Ujian Integritas Pejabat Publik

Banjir yang melanda Kebon Pala, Kampung Melayu, Jatinegara, akibat luapan Kali Ciliwung pada 28 November 2024, menjadi perhatian nasional. Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka turun langsung ke lokasi untuk memberikan bantuan berupa logistik kebutuhan pokok. Kemasan tas bertuliskan “Bantuan Wapres Gibran”, sontak disoroti publik dan media. Perdebatan pun muncul, sahut-sahutan antara netizen yang mengkritik dan memuji. 

 

Kontroversi ini menggugah pertanyaan, apakah merepresentasikan jabatan publik atau justru citra diri wakil presiden? Jabatan wakil presiden adalah jabatan publik. Ia berkepentingan pada tanggung jawab publik untuk melayani masyarakat tanpa memprioritaskan kepentingan pribadi. Tulisan pada tas bantuan tersebut memunculkan persepsi bahwa aksi kemanusiaan lebih diarahkan untuk penguatan citra politik personal.

 

Fenomena yang disebut sebagai politik pencitraan, yakni ketika menginstumentalisasi tindakan substansial demi citra diri. Menurut Haryatmoko (2015),  politik pencitraan dapat menetaskan rasa terlalu percaya diri akibat sorotan publik yang berlebihan. Status dan keistimewaan yang melekat pada kekuasaan berpotensi jatuh pada arogansi. Tanpa langkah preventif, fenomena ini akan mengikis kepercayaan publik dan melemahkan integritas seorang pejabat publik.

 

Dalam perspektif etika publik, Dobel (1999) menyatakan bahwa kekuasaan selalu disertai godaan, sehingga pejabat publik harus memiliki kedisiplinan moral untuk tetap rendah hati. Integritas publik merupakan salah satu pilar utama yang membedakan pejabat publik dengan visi melayani atau yang bermotif mencari keuntungan pribadi. 

 

Haryatmoko (2015) menambahkan bahwa parameter integritas publik secara terukur dapat diamati pada tiga indikator utama. Pertama, kesesuaian tindakan dengan nilai etika. Artinya, pejabat publik harus menjalankan tugas secara jujur, tulus, dan sesuai dengan nilai-nilai moral yang diakui masyarakat. Kedua, responsivitas dan keadilan. Tidak cukup hanya hadir di tengah bencana, tetapi memerlukan aksi nyata untuk menjawab kebutuhan korban secara adil. Ketiga, kompetensi dalam menepati janji, bukan demi popularitas, melainkan bentuk penghormatan terhadap hak-hak warga negara.

 

Sorotan publik pada tulisan “Bantuan Wapres Gibran” dapat dipahami sebagai alarm tentang pentingnya menjaga etika seorang pejabat publik. Apakah bantuan tersebut benar-benar ditujukan untuk melayani masyarakat ataukah ada unsur personal branding yang justru mengaburkan makna pelayanan publik?

 

Di satu sisi, pencitraan berfungsi untuk memperkuat kepercayaan publik terhadap pemerintah. Namun, ketika pencitraan menjadi lebih menonjol daripada substansi pelayanan, maka berpotensi mencederai prinsip-prinsip etika publik. Dalam konteks ini, pejabat publik diharapkan mampu menyeimbangkan antara kebutuhan membangun kepercayaan publik dan kewajiban menjalankan pelayanan yang tulus.