Tambang Nikel Pulau Gag, Jarak Bukan Satu-Satunya Masalah

Peta menggambarkan jarak antara Pulau Gag dan Piaynemo Raja Ampat. (Sumber: tangkapan layar YouTube Greenpeace Indonesia).

Usai viral video Greenpeace memperlihatkan kedekatan lokasi tambang dengan bentang hijau Raja Ampat, Menteri ESDM buka suara. Namun, pernyataan dalam konferensi pers Kamis (5/6) tentang tambang nikel di Pulau Gag patut mendapat perhatian serius.

 

Menteri Bahlil Lahadalia menilai Pulau Piaynemo (ikon pariwisata Raja Ampat) berjarak 30-40 kilometer dari Pulau Gag aman untuk tambang. Seolah menjadi alasan yang cukup untuk menepis kekhawatiran publik mengenai dampak kerusakan akibat tambang nikel di Pulau Gag.

 

Namun, apakah benar bahwa jarak geografis sejauh 30-40 kilometer cukup menjamin tidak adanya dampak lingkungan? Pertanyaan penting di tengah munculnya tagar #SaveRajaAmpat di berbagai platform sosial media. Mencerminkan penolakan dari masyarakat terhadap aktivitas tambang.

 

Bukan Sekadar Jarak

 

Raja Ampat bukan hanya destinasi wisata. Ia adalah the last paradise on earth dengan keanekaragaman hayati laut yang tak ternilai. Raja Ampat rumah bagi masyarakat lokal dengan hak ruang hidup dan nilai ekologis yang terikat kuat dalam praktik budaya mereka.

 

Menyederhanakan perdebatan menjadi sekadar jarak antar pulau justru menunjukkan ketidaksiapan negara melihat kompleksitas tata ruang laut dan darat secara integral. Lantas, apakah kajian lingkungan dalam proyek tambang ini sudah dilakukan secara partisipatif, ilmiah, dan lintas sektoral?

 

Air Tidak Punya KTP

 

Meminjam pernyataan kontroversial Anies Baswedan, ‘angin tidak punya KTP’, begitu pula air. Air tidak punya KTP. Dalam konteks bentang laut Raja Ampat, limbah tambang, baik dalam bentuk lumpur, logam berat, maupun sedimentasi, tidak akan berhenti di titik koordinat tambang semata.

 

Arus laut bisa membawa dampak ekologis ke kawasan terumbu karang yang jauh lebih luas, mengancam kehidupan biota laut, mata pencaharian nelayan, dan daya dukung ekologis secara keseluruhan.

 

Jangankan ancaman limbah dalam satu bentang laut, limbah dari hulu dan aktivitas pertanian di pegunungan saja sudah pasti ditemukan di lautan, apalagi dalam satu bentang perairan dengan jarak 30-40 kilometer.

 

Isu ini seharusnya menjadi panggilan untuk memperkuat tata kelola lingkungan dan ruang yang adil dan berkelanjutan. Penolakan masyarakat bukan semata karena mereka tidak suka tambang, tetapi karena mereka mencintai tanah dan laut mereka.

 

Masyarakat khawatir akan masa depan warisan ekologis yang mereka jaga selama ini. Jika negara bersikukuh dengan pendekatan ekonomi-ekstraktif tanpa mendengar suara masyarakat adat dan mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan, maka apa arti suatu pembangunan?