta. Kelima, pimpinan PDIP mengklaim dukungan penuh Presiden Joko Widodo terhadap jagoan PDIP di Pilpres 2024, Ganjar Pranowo.
Menjadi kepala negara menuntut seorang politisi meningkatkan kompetensi etis dan kepemimpinan dari sekadar politisi menjadi negarawan. James Freeman Clarke memberikan definisi yang krusial di antara kedua jabatan publik tersebut. Jika politisi hanya memikirkan pemilu berikutnya, negarawan memeras otak untuk memikirkan generasi berikutnya, masa depan bangsa (Rangkuti, 2023).
Distingsi di atas sekaligus menunjukkan hirarki kualitas dan kualifikasi etis. Politisi mengurusi elektoral personal dan partai, negarawan mengurus masa depan negara. Begitu buruknya citra politisi. Novelis Amerika George R.R. Martin sampai melontarkan kritikan pedas bahwa kaum politisi adalah orang yang paling sedikit memiliki etika dan moralitas.
Watak asli para politisi yang sok merakyat biasanya kelihatan menjelang pemilu. Strategi apapun dipakai, termasuk jurus malaikat maut. Kajian Hasibuan dan Ma’riyah menunjukkan Pilpres 2024 tidak jauh berbeda dari Pilpres 2019. Banyak politisi tak malu-malu menunjukkan gelagat vote-seeking and office-seeking (Hasibuan dan Ma’riyah, Agustus 2022).
Semakin eksplisitnya Presiden Jokowi mengakui manuver cawe-cawe-nya dan semakin eksklusif PDIP mengklaim dukungan total Presiden Jokowi terhadap bacapres Ganjar Pranowo membuat peta kompetisi semakin terang bagi sebagian orang sekaligus suram untuk kelompok lain. Kelompok yang mendapat endorsement Jokowi tentu girang bukan kepalang. Namun, kelompok yang merasa didiskriminasikan, selain marah, tentu saja menyiapkan kuda-kuda untuk melawan. Maka, menarik untuk menganalisis pergerakan kedua kelompok dan sepak politik di pusaran kontestasi menjelang pilpres 2024. Apakah waras memakai rambu-rambu etika untuk menakar realisme politik? Lalu, apa urgensi politisi harus beretika?
Masih tingginya kepuasaan publik terhadap kinerja pemerintah membuat Presiden Jokowi berada di atas angin. Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) per April 2023 menunjukkan kepuasaan publik bahkan bertengger di angkat 82%, level tertinggi yang pernah diraih Jokowi selama menjabat sebagai presiden (databoks.katadata.co.id, 05/05/2023). Konsekuensinya, arah telunjuk jari Jokowi akan menentukan kemana mata mayoritas rakyat Indonesia memandang dan memantapkan dukungan. Maka pantas, endorsement Jokowi patut diperhitungkan. Jokowi masih menjadi ‘the real king maker’ yang menentukan peta kemenangan pilpres 2024.
Sebagai Presiden yang sekaligus politisi, apakah dukungan Jokowi dilarang oleh hukum dan tidak dibolehkan etika publik? Secara hukum, dukungan seorang presiden terhadap bacapres manapun tidak dilarang. Namun dari sudut tata etika publik dan politik, dukungan eksplisit Jokowi mengalami kecacatan lantaran kekuasaan yang melekat pada dirinya sebagai pejabat publik dan kepala negara, yang seharusnya menjadi negarawan (Haryatmoko, 2011; 2014). Meskipun demikian, memaksa Jokowi untuk tidak berpolitik adalah sebuah kekeliruan di dalam alam demokrasi. Salah satu paradoksalitas sistem demokrasi adalah tidak menarik demarkasi jelas di antara identitas seorang pejabat negara sebagai politisi dan negarawan. Karena itu, seorang presiden tetap dapat menebar pesona di dalam realisme politik.
Diskusi mengenai perbedaan realisme politik dan tata etis sudah lama menggema. Para ahli politik postbehavioralis selalu menempelkan stiker moralitas terhadap pergerakan politik karena keputusan politik memiliki relevansi terhadap well-being semua warga negara (Grigsby, 2019). Meskipun demikian, Niccolo Machiavelli sejak awal era modern sudah menyerukan pemisahan etika dan ilmu politik, moralitas dari praksis politik. Sejauh pantauan Machiavelli, etika dan prinsip moral melemahkan benteng para penguasa untuk teguh mempertahankan kekuasaannya dan kedaulatan negaranya by all means possible (Machiavelli, 1979).
Patut disayangkan, banyak politisi dan ilmuwan sosial-politik generasi berikut salah menilai Machiavelli sebagai amoral. Padahal, maksud terdalam Machiavelli membuka mata penguasa Italia Utara yang kala itu tak mampu menghindarkan negaranya dari kekacauan akibat intervensi kekuasaan asing. Bagi Machiavelli, etika dan prinsip moral adalah senjata orang lemah dan kedunguan berpikir. Seseorang melarikan diri ke dunia etis karena tidak lagi memiliki kekuatan dan kemampuan otak untuk mempertahankan diri.
Di dalam pertarungan politik, senjata laras panjang harus dilawan dengan senjata serupa atau yang lebih efektif. Maka, strategi untuk melawan manuver seorang penguasa harusnya bukan mengeluhkan kecacatan moralnya. Justru seruan moral dari kubu oposisi menunjukkan kelemahan dan ketidakberdayaan. Kelompok oposisi harus memikirkan cara lain untuk memenangkan pertarungan melawan penguasa. Misalnya, menyerang strategi penguasa dalam menaikan kepuasaan publiknya atau menunjukkan strategi untuk memajukan Indonesia, yang luput dari mata pemerintah. Politisi tulen selalu paham bahwa politik adalah pertarungan diskursus, bukan kenyataan itu sendiri atau kebenaran korespondensi (Laclau and Mouffe, 1985). Maka narasi memainkan peran sangat penting (Suryaningtyas, Februari 2023).
Seruan moral di ruang publik selalu diperebutkan dan polivalensi. Jika takaran etikanya adalah kesejahteraan umum yang diperjuangkan oleh teleologisme dan deontologisme, liberalisme dan komunitarianisme (Campbell, 1988; Miller, 2008), tindakan cawe-cawe Jokowi belum tentu salah. Jokowi sudah dengan tegas mengatakan ia ber-cawe-cawe untuk mengamankan momentum bonus demografi dalam l5 tahun ke depan yang berpotensi dikonversi langsung menjadi kemajuan Indonesia sebagai negara dengan ekonomi terbesar keempat di dunia.
Dari hal tersebut, cawe-cawe Jokowi tidak cacat secara etis karena ia memikirkan masa depan bangsa, bukan gumpalan suara Pilpres 2024. Meskipun di sisi lain, Jokowi kelihatan terganjal secara etis karena mengerahkan kekuasaannya. Atas dasar itu, lebih baik berkeringat untuk memikirkan strategi lain yang simetris dengan lain daripada menghabiskan energi untuk mengeksploitasi cacat celah moralitas seorang Jokowi dengan ukuran moral yang selalu terbuka terhadap debat tak berujung.